Niat hati ingin menghilangkan semua masalah dengan masuk ke gemerlap dunia malam, Azka Elza Argantara justru terjebak di dalam masalah yang semakin bertambah rumit dan membingungkan.
Kehilangan kesadaran membuat dirinya harus terbangun di atas ranjang yang sama dengan dosen favoritnya, Aira Velisha Mahadewi
Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua? Apakah hubungan mereka akan berubah akibat itu semua? Dan apakah mereka akan semakin bertambah dekat atau justru semakin jauh pada nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musoka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Suasana di dalam ruangan keluarga sebuah rumah mewah nan megah saat ini terasa begitu sangat tegang dan panas, lantaran seorang pria paruh baya berumur awal lima puluhan tengah menyumpah-serapahi kelakuan Azka beberapa jam lalu—kelakuan yang sudah membuat putri kesayangannya seperti tidak ada harga dirinya.
Bima Maheswara—nama pria paruh baya itu—melepas dasi yang sedang dirinya kenakan dengan sangat kasar, lalu melemparkannya ke sembarang arah sambil terus-menerus berbicara dengan suara cukup keras, membuat sang istri serta sang anak sontak terdiam seribu bahasa.
“Kurang ajar! Berani-beraninya dia bilang kayak gitu tadi! Dia pikir … dia itu siapa?! Cuma cowok ingusan yang nggak punya apa-apa aja belagu banget! Kalau bukan karena Danil … udah aku bikin perkedel itu bocah nggak tahu diri!” seru Bima, melayangkan pukulan cukup kencang pada salah satu sofa, sebelum mendudukkan tubuh dengan sangat kasar di sana.
Amara Maheswari—seorang perempuan berumur empat puluhan akhir yang menjabat sebagai ibunda Vanessa—mengembuskan napas panjang beberapa kali. Ia menatap wajah cantik sang anak semata wayang yang terlihat begitu sangat murung pada saat ini, sebelum berjalan mendekati tempat sang suami—berusaha menenangkan pria kesayangannya itu.
“Pa, udah … mas Danil tadi juga udah minta maaf atas kelakuan anaknya, kan … Jadi, kenapa harus marah-marah? Toh, kamu tadi di sana biasa-biasa aja … bahkan, udah maafin kelakuan Az—”
“Papa bilang kayak gitu karena menghormati Danil!” potong Bima sangat cepat, seraya merubah ekspresi wajahnya menjadi sangat tidak bersahabat, “Kalau itu bocah bukan anak dari sahabat Papa sendiri … nggak akan mungkin Papa maafin. Apalagi dia udah ngerendahin anak semata wayang kita, Ma!”
Amara menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan, sebelum dengan penuh kehati-hatian mulai mendudukkan tubuh di samping kanan Bima, lantas menggerakkan tangan untuk memberikan elusan lembut di lengan suaminya itu. “Ya udah, lah, Pa … Mau gimana lagi. Kalau Papa ngerasa direndahkan … kita batalin aja perjodohan ini. Menurut Mama … benar, loh, yang dibilang sama Azka tadi … kalau misalnya kita tetap kekeh jodohin Vanessa sama dia … kemungkinan besar hal-hal buruk malah akan menimpa anak kita.”
Bima terdiam sejenak saat mendengar penjelasan dari sang istri. Ia menggerakkan tangan kanan untuk memberikan pijatan pelan pada keningnya yang mulai terasa pusing, lantas mengalihkan pandangan ke arah sang anak semata wayang yang saat ini masihlah berdiri di tempat semula sambil menggenggam erat kedua tangan di tengah-tengah paha.
“Sayang, Papa cariin cowok lain aja, ya? Cowok yang benar-benar cinta dan sayang sama kamu … bukan ka—”
Vanessa Eleonora Maheswari—seorang cewek cantik berambut cokelat karamel dengan potongan Long soft wavy hair, memiliki tinggi 160 sentimeter—sesegera mungkin memotong perkataan sang papa, sembari menunjukkan ekspresi marah yang begitu sangat manja. “Nggak mau! Aku cuma mau dijodohin sama Azka … nggak mau sama yang lain, titik!”
“Tapi, Sayang … Az—”
“Nggak mau! Aku nggak mau tahu … aku tetap mau nikah sama Azka! Kalau Mama sama Papa batalin perjodohan ini … berarti kalian berdua nggak sayang sama aku lagi!” Vanessa menggembungkan kedua pipi putihnya, menatap penuh amarah serta kekecewaan ke arah kedua orang tuanya, lantas tanpa mengatakan apa-apa sesegera mungkin melangkahkan kaki menuju tangga penghubung lantai dua—meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang terdiam seribu bahasa karena perkataannya. “Aku nggak mau tahu … aku udah terlanjur sayang dan cinta banget sama Azka. Aku harus dapetin dia … aku harus jadi istri dia … apa pun yang terjadi pada nantinya.”
•••
Suara dering handphone berbunyi terdengar memenuhi seluruh bagian dalam sebuah ruangan kamar apartemen berukuran cukup besar, membuat Aira yang tengah sibuk menangis sambil menyembunyikan wajah cantiknya di tengah-tengah kedua paha secara perlahan-lahan mulai mengangkat kepala.
Aira menggerakkan tangan kanannya yang sudah berubah menjadi sangat lemas untuk mengambil handphone dari atas meja samping tempat tidur. Ia mengusap kedua mata indahnya—berusaha menghentikan air mata yang masih terus-menerus mengalir—saat melihat serta membaca nama ‘Ibu Rahayu—pengurus panti’ di dalam layar handphone-nya.
Perempuan berparas cantik itu menghirup udara segar sebanyak yang dirinya bisa dan mengembuskannya secara perlahan-lahan—mencoba menormalkan ucapannya sejenak—sebelum mengangkat panggilan telepon dari Ibu Rahayu pada sore hari ini.
Aira dengan gerakan pelan dan sangat lemas, menggerakkan tangan untuk menempelkan handphone ke telinga kanan—agar dapat mendengar suara Ibu Rahayu dari dalam sana—sembari masih terus-menerus berusaha menghentikan aliran air matanya.
“Ha-Halo, Bu …,” sapa Aira dengan suara sangat pelan yang bergetar hebat dan terbata-bata, ketika sambungan telepon telah terhubung.
“Halo, Sayang … kamu apa kabar?” sapa balik dan tanya seorang perempuan paruh baya dari seberang telepon sana, dengan suara terdengar dipenuhi oleh rasa rindu serta kebahagiaan.
Aira tidak langsung memberikan jawaban, justru memilih menggigit bibir bawahnya cukup kencang sambil memeluk kedua lututnya menggunakan tangan satunya—berusaha menghilangkan ingatan buruk tentang kejadian kemarin malam yang masih terus-menerus masuk serta berputar-putar di dalam kepalanya. Namun, itu tidak berlangsung lama, karena dirinya pelan-pelan mulai memberanikan diri untuk membuka suara saat kembali mendengar suara Ibu Rahayu—kali ini terdengar dipenuhi oleh kekhawatiran.
“Kabar aku baik, kok, Bu … Ibu sama adik-adik gimana di sana? Kalian semua sehat, kah? Nggak ada orang yang berani ganggu kalian lagi, kan, Bu?” jawab dan tanya Aira, mengeratkan pelukan pada kedua lututnya, kala tubuhnya tanpa aba-aba mulai bergetar hebat.
“Alhamdulillah kalau kabar kamu baik, Sayang … Kabar ibu sama adik-adik kamu yang ada di sini juga baik ….” Ibu Rahayu menghentikan ucapannya sejenak, lantas seolah sedang membalas sebuah pertanyaan yang dilontarkan kepadanya di seberang telepon sana. “Maaf, Sayang … tadi ada Viko ….”
“Iya, nggak papa, kok, Bu … syukurlah kalau ibu sama adik-adik di sana baik-baik aja. Aku seneng dengernya,” jawab Aira, sembari secara perlahan-lahan menyandarkan kepala pada kedua lututnya.
“Oh, iya, Sayang … makasih banyak, ya … berkat uang yang kamu kirim kemarin malam … panti sekarang udah aman. Orang yang mau gusur dan ambil alih tempat ini udah nggak gangguin lagi,” ucap Ibu Rahayu dengan suara bergetar—antara lega dan juga terharu, “Adik-adik kamu di sini seneng banget, Sayang. Mereka sampai nangis waktu Ibu kasih tahu kalau tempat ini nggak jadi digusur. Kamu benar-benar penyelamat buat kita semua, Aira ….”
Aira tanpa sadar mengukir senyuman tipis, meskipun senyuman itu terasa sangat getir di wajahnya yang begitu sangat lelah dan dipenuhi oleh banyak sekali air mata. “Jangan bilang kayak gitu, Bu … aku cuma ngelakuin apa yang seharusnya aku lakukan. Lagian … tempat itu, kan, juga rumah buat aku. Aku cuma nggak mau … kehilangan satu-satunya tempat yang pernah nerima aku tanpa syarat.”
Suara isakan kecil terdengar dari seberang telepon sana, diikuti oleh helaan napas lembut milik Ibu Rahayu.
“Kamu selalu jadi anak baik, Sayang … Ibu selalu mendoakan setiap waktu. Semoga pekerjaan kamu sebagai seorang dosen berjalan lancar, semoga kamu dilancarkan rezekinya, dan semoga kelak kamu bisa mendapatkan laki-laki yang tulus sayang dan cinta sama kamu.”
Ucapan itu membuat air mata Aira kembali jatuh dengan ritme semakin bertambah cepat. Ia menutup bibir mungilnya menggunakan punggung tangan kiri, berusaha menahan isakan yang mulai pecah, sebelum pada akhirnya memberikan balasan dengan suara berubah menjadi sangat serak.
“Amin, Bu … Amin … Makasih banyak atas doanya. Aira benar-benar bahagia.”
Setelah mengatakan hal itu, tidak ada lagi sepatah kata pun yang keluar dari dalam mulut Aira maupun Ibu Rahayu—hanya ada suara napas keduanya yang terdengar di sela-sela isakan tangis satu sama lain. Beberapa menit berlalu, sambungan telepon pada akhirnya terputus, membuat Aira menaruh handphone dengan sangat lemas di sisi kanannya, lalu kembali memeluk kedua lututnya sambil menyembunyikan wajah cantiknya di sana—membiarkan air mata terus mengalir tanpa bisa untuk dihentikan sama sekali.
“Ka-kalau panti udah nggak diganggu sama orang lagi … aku udah boleh, kan, buat keluar dari pekerjaan haram itu? Aku udah boleh, kan, kembali hidup normal? … Meskipun … meskipun … meskipun aku udah nggak suci lagi kayak dulu ….”