Kabur dari perjodohan toksik, Nokiami terdampar di apartemen dengan kaki terkilir. Satu-satunya harapannya adalah kurir makanan, Reygan yang ternyata lebih menyebalkan dari tunangannya.
Sebuah ulasan bintang satu memicu perang di ambang pintu, tapi saat masa lalu Nokiami mulai mengejarnya, kurir yang ia benci menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percaya.
Mampukah mereka mengantar hati satu sama lain melewati badai, ataukah hubungan mereka akan batal di tengah jalan?
Yuk simak kisahnya dalam novel berjudul "Paket Cinta" ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imamah Nur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. Upeti
“Jelaskan padaku apa-apaan ini," ulang Reygan.
Aroma manis dari butter cake yang hangat di tangan Nokiami menguap seketika, digantikan oleh hawa dingin yang menusuk dari nada suara Reygan. Senyum canggung yang susah payah Nokiami siapkan luruh dari wajahnya, mencair seperti mentega di atas wajan panas. Bungkusan kue di tangannya, yang beberapa detik lalu terasa seperti piala kemenangan, sebuah manifesto kebebasan yang rapuh, kini terasa konyol dan berat. Beban yang memalukan.
Matanya beralih dari wajah Reygan yang mengeras seperti batu pualam ke layar ponsel yang disodorkan pria itu. Cahayanya yang kebiruan menyorot tajam di koridor yang remang, menampilkan sebuah utas percakapan di aplikasi pesan instan. Sebuah grup obrolan, sepertinya. Nokiami menyipitkan mata, mencoba membaca teks di bawah foto profil seorang pria dengan helm hijau.
Rekan Driver 08: Gan, ada Mercy item di lobi. Plat B 1 LEO. Cowoknya necis banget, nyariin cewek di unit 100. Ngakunya tunangan lo.
Rekan Driver 03: Waduh, drama lagi?
Rekan Driver 08: Dia nunjukin foto ceweknya. Mirip banget sama pelanggan langganan lo itu. Yang ngasih bintang satu.
Jantung Nokiami serasa berhenti berdetak selama beberapa detik sebelum kembali berpacu dengan kecepatan gila. B 1 LEO. Leo. Di lobi. Sekarang. Realitas menghantamnya dengan kekuatan palu godam, meremukkan sisa-sisa euforia paginya hingga menjadi debu. Udara di sekitarnya menipis, membuatnya sulit bernapas.
“Dia … dia di sini?” bisik Nokiami, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
“Menurutmu kenapa aku marah?” desis Reygan, menarik kembali ponselnya dengan gerakan kasar dan memasukkannya ke saku. Matanya yang gelap menyorot tajam ke arah Nokiami, lalu turun ke bungkusan kue di tangannya. Sebuah seringai sinis yang penuh cemoohan terukir di bibirnya. “Jadi, ini apa? Uang tutup mulut? Sogokan supaya aku tidak bilang ke keamanan kalau ada buronan yang bersembunyi di unit ini?”
Tuduhan itu, begitu tajam dan tidak adil, berhasil menembus kabut kepanikan Nokiami. Rasa sakit menjalari dadanya, lebih perih daripada sengatan di pergelangan kakinya. Setelah semua pengakuan yang ia tumpahkan semalam, setelah momen kerentanan yang langka itu, inikah yang Reygan pikirkan tentangnya? Bahwa ia serendah itu?
Kemarahan, murni dan panas, mulai mendidih di dalam dirinya, mengusir rasa takut. Kemarahan pada Leo yang telah memburunya. Kemarahan pada Reygan yang begitu cepat menghakiminya dan yang terpenting, kemarahan pada dirinya sendiri karena sempat berpikir pria di hadapannya ini mungkin bisa mengerti.
“Sogokan?” ulang Nokiami, suaranya bergetar, tetapi bukan karena takut. Kali ini karena amarah. Ia tertawa hambar. “Kau pikir aku punya waktu untuk menyogokmu saat tunangan psikopatku ada di lantai bawah? Kau pikir otakku isinya hanya kue dan uang suap?”
Ia melangkah maju, terpincang, hingga hanya ada jarak beberapa sentimeter di antara mereka. Ia bisa mencium aroma hujan yang samar dari jaket Reygan, bercampur dengan aroma keringat dari kerja kerasnya.
“Dengar, ya,” katanya, menusukkan jari telunjuknya ke dada bidang Reygan, membuat pria itu sedikit terkejut.
“Kue ini kubuat karena untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku merasa berhak menikmati sesuatu yang manis tanpa harus mendengar bisikan menjijikkan di kepalaku. Aku membuatnya untuk diriku sendiri. Dan aku berniat memberikannya padamu karena, entah kau percaya atau tidak, aku merasa berterima kasih atas percakapan kita semalam. Karena salep bodoh dari ayahmu itu.”
Reygan terdiam, ekspresi wajahnya berubah dari amarah murni menjadi kebingungan yang kentara. Ia menatap jari Nokiami yang masih menekan dadanya, lalu ke mata gadis itu yang berkilat-kilat menantang.
Nokiami menarik napas dalam-dalam, keberanian barunya terasa memabukkan.
“Tapi sepertinya aku salah. Kau tidak mengerti bahasa terima kasih. Kau hanya mengerti bahasa transaksi, ancaman, dan ulasan bintang satu.”
Ia menarik kembali tangannya dan menyodorkan bungkusan kue itu dengan paksa ke arah Reygan. “Jadi, anggap saja begini. Ini bukan sogokan. Ini upeti.”
“Upeti?” Reygan mengernyit, kata itu terdengar aneh keluar dari mulutnya.
“Ya. Upeti,” tegas Nokiami. “Upeti atas semua drama yang sudah kuseret kau ke dalamnya. Upeti untuk galon air sialan itu. Dan yang paling penting, upeti agar kau tutup mulut.”
Reygan membuka mulutnya hendak memprotes, tetapi Nokiami lebih cepat.
“Dan satu lagi,” lanjutnya, nadanya kini dingin dan penuh perhitungan, meminjam sedikit dari kekejaman yang biasa Reygan tunjukkan.
“Kalau kau berani menghina makananku lagi, atau mengomentari apa pun yang masuk ke mulutku, aku bersumpah, aku akan pergi ke manajemen gedung ini dan menceritakan kisah yang sangat menarik tentang bagaimana seorang kurir pengantar makanan mengaku-ngaku sebagai ‘tunangan’-ku saat alarm kebakaran berbunyi. Aku ingin lihat bagaimana peraturan perusahaanmu menanggapi hal itu.”
Keheningan yang pekat menyelimuti koridor. Reygan hanya menatapnya, mulutnya sedikit ternganga. Topeng kurir pemarahnya telah hancur berkeping-keping, digantikan oleh ekspresi keterkejutan murni. Ia seperti sedang melihat seekor anak kucing yang tiba-tiba berubah menjadi harimau.
Nokiami kembali menahan napas, menunggu reaksi Reygan. Mungkin ejekan, bantahan, atau mungkin ledakan amarah yang lebih besar.
Namun, yang terjadi selanjutnya adalah sesuatu yang sama sekali tidak ia duga. Sudut bibir Reygan berkedut. Ia lalu menghela napas panjang, sebuah suara yang terdengar seperti kekalahan sekaligus geli. Tanpa sepatah kata pun, ia mengambil bungkusan kue dari tangan Nokiami. Jari-jari mereka bersentuhan lagi, kali ini tanpa sengatan canggung, hanya sebuah kontak yang terasa pasrah.
Ia menimang-nimang bungkusan itu, merasakan kehangatannya yang mulai memudar. Matanya menatap kertas roti yang membungkus kue itu dengan saksama.
“Upeti, ya?” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Ia akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Nokiami. Kilat berbahaya di matanya telah meredup, digantikan oleh sesuatu yang lain. Yaitu rasa ingin tahu yang enggan ia akui. “Transaksi yang aneh.”
Ia berbalik, hendak melangkah pergi. Nokiami mengira konfrontasi itu telah usai. Namun, di ambang tangga darurat, Reygan berhenti. Ia menoleh sedikit ke belakang, tatapannya jatuh pada bungkusan di tangannya.
“Kue ini ...,” ucapnya pelan, nadanya kembali datar seperti biasa, tetapi ada intonasi aneh di dalamnya.
“Apakah rasanya sama pengap dan penuh drama seperti pembuatnya?”
Nokiami baru saja akan melontarkan balasan pedas, ketika ponsel di saku jaket Reygan bergetar hebat. Bukan getaran notifikasi biasa, melainkan panggilan masuk.
"Shit."
Reygan mengumpat pelan, tangannya merogoh sakunya dengan gerakan cepat. Ia menatap layar ponselnya, dan dalam sekejap, semua warna terkuras dari wajahnya. Rahangnya kembali mengeras, tetapi kali ini bukan karena amarah. Itu adalah ketegangan murni. Ketakutan.
“Sial,” desisnya, nyaris tak terdengar.
Ia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke mata Nokiami, tatapannya begitu tajam seolah hendak menembus tengkoraknya.
“Dia tidak lagi di lobi,” katanya, suaranya rendah dan mendesak.
“Dia sudah melewati petugas keamanan. Dia menuju lift.”