Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyatuan
Beberapa saat kemudian, suara hujan dan dentuman petir samar-samar terdengar di telinga Alden. Kepalanya berdenyut sakit, pandangannya masih buram. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengumpulkan kesadarannya.
Ketika matanya sudah mulai dapat melihat dengan jelas, ia tersadar jika dirinya berada dalam situasi yang mencekam sementara hujan masih turun dengan derasnya seolah tak ingin berhenti.
Alden melihat mobilnya rusak parah di bagian depan, pohon tadi masih menindih kap mobil dan bemper depan, membuat mesinnya tersembunyi di balik reruntuhan.
Alden memegangi kepalanya yang masih sangat pusing dan terasa sakit akibat benturan, tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Nay…" gumamnya setengah kaget, ia melupakan seseorang yang dibawanya.
Panik segera menyeruak di dadanya saat ia menyadari Naysila tadi duduk di kursi penumpang. Alden spontan menoleh ke arah belakang, terlihat Naysila masih di sana dengan tubuh terkulai.
"Astaghfirullah," ucapnya.
Dengan napas tersengal, ia berusaha melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Meski tubuhnya terasa berat dan kepalanya masih berputar, ia memaksakan diri untuk keluar.
Hujan deras langsung mengguyur tubuhnya, membuatnya semakin sulit untuk bergerak. Dengan langkah tertatih, Alden bergegas ke belakang mobil, membuka pintu di tempat Naysila duduk.
"Nay! Naysila! Kamu dengar aku?" suaranya bergetar, mencengkeram bahu wanita itu dengan cemas.
Naysila terkulai lemas, tak merespons, matanya tertutup rapat. Wajahnya pucat, dan ada goresan kecil di pelipisnya. Alden menelan ludah, menahan rasa takut yang menghantam dadanya.
"Bangun, Nay… tolong, buka matamu," pintanya putus asa sambil mengguncang tubuh Naysila sekencang mungkin.
Tetapi, Naysila sama sekali tak merespon, membuat Alden semakin cemas.
Angin kembali kencang, dedaunan dan ranting beterbangan di sekitar mereka. Alden merasakan dingin menggigit kulitnya yang terguyur air hujan, tetapi ia mengabaikannya. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Naysila selamat.
Dengan hati-hati, ia menyentuh leher Naysila, mencoba merasakan denyut nadinya. Masih ada. Meski lemah, itu cukup untuk membuatnya sedikit lega.
Alden mengusap wajahnya yang basah oleh hujan dan keringat. Ia harus segera membawa Naysila ke tempat yang lebih aman. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mencoba membopong wanita itu keluar dari mobil yang kini tertimpa reruntuhan cabang pohon.
'ZRAASSH!'
Petir kembali menyambar di kejauhan, menerangi wajah Alden yang penuh kecemasan. Dalam hati, ia berdoa agar semuanya baik-baik saja. Namun, ia tak bisa mengabaikan satu hal, rasa takut yang perlahan mulai menyelimuti hatinya.
Apakah mereka akan selamat?
Alden mengeratkan rahangnya, berusaha mengendalikan kepanikan yang mulai menguasai dirinya.
Hujan deras terus mengguyur, membuat tanah di sekitar mereka berubah menjadi lumpur yang licin. Langkah Alden tertatih saat ia mencoba menjauh dari mobil yang tertimpa pohon. Napasnya tersengal, tetapi ia tak berhenti.
Tubuh keduanya kini semakin diguyur hujan, Alden berusaha keras membawa Naysila ke tempat yang lebih aman. Ia khawatir jika terus berada di dalam mobil, akan ada pohon tumbang lagi yang mungkin akan membuat mereka celaka.
"Nay, bertahanlah… Aku akan membawamu ke tempat aman," gumamnya lirih.
Matanya menatap ke sekeliling, mencari tempat berlindung. Sebuah bangunan kecil seperti bekas warung atau semacamnya terlihat di kegelapan dari tempat mereka menepi, hanya sekitar beberapa meter dari tempat mereka sekarang. Dengan sekuat tenaga, Alden menyeret langkahnya ke sana, menahan rasa sakit dan dingin yang kian menusuk tulang.
Alden memeluk tubuh Naysila yang kini dalam dekapannya, tak ingin terjadi hal buruk pada Naysila sekalipun ia tak menyukainya.
Sesampainya di bawah atap kecil bangunan kecil itu, ia segera merebahkan Naysila dengan hati-hati di atas sebuah meja tua yang sudah setengah rusak. Tangannya dengan gemetar menyentuh wajah wanita itu yang masih dingin dan basah.
"Naysila, bangun… Tolong," suaranya nyaris bergetar.
Tangannya menepuk pipi Naysila dengan lembut, berharap ada reaksi. Namun, wanita itu masih diam, napasnya lemah. Alden merogoh sakunya, mencari ponselnya, tetapi benda itu basah dan mati total.
Sial!
"Bagaimana aku bisa meminta bantuan jika ponselku mati?" gumamnya dengan frustasi.
Matanya kembali menyapu sekeliling, berharap ada seseorang yang bisa membantu, ia sangat berharap akan ada kendaraan yang melintas. Namun, jalan raya di depan mereka pun terlihat sepi, hanya ada cahaya lampu jalan yang berpendar suram di tengah hujan.
Alden mengepalkan tangan. Ia harus mencari bantuan!
Dengan cepat, ia melepas jasnya yang sudah basah kuyup, lalu menyelimuti tubuh Naysila agar sedikit lebih hangat. Kemudian, ia bangkit berdiri dan mulai berlari ke arah jalan raya, berharap ada mobil yang melintas.
Hujan dan angin masih menggila, membuat langkahnya semakin berat. Namun, ia tak peduli.
Demi Tuhan, ia tidak akan membiarkan Naysila dalam keadaan seperti ini!
Alden berdiri di tepi jalan dengan napas tersengal merentangkan kedua tangannya dan berdiri tegap seolah menantang hujan yang sama sekali tak berhenti, menatap kosong ke arah jalan raya yang lengang. Tak ada satu pun mobil yang melintas, tak ada harapan akan datangnya pertolongan. Hujan masih mengguyur deras, angin kencang berembus membuat tubuhnya semakin menggigil.
Ia menoleh ke arah Naysila yang masih terbaring di warung kecil itu.
Alden kembali berlari menghampirinya. "Nay… tolong bertahan," suaranya bergetar, penuh kepanikan.
Ia menyentuh tangan Naysila, begitu dingin. Napasnya semakin lemah. Alden menggigit bibirnya, merasa putus asa. Jika mereka terus di sini, Naysila bisa mengalami hipotermia, sementara tak ada satupun yang dapat menolong mereka.
Ia harus menemukan tempat yang lebih hangat!
Dengan sisa tenaga, Alden kembali mengangkat tubuh istrinya. Ia melangkah terseok-seok sedikit lebih cepat, mencari tempat berlindung yang lebih aman. Lama berjalan, matanya menangkap sebuah bangunan tua di seberang jalan yang letaknya lebih jauh dari warung kecil tadi, tampaknya sebuah gudang kosong yang sudah lama tak terpakai.
Tanpa berpikir panjang, Alden menyeberangi jalan yang tergenang air, lalu mendorong pintu kayu yang sedikit lapuk dari bangunan itu dan masuk ke dalamnya dengan membawakan Naysila. Gudang itu kosong dan gelap, tapi setidaknya bisa melindungi mereka dari terpaan hujan dan angin untuk sementara.
Alden merebahkan Naysila di lantai yang berdebu. Ia sendiri menggigil hebat, pakaian mereka basah kuyup, dan udara dingin menusuk hingga ke tulang.
"Nay... kumohon, buka matamu," Alden menggenggam tangan Naysila, menggosoknya perlahan agar lebih hangat.
Tapi Naysila tetap diam. Napasnya semakin pelan, tubuhnya semakin dingin.
"Nay, aku gak akan memaafkan diriku sendiri kalau terjadi apa-apa padamu. Bukalah matamu, Nay. Aku mohon..." pinta Alden dengan suara lirih, Alden takut Naysila tak mampu bertahan dengan keadaan sekarang.
Ketakutan mulai merayap dalam diri Alden. Ia tahu harus melakukan sesuatu. Ia harus menghangatkannya sebelum terlambat.
Tanpa ragu, ia mulai membuka kemejanya yang basah, lalu melepas jilbab hingga pakaian Naysila yang juga basah kuyup. Ia duduk sambil bersandar dan menarik tubuh Naysila mendekat, mendekapnya erat agar panas tubuhnya bisa tersalur pada wanita itu.
"Aku di sini, Nay… Bertahanlah," bisiknya, memeluk tubuh mungil itu dengan erat.
Dalam gelapnya ruangan, Alden dapat merasakan detak jantung Naysila melemah, kulit mereka telah menempel tanpa penghalang apapun. Alden mendekap Naysila lebih erat, ia merasa sedikit hangat.
Alden menatap wajah Naysila dalam kegelapan yang hanya dapat terlihat dengan samar. Wajah itu tampak pucat, bibirnya sedikit bergetar karena kedinginan. Dalam dekapan eratnya, tubuh wanita itu terasa begitu rapuh. Awalnya, Alden hanya ingin menghangatkannya, hanya itu. Namun, seiring waktu berlalu, sesuatu yang lain muncul dalam dirinya.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Tatapannya jatuh pada wajah Naysila yang tertidur lemah di dadanya, napasnya yang hangat berembus di kulitnya. Tanpa sadar, jarinya tergerak untuk menyentuh pipi wanita itu, mengusapnya perlahan.
Alden menelan ludah. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya, sesuatu yang selama ini ia abaikan. Seharusnya ia tak peduli pada wanita ini. Seharusnya malam ini hanya tentang mengantar Naysila kembali ke rumah orang tuanya, mengakhiri semua hubungan di antara mereka. Seharusnya ia merasa lega.
Namun, mengapa rasanya begitu berbeda sekarang?
Hujan masih mengguyur di luar, angin kencang terus berembus. Tapi di dalam ruangan gelap ini, Alden merasakan panas yang berbeda. Matanya menelusuri setiap inci wajah Naysila, menghafalnya dalam diam. Perlahan, tanpa bisa menghentikan dorongan dalam dirinya, ia mendekat, menurunkan wajahnya hingga nyaris sejajar dengan wajah Naysila.
Sejenak, ia terdiam. Namun, ketika bibirnya hampir menyentuh bibir wanita itu, ia tersentak.
"Astaghfirullah, apa yang sedang ia lakukan?" tanyanya pada diri sendiri.
Alden mengerjapkan mata, mencoba menenangkan diri. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya. Tidak. Ini salah. Ia tidak bisa melakukan ini.
Dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya, menegakkan tubuhnya kembali. Ia menggigit bibirnya, frustrasi dengan dirinya sendiri. Hatinya berkecamuk antara rasa bersalah dan sesuatu yang lain, sesuatu yang belum ingin ia akui.
Hanya suara hujan deras yang menggema di luar, sementara di dalam sana, Alden melakukan segala yang bisa ia lakukan demi menyelamatkan istrinya dari kedinginan yang hampir merenggutnya.
*****