"Apa gunanya uang 100 Miliar jika tidak bisa membeli kebahagiaan? Oh, tunggu... ternyata bisa."
Rian hanyalah pemuda yatim piatu yang kenyang makan nasi garam kehidupan. Dihina, dipecat, dan ditipu sudah jadi makanan sehari-hari. Hingga suatu malam, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[Sistem Kapitalis Bahagia Diaktifkan]
[Saldo Awal: Rp 100.000.000.000]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sukma Firmansyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: Aroma Surga dan Tamu dari Neraka
Jalan Merpati biasanya hanya dilewati truk sampah atau pengendara yang mencari jalan tikus untuk menghindari macet. Tapi hari ini, ada fenomena aneh.
Sejak pukul sepuluh pagi, antrean manusia sudah mengular panjang hingga keluar trotoar. Ojek online dengan jaket hijau, karyawan kantoran berdasi yang rela jalan kaki jauh, hingga ibu-ibu berdaster, semuanya berdiri sabar di bawah terik matahari.
Penyebabnya cuma satu: Aroma.
Dari dalam ruko No. 88 yang kini bercat putih bersih, tercium wangi gulai yang tidak masuk akal. Aromanya bukan sekadar "enak". Baunya seperti kenangan masa kecil yang hangat, seperti pelukan ibu, seperti hari Minggu yang santai. Bau itu seolah memanggil-manggil selera makan siapa saja dalam radius 500 meter.
Di atas pintu ruko, terpampang papan nama kayu sederhana namun elegan:
WARUNG NASI BAHAGIA
Menu Spesial: Nasi Rames Sultan - Rp 10.000
Di dalam, Rudi bergerak secepat kilat. Keringat membasahi keningnya, tapi wajahnya sumringah. Ia mengatur antrean, mencatat pesanan, dan memastikan semua orang kebagian tempat duduk.
"Sabar ya, Bapak Ibu! Stok masih banyak! Jangan dorong-dorongan!" teriak Rudi penuh wibawa. Dulu ia minder dipecat pabrik, sekarang ia merasa seperti manajer restoran bintang lima.
Di dapur terbuka (Open Kitchen) yang dibatasi kaca bening, Bu Ningsih beraksi layaknya dirijen orkestra. Tangannya cekatan menuangkan kuah gulai kental ke atas nasi panas, menambahkan orek tempe yang berkilau kecap, dan sepotong ayam goreng lengkuas yang garing.
Setiap kali pelanggan menerima piring itu dan menyuapkan sendok pertama, reaksinya selalu sama.
Hening sejenak. Mata melebar. Lalu senyum lebar merekah secara otomatis.
Seorang bapak tua sopir angkot yang duduk di pojok bahkan menangis sambil makan.
"Ya Allah... rasanya kayak masakan almarhumah istri saya..."
Di balik meja kasir, Rian duduk santai sambil meminum es teh manis. Namun, di matanya, ia sedang melihat hujan meteor.
[Ting! +10 Poin]
[Ting! +15 Poin]
[Ting! +50 Poin (Pelanggan Sangat Terharu)]
[Ting! +12 Poin]
Notifikasi sistem berbunyi tanpa henti seperti mesin kasir yang rusak.
"Baru buka 3 jam, poin udah nambah 400," gumam Rian puas. "Resep Bumbu Alami + Tangan Ajaib Bu Ningsih + Harga Murah \= Cheat Code Kehidupan."
Semuanya berjalan sempurna. Hingga... "Tamu dari Neraka" itu datang.
BRAKK!
Sebuah kursi plastik di deretan paling depan ditendang hingga terpental ke tengah jalan. Piring berisi nasi milik seorang pelanggan tumpah berantakan.
Suasana warung yang tadinya ramai syahdu mendadak sunyi senyap. Musik kecapi sunda yang diputar dari speaker langsung dimatikan Rudi.
Tiga motor RX-King berhenti di depan ruko, memblokir jalan masuk. Asap knalpotnya mengepul hitam, merusak aroma surga masakan Bu Ningsih.
Enam orang pria turun. Mereka berwajah sangar, bertato, dan membawa aura kekerasan. Pemimpinnya bukan lagi si Tato Naga yang kemarin Rian patahkan tangannya, tapi pria yang lebih besar. Kepalanya botak licin, ada bekas luka bacok memanjang di pipi kiri.
Ini Bang Jarot. Bos preman wilayah ini.
"Siapa yang punya tempat ini?!" teriak Bang Jarot. Suaranya menggelegar membuat pelanggan yang sedang makan ketakutan. Beberapa ibu-ibu memeluk anaknya.
Rudi maju dengan berani, meski kakinya sedikit gemetar. "Maaf, Bang. Ada masalah apa? Kita lagi dagang..."
PLAK!
Bang Jarot menampar Rudi dengan punggung tangan. Rudi terhuyung mundur, sudut bibirnya berdarah.
"Gue nggak nanya sama kacung! Panggil bos lo!" bentak Jarot. "Anak buah gue tangannya patah gara-gara bos lo! Hari ini gue minta ganti rugi 100 juta atau warung ini gue bakar!"
Pelanggan mulai panik. Mereka beringsut mundur, ingin kabur tapi takut lewat pintu depan.
Rian perlahan berdiri dari kursi kasir. Wajahnya tenang, tapi matanya dingin. Ia baru saja mau melangkah maju ketika sebuah tangan kekar menahannya.
"Duduk, Bos," suara berat dan serak terdengar dari belakang Rian. "Biar orang tua ini yang olahraga sedikit. Badan saya kaku kalau nggak gerak."
Rian menoleh. Pak Teguh sudah berdiri tegap.
Ia mengenakan seragam Safari hitam yang pas di badan (seragam Security eksekutif), lengkap dengan HT di pinggang. Wajahnya yang semalam bengkak parah, kini mulus bersih berkat salep sistem. Tubuhnya tegap sempurna, memancarkan aura intimidasi seorang veteran yang pernah menghadapi hal jauh lebih mengerikan daripada preman pasar.
Pak Teguh berjalan santai melewati Rian, menuju pintu depan. Langkah kakinya mantap, bunyinya tap-tap-tap di lantai keramik, seirama dengan detak jantung para penonton.
"Woy! Siapa lagi lo?! Satpam mall nyasar?" ejek salah satu anak buah Jarot.
Pak Teguh berhenti tepat dua meter di depan Bang Jarot. Ia merapikan lengan bajunya dengan tenang.
"Saya Kepala Keamanan di sini," kata Pak Teguh datar. "Kalian mengganggu makan siang pelanggan saya. Saya kasih waktu 10 detik. Pergi, atau digotong?"
Bang Jarot tertawa terbahak-bahak. "Hahaha! Digotong? Lo pikir lo Jackie Chan? Woy, abisin dia!"
Dua anak buah Jarot maju bersamaan, satu membawa balok kayu, satu membawa rantai motor. Mereka mengayunkan senjata ke arah kepala Pak Teguh.
Pelanggan menjerit. Bu Ningsih menutup mata di dapur.
Tapi Rian tersenyum.
WUSH!
Pak Teguh tidak mundur. Ia justru maju selangkah, masuk ke jangkauan lawan.
Dengan gerakan minimalis namun efektif, tangan kiri Pak Teguh menepis balok kayu, sementara tangan kanannya mengirimkan pukulan uppercut pendek ke ulu hati lawan.
BUGH!
Preman pembawa balok langsung muntah dan ambruk, matanya memutih.
Preman pembawa rantai kaget, serangannya meleset. Pak Teguh menangkap lengan preman itu, memutar tubuhnya, dan melakukan bantingan judo di atas aspal keras.
BRAKK!
"ARGHHH! Punggung gue!"
Dua orang lumpuh dalam tiga detik.
Bang Jarot melotot. Dia tahu itu bukan gerakan orang sembarangan. Itu gerakan militer. Efisien. Mematikan.
"Serang bareng-bareng, Goblok!" teriak Jarot panik.
Sisa tiga anak buah plus Jarot maju mengeroyok.
Pak Teguh seperti menari. Ia menghindari pukulan liar dengan geseran kaki yang halus, lalu membalas dengan totokan di titik saraf atau patahan sendi.
KREK. (Suara bahu bergeser).
BUKK. (Tendangan ke lutut).
PLAK. (Tamparan keras ke telinga yang bikin keseimbangan hilang).
Satu per satu preman itu tumbang, mengerang kesakitan di tanah. Mereka seperti anak TK yang mencoba melawan guru karate.
Terakhir, tinggal Bang Jarot yang berdiri. Kakinya gemetar hebat melihat lima anak buahnya sudah menjadi tumpukan daging di aspal. Pak Teguh berdiri di hadapannya, napasnya bahkan tidak ngos-ngosan. Seragamnya masih rapi.
"Masih mau ganti rugi?" tanya Pak Teguh pelan.
Bang Jarot menjatuhkan pisau lipatnya. Nyalinya ciut sekecil atom.
"Am... ampun, Pak. Saya... saya cuma disuruh..."
"Ambil sampah-sampah ini. Pergi dari sini. Kalau besok saya lihat muka kalian lagi di radius 1 kilometer dari warung ini..." Pak Teguh meremas bahu Jarot pelan, tapi cengkeramannya membuat Jarot menjerit. "...saya pastikan kalian makan bubur seumur hidup."
"Iya Pak! Iya! Kabur woy!"
Jarot dan anak buahnya yang pincang lari terbirit-birit, meninggalkan motor RX-King mereka begitu saja.
Suasana hening sejenak.
Lalu...
PROK! PROK! PROK!
Seorang mahasiswa bertepuk tangan. Diikuti sopir ojol. Lalu seluruh warung bergemuruh dengan tepuk tangan dan sorakan.
"Hidup Pak Satpam!"
"Gila! Kayak film Action!"
"Mantap Pak! Hajar terus!"
Pak Teguh yang biasanya kaku, tampak malu-malu. Ia membungkuk sedikit pada pelanggan. "Maaf atas gangguannya. Silakan dilanjut makannya. Bagi yang nasinya tumpah tadi, lapor ke kasir, kami ganti baru gratis."
[Ting! Ting! Ting!]
Notifikasi di mata Rian menggila lagi. Kali ini lebih cepat.
[Rasa Aman Pelanggan Meningkat Drastis!]
[Kekaguman Massal Terdeteksi!]
[Poin Keamanan +500]
[Reputasi Warung Naik: "Tempat Makan Paling Aman & Enak"]
Rian berjalan menghampiri Pak Teguh yang sedang mengecek buku-buku jarinya.
"Kerja bagus, Pak," kata Rian sambil menepuk bahu pria tua itu. "Gimana rasanya badan baru?"
Pak Teguh tersenyum, matanya berkaca-kaca menatap kepalan tangannya sendiri. Tangan yang kemarin terikat tak berdaya, hari ini bisa melindungi martabat orang lain.
"Terima kasih, Bos," bisik Pak Teguh. "Terima kasih sudah kasih saya kesempatan jadi laki-laki lagi."
Rian mengangguk.
"Ini baru permulaan, Pak. Sekarang, ayo makan. Saya lapar liat Bapak hajar orang."
Hari itu, Warung Nasi Bahagia tidak hanya menjual makanan. Mereka menjual harapan dan rasa aman. Dan legenda tentang "Warung dengan Satpam Dewa" mulai menyebar dari mulut ke mulut di seluruh Jakarta.