--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 12 Dunia Luna dan Bryan
“Apakah hari ini kau tidak berkuliah?” tanya Bryan seraya merapikan dasinya. Tatapannya jatuh pada Luna, istrinya, yang masih duduk tenang di atas ranjang dengan rambut yang tergerai lembut.
“Hari ini aku libur,” jawab Luna singkat.
“Kalau begitu, maukah kau ikut bersamaku ke kantor?” Bryan mengarahkan senyuman menawannya, senyum yang selalu berhasil membuat Luna kehilangan kata-kata. “Untuk apa aku ikut?” Luna mengernyit bingung, tidak memahami maksud suaminya.
“Tentu saja untuk menemaniku,” balas Bryan lembut. “Memangnya apa lagi yang akan kau lakukan di rumah sepanjang hari?” Luna terdiam sejenak. Ia memang merasa jenuh berada di penthouse mewah itu seorang diri tanpa kegiatan berarti. Setelah berpikir, ia menghela napas pelan dan akhirnya mengangguk.
“Baiklah… aku akan ikut.” Bryan tersenyum mendengar jawaban itu, senyum hangat yang membuat ruangan seakan ikut menghangat. “Kalau begitu, bersiaplah. Aku akan menunggumu di bawah, mia cara” ucapnya dengan nada penuh kasih sebelum berbalik menuju pintu.
Luna menatap punggung suaminya yang menjauh, dan untuk sesaat hatinya berdebar tanpa ia mengerti alasannya. Ada kehangatan halus yang merambat, seolah pagi itu membawa sesuatu yang berbeda untuk mereka berdua.
Tak lama kemudian, Luna turun dengan dress cantiknya. Gaun sederhana berwarna lembut itu justru membuat pesonanya terlihat lebih natural. Ia berjalan mendekat dengan langkah pelan namun anggun, dan mendapati suaminya sudah duduk di dalam mobil sambil menunggunya "Sudah selesai?” tanya Bryan sambil membuka kaca mobil, tatapannya terarah penuh pada istrinya.
Luna hanya mengangguk pelan dan menundukkan kepala, seolah tidak berani menatap langsung tatapan intens suaminya. Bryan sempat terdiam sejenak, pandangannya menyapu seluruh penampilan Luna dari ujung kaki hingga kepala—bukan dengan cara yang mengintimidasi, tetapi dengan kekaguman yang jelas. “Kau terlihat sangat cantik pagi ini,” ucapnya lembut, nyaris seperti bisikan.
Luna tersentak kecil, tidak menyangka ucapan itu datang begitu tiba-tiba. “Terima kasih…” jawabnya lirih, masih menunduk, pipinya tampak memerah sedikit. “Masuklah,” ujar Bryan sambil membuka pintu mobil dari dalam. “Aku tidak ingin membuatmu berdiri terlalu lama.”
Luna pun masuk dengan hati-hati, duduk di samping Bryan. Aroma parfum suaminya yang maskulin memenuhi ruang mobil, membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari yang ia sadari. Begitu pintu tertutup, Bryan menoleh padanya. “Aku sudah lama menunggu saat seperti ini,” katanya pelan. “Saat kau duduk di sebelahku, bukan hanya sebagai istri… tetapi sebagai seseorang yang ingin aku lindungi dan aku jaga.”
Luna menelan ludah gugup, tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya diam, namun diamnya tidak terasa dingin—melainkan hangat dan penuh makna. Bryan tersenyum tipis. “Baiklah,” katanya akhirnya sambil menyalakan mesin mobil. “Mari kita mulai hari ini bersama-sama.” Dan mobil pun melaju perlahan, mengawali pagi yang terasa berbeda dari biasanya.
.
.
.
Setibanya di gedung Bryan Group mobil mereka perlahan memasuki area parkir yang luas. Cahaya pagi memantul di dinding gedung pencakar langit itu, menambah kesan megah sekaligus elegan. Bryan turun lebih dulu, kemudian menunggu Luna sembari menutup pintu mobil dengan tenang.
Mereka berjalan berdampingan memasuki lobi utama. Para karyawan memberi salam sopan kepada Bryan, sementara Luna mengikuti langkah suaminya dengan penuh kehati-hatian. Suasana gedung yang modern dan megah membuatnya sedikit canggung, namun ia tetap berusaha tampil percaya diri. Sesampainya di depan pintu ruang kerja Bryan, pria itu menoleh pelan.
“Mia cara,” panggilnya lembut. Luna mengangkat wajah. “Eum?”
“Masuklah lebih dulu ke ruanganku,” ucap Bryan dengan nada tenang. “Ada sesuatu yang harus aku selesaikan sebentar. ”Ia mengangkat tangan dan mengusap lembut sisi wajah istrinya gerakan sederhana yang tidak berlebihan, namun cukup membuat Luna terdiam sejenak.
“Tidak lama,” tambahnya, seakan ingin menenangkan. Luna mengangguk pelan. “Baik.” Bryan tersenyum tipis sebelum melangkah pergi, sementara Luna membuka pintu ruangannya perlahan. Ruangan itu luas, dan rapi. Luna masuk dan duduk dengan hati-hati, masih memikirkan sentuhan lembut suaminya yang terasa hangat meski hanya sepersekian detik.
“Aku takut jatuh cinta…” bisik Luna dalam hatinya, suara itu nyaris tidak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan itu bisa muncul, apalagi untuk seseorang seperti Bryan.
Ia menunduk, memikirkan apakah ia pantas mencintai atau bahkan dicintai oleh pria seperti suaminya. Luna hanyalah sosok sederhana, gadis biasa yang tidak pernah mencolok. Sementara Bryan… cukup baginya melangkah melewati pintu masuk kantor, dan mata semua orang otomatis tertuju padanya. Wibawanya, caranya berjalan, cara ia membawa dirinya semuanya membuat Bryan tampak seperti seseorang yang berada jauh di atas jangkauan Luna.
Luna menghela napas pelan. Ia sadar siapa dirinya. Seorang anak yang tumbuh di panti asuhan, tanpa gelar, tanpa keturunan terpandang, tanpa hal yang bisa dibanggakan. Dan di sisi lain, Bryan adalah CEO terkenal yang dihormati banyak orang di negara itu seorang pemimpin yang namanya saja sudah cukup membuat orang menegakkan punggung.
Perbedaan mereka terasa begitu jelas di matanya. Ia dan Bryan bagaikan langit dan bumi terpisah jauh, tak seimbang, dan nyaris mustahil bisa disandingkan. Namun justru karena itulah perasaannya menjadi lebih menakutkan. Karena semakin ia mencoba menjauh dari ketakutan itu, semakin ia merasakan bahwa hatinya perlahan bergerak ke arah Bryan tanpa bisa ia kendalikan.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, membuat Luna tersentak kecil dari lamunannya. Sosok Bryan muncul di ambang pintu, membawa sebuah kotak kecil berisi makanan. “Mia cara,” panggil Bryan dengan suara tenang namun hangat, “aku membawakan ini untukmu.”
Ia berjalan masuk dengan langkah santai, seolah ruangan itu adalah tempat paling alami bagi dirinya. Cahaya dari jendela besar memantul lembut di jasnya, memberi kesan elegan yang tidak dibuat-buat. Luna memandang makanan itu dengan bingung, kemudian mengalihkan tatapannya ke wajah Bryan. “Untuk… aku?”
“Tentu.” Bryan meletakkannya di meja kecil dekat kursi Luna. “Kau belum sarapan, bukan? Aku melihatmu terburu-buru tadi .”Nada suaranya lembut lebih seperti seseorang yang memperhatikan dengan tulus.
Luna terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Bryan memperhatikan hal sekecil itu.
“Terima kasih…” ucapnya pelan. Bryan mengangguk, senyum tipis terukir di sudut bibirnya. “Aku tidak ingin kau berada di sini tanpa merasa nyaman. Jika ada yang kau butuhkan, kau hanya perlu memanggilku.”
Luna menunduk, menyembunyikan perasaan hangat yang tiba-tiba memenuhi dadanya. “Tapi… bukankah kau sibuk?”
“Aku sibuk,” jawab Bryan jujur, “tapi itu tidak berarti aku tidak bisa menyempatkan waktu untukmu.”
Jawaban sederhana itu membuat Luna terpaku. Ia tidak tahu harus membalas dengan apa. Bryan kemudian merapikan lengan jasnya sambil menatap Luna dengan lembut.
“Aku akan kembali bekerja sebentar. Makanlah dulu, jangan sampai kau melewati hari ini tanpa energi.”
Luna mengangguk pelan, sementara Bryan melangkah keluar lagi. Namun sebelum menutup pintu, ia sempat menoleh dan berkata dengan suara lebih halus
“Aku senang kau ada di sini.” Pintu pun tertutup perlahan, meninggalkan Luna yang kini memegang camilan itu dengan perasaan yang sulit ia jelaskan campuran hangat, gugup, dan sedikit bahagia.
Setelah Bryan meninggalkan ruangan, Luna duduk diam sejenak, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Ada sesuatu pada cara Bryan berbicara tenang, penuh perhatian, tanpa tekanan yang membuat hatinya terasa hangat.
Beberapa menit kemudian, suara langkah Bryan terdengar samar di luar sebelum akhirnya menjauh. Ia tengah menuju ruang rapat besar di lantai yang sama, dikelilingi oleh para direktur dan manajer yang sudah menunggunya.
Sementara itu, Luna mengambil camilan yang Bryan bawakan tadi, membuka kotaknya perlahan. Aroma manisnya memenuhi udara. Ia tersenyum kecil tanpa sadar, perhatian sekecil itu saja sudah mampu membuat perasaannya bergetar.
Setelah memakan beberapa potong, Luna berdiri dan berjalan mendekati jendela besar di ruangan Bryan. Dari sana, ia bisa melihat sebagian lantai kantor: karyawan yang bekerja dengan serius, beberapa berdiskusi di area terbuka, dan suara mesin printer yang terdengar samar semuanya terlihat begitu sibuk dan profesional.
Luna melangkah keluar dari ruangan, penasaran dengan suasana kantor.
Ia berjalan pelan, menyusuri koridor dengan rasa kagum pada desain interior yang modern dan elegan. Beberapa karyawan memperhatikannya sekilas, sebagian dari mereka tersenyum sopan atau menunduk memberi salam.
Luna membalas dengan anggukan dan tersenyum sopan. Ia bisa merasakan betapa berbeda dunianya dengan dunia Bryan. Ruangan ini dipenuhi orang orang yang percaya diri, cekatan, dan tahu apa yang harus dilakukan. Sedangkan ia… masih mencoba memahami tempatnya di tengah semua ini.
Namun entah kenapa, perasaan canggung itu tidak terasa terlalu berat. Mungkin karena ia tahu Bryan berada tidak jauh darinya, meski sedang rapat.
Luna berhenti di depan dinding kaca besar yang mengarah ke ruang rapat. Dari luar, ia bisa melihat Bryan sedang duduk di ujung meja panjang, mendengarkan laporan salah satu direktur. Gesturnya tenang, ekspresinya fokus dan penuh wibawa, dan cara ia memimpin rapat terlihat alami—seolah ia memang ditakdirkan berada di posisi itu, Luna menoleh lagi ke arah Bryan. Meskipun ruangan itu penuh orang,
entah kenapa pandangannya hanya tertuju pada satu sosok suaminya.
.
.
.
🌻🌻🌻🌻