Cerita ini berpusat pada perjalanan Anita, seorang wanita yang dikhianati, dan bahkan dibunuh secara semu oleh suaminya Hendric dan sahabatnya Reina-semua karena hasrat akan harta dan kekayaan. Malam yang mengubah segalanya terjadi di Jakarta, ketika Anita menyaksikan perselingkuhan keduanya dan mendengar rencana mereka untuk mengorbankannya. Dalam kepanikan, dia melarikan diri tapi terjebak di tepi tebing, kemudian dilemparkan ke lautan. Namun, takdir mempertemukannya kembali.
ima tahun kemudian, dia muncul sebagai Natasya, kuat dan penuh tekad untuk membalas dendam dan membongkar kebenaran. Di tengah semua itu, ada Ryujin-seseorang yang mencintainya dengan tulus dan selalu ada di sisinya, menjadi pijakan emosional dan kekuatan dalam perjuangannya menuju keadilan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heryy Heryy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34.Bukti yang Hilang: Perjuangan untuk Keadilan di Tengah Kesedihan
Setelah Ryujin memberitahu berita tentang ayahnya, Natasya merasa seluruh dunia runtuh. Tubuhnya gemetar, air mata menetes deras tanpa henti. "Kita harus pergi melihatnya, Ryujin," katanya dengan suara yang lemah, tak mampu membaca ekspresi sedih di wajah Ryujin. "Aku harus melihat ayahku untuk yang terakhir kalinya."
Ryujin mengangguk perlahan, menggenggam tangannya dengan erat. "Baiklah, Anita. Aku akan mengantarmu." Ia memacu mobilnya dengan perlahan, tidak ingin tergesa-gesa dan membuat Natasya semakin sedih. Di jalan, suasana sunyi—hanya suara angin dan tangisan Natasya yang terdengar, membuat hati Ryujin terasa seperti tertusuk duri.
Saat mereka sampai di rumah duka yang disediakan polisi, jasad Pak Andra telah diletakkan di dalam peti mati yang dihiasi bunga putih. Natasya berjalan dengan langkah yang goyah, mata hanya terpaku pada peti mati itu. Saat ia mendekat, ia melihat wajah ayahnya yang damai—seolah hanya tidur dan akan bangun kapan saja.
"Ayah... ayahku..." bisiknya, tangannya menyentuh kaca peti mati. Segera setelah itu, dia menangis tersedu-sedu, tubuhnya berguncang karena kesedihan yang luar biasa. Ryujin memeluknya erat dari belakang, menyelubungi tubuhnya yang lemah. Wajahnya terlihat tegas, tapi hatinya juga sedang menahan rasa sedih—ia mengenal Pak Andra sejak masa kecil, pria yang selalu ramah dan menyayanginya seperti anak sendiri. "Pak Andra, maafkan aku tidak bisa menyelamatkanmu," pikirnya. "Tapi aku berjanji akan melindungi Anita, selalu."
Hari itu dan hari esoknya, Ryujin membantu Natasya mengurus semuanya—dari proses otopsi hingga persiapan pemakaman. Ines dan Doni juga selalu ada di sisi, membantu dengan segala yang dibutuhkan. Mereka tidak berkata banyak, hanya memberikan dukungan dengan diam-diam, memahami betapa dalam kesedihan Natasya.
Pada hari pemakaman, langit mendung dan mulai turun hujan ringan—seolah langit juga menangis bersama Natasya. Banyak orang datang: teman-teman ayahnya, pekerjanya di butik, dan beberapa tamu yang pernah mengenal Anita. Natasya berdiri di depan makam, tangan memegang bunga mawar putih yang akan ia letakkan di atas tanah. Ia tidak berhenti menangis, mengingat semua masa indah bersama ayahnya—ketika ayahnya mengajaknya bermain di taman, ketika ayahnya mendukung impiannya menjadi desainer, ketika ayahnya selalu ada di saat dia butuh.
"Ayah, maafkan aku," teriaknya dengan suara yang tersedak. "Aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku tidak pantas menjadi putrimu."
Ryujin mendekat dan memegang tangannya. "Jangan berkata begitu, Anita. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Ayahmu pasti bangga padamu."
Setelah semua tamu pergi, Natasya tetap berdiri di depan makam, melihat hujan yang terus turun. Ia berjanji di hati: "Ayah, aku akan membuat orang yang membunuhmu membayar. Aku tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan keadilan yang pantas."
Setelah selesai pemakaman, polisi mendekati Natasya. "Nyonya Natasya—maaf, Anita," kata petugas polisi dengan sopan. "Kita meminta maaf mengganggumu di saat seperti ini, tapi kita butuh kesaksianmu sebagai korban. Bolehkah kamu menceritakan kejadian malam itu secara rinci?"
Natasya mengangguk, menyeka air mata dengan lengan jaketnya. Di ruang kerja polisi, ia menceritakan semua yang terjadi—dari saat ia dihubungi penculik, sampai saat ayahnya mendorong Ryujin dan tertembak, sampai saat ia jatuh ke jurang. Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa sulit, tapi ia tahu ini penting untuk keadilan ayahnya.
Setelah selesai menceritakan, petugas polisi menghembuskan nafas pelan. "Kami memahami, Nyonya. Tapi sayangnya, saat ini kami belum bisa menemukan bukti apapun untuk melakukan penangkapan terhadap Hendric. Semua anak buahnya yang ada di lokasi sudah meninggal, dan tidak ada saksi lain yang melihat kejadian itu."
Natasya merasa frustasi. "Tapi aku punya bukti! Aku telah mengumpulkan semua bukti tentang kejahatan Hendric dan Reina selama ini—dokumen, pesan teks, bahkan rekaman suara. Semuanya ada di apartemenku!"
"Baiklah, kita akan mengambil bukti itu untuk diselidiki," kata petugas polisi. "Itu akan sangat membantu kasus ini."
Segera setelah itu, Natasya meminta Ines dan Doni untuk pergi ke apartemennya untuk mengambil semua bukti. "Tolong ambil semua yang ada di lemari bawah meja kerja ku," katanya kepada Ines. "Semua dokumen dan perangkat elektronik yang ada di sana adalah bukti."
Ines dan Doni segera pergi ke apartemen Natasya. Tapi saat mereka membuka pintu, mereka terkejut—seluruh ruangan sudah berantakan. Meja terbalik, lemari terbuka, dan semua barang-barang tersebar di lantai. Ines bergegas ke ruang kerja, membuka lemari bawah meja kerja—dan menemukan bahwa semuanya sudah hilang.
"Doni! Semua bukti sudah hilang!" teriak Ines dengan panik. "Tidak ada satupun yang tersisa!"
Doni memeriksa sekeliling ruangan, melihat jejak kaki yang tidak dikenal dan tanda-tanda bahwa seseorang telah masuk dengan paksa. "Kita harus memberitahu Natasya dan polisi segera."
Ketika Natasya mendengar berita itu, ia merasa pingsan. Semua upaya yang ia lakukan selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan bukti—semua itu hilang dalam sekejap. "Bagaimana bisa? Siapa yang melakukan ini?" tanyanya dengan suara yang gemetar.
Petugas polisi mengangguk dengan sedih. "Dengan kurangnya bukti dan saksi, akan sangat sulit untuk melakukan penangkapan terhadap Hendric. Tapi jangan khawatir—kami akan terus mengusut kasus ini, mencari setiap jejak yang mungkin."
Di sisi lain, Hendric sedang duduk di ruang kerjanya, menyipitkan mata melihat alat penyadap yang ditemukan orangnya di bawah meja. "Sejak kapan dia memasang ini?" tanyanya dengan kemarahan.
"Kita baru menemukan hari ini, Pak," jawab anak buahnya yang baru. "Kita pikir dia memasangnya untuk mendengar semua percakapanmu."
Hendric mengerang, menyadari bahwa Natasya adalah dalang di balik semua masalah yang terjadi padanya—semua kerusakan pada perusahaan, semua kebingungan yang dialami Reina, semua yang membuatnya terjebak dalam masalah. "Dia berpikir dia bisa mengalahkan aku dengan bukti itu?" katanya dengan senyum jahat. "Tidak mungkin. Malam ini, kamu harus masuk ke rumahnya dan melenyapkan semua bukti yang dia kumpulkan. Jangan biarkan satupun tersisa."
Anak buahnya mengangguk. "Baiklah, Pak. Kita akan melakukannya malam ini."
Hendric melihat jendela, mata penuh kebencian. "Anita, kamu pikir kamu bisa membunuhku dengan bukti? Kamu salah. Aku akan membuatmu menyesal seumur hidupmu—seperti yang kamu lakukan padaku."
Malam itu, Natasya berdiri di depan jendela apartemen Ryujin, melihat malam hari Jakarta yang sibuk. Ryujin berdiri di belakangnya, memeluknya erat. "Jangan putus asa, Anita," katanya dengan suara yang lemah. "Kita akan menemukan cara lain. Bukti tidak akan hilang selamanya—ada pasti seseorang yang melihat atau mendengar sesuatu."
Natasya mengangguk, tapi hatinya penuh keraguan. Semua bukti yang ia miliki hilang, dan Hendric masih bebas, siap untuk membahayakannya lagi. Tapi saat ia merasakan pelukan Ryujin, ia merasa sedikit tenang. Ia tahu ia tidak sendirian—ia memiliki Ryujin, Ines, dan Doni yang selalu akan mendukungnya. Dan meskipun jalan menuju keadilan akan sulit, ia tidak akan berhenti. Ayahnya telah memberikan nyawanya untuk menyelamatkannya, dan ia akan memastikan bahwa nyawa ayahnya tidak terbuang sia-sia.
"Aku tidak akan berhenti, Ryujin," bisiknya. "Aku akan membuat Hendric membayar, bahkan jika itu adalah yang terakhir yang aku lakukan."
Ryujin memeluknya lebih erat, mencium puncak kepalanya. "Aku akan selalu ada di sisimu, Anita. Bersama-sama, kita akan mendapatkan keadilan untuk ayahmu."
Di kejauhan, langit mulai terang, menandakan bahwa pagi akan tiba. Meskipun malam ini penuh kesedihan dan kegalauan, Natasya merasa ada harapan—harapan bahwa suatu hari nanti, keadilan akan menang, dan ayahnya akan bisa damai.
Masih eps 1😭😭