Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Suara klakson samar dari jalan raya membuyarkan lamunannya.
Alma tersentak ringan — bayangan masa lalu itu perlahan memudar, meninggalkan sisa getir yang tak lagi menusuk, hanya mengendap.
Ia menatap pantulan dirinya sekali lagi di cermin.
Wajah yang sama, tapi matanya berbeda — lebih tenang, lebih matang.
Ia berdiri,langkahnya pelan menuju ranjang.
Lampu kamar hanya menyisakan cahaya temaram, membentuk siluet samar tubuhnya yang letih namun tetap anggun.
Sebelum berbaring, Alma menarik selimutnya perlahan.
Udara malam Semarang terasa lembut di kulitnya, membawa aroma samar dari luar jendela — campuran parfum mahal, asap, dan kenangan yang belum hilang sepenuhnya.
Perlahan ia menutup mata.
Satu napas panjang keluar dari bibirnya, seperti seseorang yang akhirnya mengizinkan dirinya untuk beristirahat.
Malam pun menelan semuanya,
dan Grand Amartha, di kejauhan sana, kembali diam di bawah langit kota.
Sinar matahari pagi menembus tirai kamar, menimpa wajah Alma yang masih terlelap.
Ia berguling pelan, memejamkan mata lebih rapat, seolah ingin memperpanjang ketenangan yang langka itu.
Dari luar kamar, terdengar suara langkah pengasuh yang sedang menyiapkan sarapan kecil.
Asha sudah bangun sejak subuh, tapi suara tawanya kini samar — mungkin sedang bermain di ruang tamu.
Alma akhirnya bangun juga. Ia duduk di tepi ranjang, meraih ponsel di meja samping tempat tidur
Layar menyala, dan di antara notifikasi pesan masuk, dari Ardan.
"Al kamu datang kan malam ini?."
Alma menatap pesan itu beberapa detik, jari-jarinya diam di atas layar.
Ada sesuatu dalam nada pesannya — tidak sekadar check-in rutin, tapi semacam peringatan halus bahwa malam ini akan berbeda.
Ia mengetik balasan
"Datang, Mas kenapa?”
Balasan datang cepat
"Biasa tamunya request kamu lagi, yang kemarin.”
Alma terdiam
Bayangan malam sebelumnya melintas — tatapan Harsya Pranowo, suara rendahnya yang tenang tapi penuh kuasa, dan kalimat yang terngiang di kepala
“Semoga kamu mau menemani saya di lain waktu.”
Ia menaruh ponsel di meja, lalu berjalan ke jendela.
Di luar, langit Semarang tampak biru muda, tapi entah kenapa terasa berat.
Asha tiba-tiba berlari masuk ke kamar sambil membawa boneka kecil.
“Bundaaa!” serunya riang.
Alma tersenyum lembut, menunduk, dan memeluk anaknya erat — hangat, tapi ada sesuatu di balik pelukan itu rasa takut halus bahwa dunia mereka akan berubah lagi.
Siang harinya, Alma sibuk dengan rutinitas rumah.
Namun sesekali, pikirannya kembali pada pesan itu.
Dan ketika matahari mulai turun, ia berdiri di depan cermin, mulai bersiap lagi — seperti malam-malam sebelumnya.
Dan ketika matahari mulai turun, ia berdiri di depan cermin, mulai bersiap lagi — seperti malam-malam sebelumnya.
Bedanya, malam ini terasa sedikit lebih panjang.
Grand Amartha malam itu ramai seperti biasa.
Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya keemasan di dinding kaca, musik jazz mengalun pelan dari pojok ruangan, dan aroma campuran parfum, rokok, serta minuman berkelas memenuhi udara seperti kabut lembut.
Alma datang sedikit lebih awal. Rambutnya gerai rapi, blazer hitam membungkus tubuhnya dengan pas — sederhana tapi berkelas.
Ia menyapa beberapa karyawan yang sedang bersiap.
“Pagi eh, malam, Mbak Alma,” sapa seorang bartender muda dengan senyum lebar. Namanya Rio, sosok paling ramah di lounge itu.
“Masih sore, Yo,” jawab Alma sambil tersenyum kecil.
“Cantiknya malam ini Mbak.”
Rio mencondongkan tubuh sedikit, berbisik sok rahasia,
“Mbak serasi loh sama tamu yang semalam.”
Alma tertawa pelan, menggeleng.
“Lambe mu loh itu, Yo.”
“Lha kenapa lambeku Mbak Seksi ya? wong bener, Mbak cantik Bapak itu ganteng.”
Ia hanya tersenyum, lalu menatap gelas-gelas kristal yang baru saja dibersihkan. Cahaya lampu memantul di sana, seperti serpihan kenangan yang tak mau hilang.
Mas Ardan muncul dari arah bar utama, mengenakan setelan rapi. Wajahnya tenang tapi tegas.
“Alma,” panggilnya pelan.
“Ya, Mas?”
“Meja dua. VVIP baru aja konfirmasi datang sepuluh menit lagi.”
Alma mengangguk
“Siap, Mas.”
Mas Ardan menatapnya sebentar — mungkin membaca sesuatu di balik ketenangan wajah itu. Tapi ia hanya mengangguk dan berlalu, meninggalkan aroma halus parfum yang khas.
Rio kembali mendekat, pura-pura sibuk mengelap gelas.
“Yo,beneran kami serasi?” tanya Alma sambil menata rambut di pantulan cermin bar.
“Iya Mbak percaya deh sama aku”
“Gak ah , percaya sama kamu musyrik namanya."Rio ganya tersenyum mennaggapi candaan Alma
“Mbak kalau sudah jadi orang jangan lupa sama aku ya Mbak”
"Lah saiki aku bukan orang, to Yo?."
Alma terkekeh kecil, tapi matanya sempat teralih ke arah pintu masuk — suara langkah berat baru saja terdengar.
Musik mendadak terasa lebih pelan, atau mungkin hanya pikirannya yang mulai fokus.
Seorang pria kharismatik dengan postur tinggi besar dengan setelan kaos polo putih dan jeans warna khaki memasuki lounge
Wajahnya tegas, berwibawa, dengan tatapan yang membuat orang di sekitarnya spontan menegakkan punggung.
Harsya Pranowo.
Ia menyapa beberapa staf dengan anggukan ringan, lalu berjalan pelan ke meja dua — tempat yang sama seperti malam sebelumnya.
Mas Ardan memberi isyarat halus.
Alma menarik napas dalam, menegakkan bahunya, dan melangkah anggun melewati cahaya lampu keemasan.
Langkahnya tenang, tapi di dalam dadanya, sesuatu bergetar halus — perasaan asing yang belum berani ia beri nama.
Musik dari band kecil di pojok ruangan berubah jadi lebih lembut ketika Alma mendekat ke meja dua.
Cahaya lampu gantung memantul di gelas wine, menciptakan bayangan keemasan di permukaan meja marmer
Harsya Pranowo sudah duduk di sana, menunggu dengan sikap santai tapi berwibawa.
Setelan kaos polo putih tampak pas di badannya, jarinya mengetuk ketuk meja pelan , sementara matanya menatap ke arah ruangan seolah mencari seseorang.
Begitu Alma muncul, sudut bibirnya terangkat pelan — senyum yang tidak dibuat-buat, tapi seperti menandakan sebuah kelegaan.
“Alma…” suaranya dalam dan tenang,
“Saya pikir kamu nggak masuk malam ini, Alma.”
Alma tersenyum tipis, lalu duduk perlahan setelah ia persilakan.
“Saya butuh hidup pak,"jawabnya ringan
Harsya menatapnya dengan tatapan penuh minat, tapi tetap sopan.
“Semua orang juga butuh Alma, kadang butuh uang,kadang butuh meski sekedar alasan”
Alma menunduk sedikit, menutupi senyum kecil di sudut bibirnya.
“Kalau Bapak saya rasa tidak butuh apapun.”
Harsya tertawa kecil.
“Siapa bilang?.Saya juga manusia biasa seperti kamu banyak kebutuhan.”
Mereka berdua tertawa pelan.
Keheningan berikutnya justru terasa nyaman. Tidak ada tekanan, tidak ada basa-basi. Hanya dua orang asing yang entah kenapa bisa saling tenang di tengah hiruk pikuk dunia malam.
Pelayan datang, menuangkan cognac ke dua gelas kristal.
Aroma manis dan hangatnya memenuhi udara.
“Minum sedikit, biar nggak tegang,” ucap Harsya lembut.
Alma menatap cairan keemasan itu, lalu menyesap pelan.
“Cheers”
“Cheers” ia mengulang dengan nada tertarik.
Alma tersenyum samar.
Harsya mengangguk pelan, seolah memahami sesuatu yang tak terucap.
“Kadang rasa nyaman memang lebih berbahaya daripada mabuk, ya.”
Mereka saling bertukar pandang sesaat — tidak lama, tapi cukup untuk membuat waktu di ruangan itu melambat.
Di luar, musik kembali naik, percakapan tamu-tamu lain terdengar samar.
Namun di meja dua, semua terasa berbeda tenang, nyaris intim, tapi belum menyentuh garis yang berbahaya.
Mas Ardan memperhatikan dari jauh, matanya sempat berhenti pada Alma yang tampak lebih tenang dari biasanya.
Ia tahu betul, dari semua tamu yang pernah datang ke Grand Amartha, Harsya Pranowo bukan pria yang datang hanya untuk ditemani minum.