Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-bayang di Balik Harapan
Raya menatap hasil tes DNA di tangannya, lembaran kertas putih yang terasa seperti bongkahan es di genggamannya. Angka-angka dan istilah ilmiah itu menari-nari di depan matanya, membentuk satu kalimat mengerikan yang terus menghantam dinding hatinya: “Bukan ibu biologis.” Mustahil. Ini pasti salah. Langit adalah darah dagingnya, setiap sentuhan, setiap isakan, setiap tawa adalah buktinya. Bagaimana mungkin?
Air matanya sudah mengering, digantikan oleh kekosongan yang membakar. Arlan sedang tidur di sampingnya, napasnya teratur dan tenang. Pria itu tidak tahu apa-apa. Pria yang mencintainya tanpa syarat, yang menerima Langit seutuhnya, tanpa pertanyaan. Bagaimana Raya bisa menghancurkan dunia mereka yang sempurna dengan kebenaran yang kejam ini?
Ia bangkit dari ranjang, langkahnya gontai menuju dapur. Diteguknya air dingin, mencoba meredakan gejolak di dadanya. Pukul tiga pagi, dan dunia Raya baru saja runtuh berkeping-keping. Ia meraih ponselnya, mencari nomor telepon laboratorium. Jarinya gemetar. Ini jelas kesalahan prosedur, atau sampel tertukar. Ya, itu saja. Pasti.
"Halo?" Suara operator menjawab setelah beberapa deringan panjang.
"Saya Raya. Saya... saya baru saja menerima hasil tes DNA anak saya, Langit Wiratama. Ada kemungkinan salah?" Suara Raya tercekat.
"Mohon maaf, Ibu. Semua hasil kami telah melalui proses verifikasi ganda. Apakah ada yang bisa saya bantu terkait interpretasi hasil?" jawab operator itu, suaranya datar dan profesional, tanpa empati.
"Interpretasi? Maksudnya... saya bukan ibunya? Itu jelas sekali!" Raya tidak bisa menahan nada putus asanya.
"Saya hanya bisa mengonfirmasi bahwa hasil yang tertera adalah hasil valid dari sampel yang kami terima, Ibu Raya. Jika ada keraguan, Anda bisa mengajukan tes ulang dengan biaya tambahan."
"Tes ulang?" gumam Raya, tenggorokannya tercekat. "Baik... terima kasih."
Raya menutup telepon. Jantungnya berdebar kencang, kali ini bukan karena amarah, melainkan ketakutan yang dingin. Tes ulang. Dia harus melakukannya. Tapi bagaimana? Dengan siapa? Dia tidak bisa memberitahu Arlan. Ini terlalu besar, terlalu menyakitkan, terlalu gila untuk dicerna begitu saja.
Ia kembali ke kamar, memandangi Arlan yang pulas. Senyum tipis terukir di bibir Arlan, mungkin sedang bermimpi indah. Raya mengusap rambut Langit yang terbaring lemah di ranjang kecil di sudut kamar. Wajah pucat putranya, bibirnya yang kering. Pemandangan itu memilin ususnya. Langitnya sakit. Dan sekarang, kenyataan ini menghantamnya. Ia harus kuat. Untuk Langit.
Keesokan harinya, Raya berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Ia menyiapkan sarapan, menemani Arlan membaca koran, dan tersenyum pada Langit, meski senyum itu terasa seperti topeng berat yang hampir meremukkan tulang pipinya. Setelah mengantar Arlan ke kantor dan memastikan Langit tidur siang, Raya mulai bergerak. Ia mencari informasi tentang laboratorium DNA lain di kota, yang paling terpercaya, yang paling diskret.
Ia memutuskan untuk tidak menggunakan nama aslinya, setidaknya untuk langkah awal ini. Ia akan memakai nama samaran, mengambil sampel sendiri. Rambut. Itu yang paling mudah. Dia mengambil beberapa helai rambutnya sendiri dari sisir. Untuk Langit? Itu lebih sulit. Saat Langit terbangun untuk minum obat, Raya memeluknya erat, menciumi puncak kepalanya. "Mama sayang Langit," bisiknya, mencabut satu helai rambut tipis dari kepala putranya dengan sangat hati-hati, memastikan tidak ada yang terasa sakit. Langit hanya menggeliat kecil, terlalu lemah untuk protes.
Ia mengemas sampel-sampel itu ke dalam amplop terpisah, jantungnya berdegup seperti drum. Dengan alasan akan menjenguk salah satu temannya yang sakit, Raya pamit pada pengasuh Langit. Ia membawa mobilnya ke laboratorium yang ia temukan, berlokasi di daerah agak terpencil. Selama perjalanan, benaknya berputar-putar. Siapa yang bisa melakukan ini? Bagaimana?
Ingatannya melayang ke masa lalu, ke pernikannya dengan Damar. Tujuh tahun yang kelam, penuh manipulasi dan janji kosong. Damar selalu menginginkan anak, sangat menginginkan. Tapi ada masalah dengan kesuburan Damar, hal yang dulu mereka coba sembunyikan dari semua orang. Raya ingat, ada periode di mana Damar sangat terobsesi dengan teknologi reproduksi, membaca setiap artikel, bahkan mengajaknya berkonsultasi ke beberapa klinik. Raya kala itu merasa aneh, karena dia sendiri tidak punya masalah kesuburan. Dia selalu bertanya, "Kenapa kita harus mencari jalan lain, Damar? Aku bisa hamil secara alami." Dan Damar akan menjawab dengan senyum sinis, "Untuk memastikan yang terbaik, Sayang. Untuk gen yang sempurna." Raya tidak pernah terlalu memikirkannya, mengira Damar hanya sedikit berlebihan. Tapi kini, kata-kata itu menusuknya. Gen yang sempurna?
"Tidak mungkin," ia bergumam pada kemudi. Damar pergi lima tahun lalu, dan Langit lahir tiga tahun setelahnya. Tidak ada kaitan. Tidak mungkin.
Ia menyerahkan sampel-sampel itu di laboratorium baru, dengan nama 'Rina'. Dua minggu adalah waktu yang terasa seperti selamanya. Dua minggu ia hidup dalam ketegangan yang tak terkatakan, setiap detik terasa seperti jarum jam yang menghantam dinding hatinya. Setiap kali Arlan menyentuhnya, ia merasa seperti penipu. Setiap kali Langit memanggil "Mama," ia merasa jiwanya teriris.
Akhirnya, email yang ditunggu-tunggu tiba. Subjeknya: "Hasil Tes DNA - Rina S."
Dengan tangan gemetar, Raya membuka email itu. Jemarinya terasa kaku. Matanya menyapu teks itu dengan putus asa, berharap menemukan kata-kata ajaib yang akan menghapus mimpi buruk ini. Namun, yang ia temukan hanyalah konfirmasi yang kejam.
"...hasil menunjukkan bahwa individu bernama 'Rina S.' dan 'Langit W.' tidak memiliki hubungan biologis sebagai ibu kandung dan anak."
Dunia Raya berhenti berputar. Udara di sekitarnya menipis, menyesakkan paru-parunya. Ia menjatuhkan diri ke sofa, pandangannya kosong. Bukan kesalahan. Bukan salah lab. Ini adalah kebenaran. Kebenaran yang begitu mengerikan, begitu tak masuk akal, hingga otaknya menolak untuk memprosesnya.
Jika Langit bukan anaknya, lalu anak siapa? Bagaimana ia bisa melahirkan seorang anak yang bukan darah dagingnya sendiri? Apakah ia gila? Apakah ia bermimpi? Raya mencubit lengannya sendiri, merasakan perihnya, membuktikan ini bukan mimpi. Ini nyata.
Air mata mulai mengalir deras, membasahi pipinya yang dingin. Ia menangis tanpa suara, suaranya tercekat di tenggorokan. Ini bukan lagi sekadar kesedihan, ini adalah kehancuran. Identitasnya sebagai seorang ibu dipertanyakan, eksistensinya sebagai wanita diuji. Ia telah melahirkan Langit, merawatnya, mencintainya dengan segenap jiwa. Bagaimana mungkin ia bukan ibunya?
Ia mengingat kembali setiap detail kehamilannya. Mual di pagi hari, ngidam buah-buahan asam, tendangan pertama di perutnya, rasa sakit persalinan yang luar biasa. Semua itu nyata. Setiap sentimeter perutnya yang membesar, setiap detak jantung yang ia dengar dari USG. Ia bahkan masih menyimpan gelang rumah sakit dengan nama 'Bayi Ny. Raya Wiratama'.
"Bagaimana bisa?" bisiknya, suaranya parau.
Kecurigaan mulai merayapi benaknya, dingin dan mengerikan. Ingatan tentang Damar, obsesinya, kata-kata "gen sempurna" terngiang lagi. Mungkinkah? Mungkinkah Damar terlibat dalam sesuatu yang begitu keji? Ia tahu Damar adalah pria yang licik, manipulatif. Tapi sejauh ini? Mencuri bayinya? Atau menukar bayi? Raya menertawakan pikirannya sendiri, tawa histeris yang terdengar asing di telinganya. Itu terlalu jauh. Seperti plot novel fiksi ilmiah.
Tapi, apa lagi penjelasannya?
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dia perlu bukti. Dia perlu tahu. Ini bukan hanya tentang dirinya lagi, ini tentang Langit. Putra kecilnya yang tak bersalah, yang mungkin menjadi korban dari sesuatu yang mengerikan.
Raya memutuskan untuk memulai pencarian, lebih dalam, lebih terstruktur. Dia harus mencari tahu siapa ibunya Langit, atau bagaimana Langit bisa berada di rahimnya. Ia membuka laptopnya, tangannya masih gemetar. Dia mulai mencari nama-nama klinik kesuburan yang pernah Damar sebutkan dulu, atau yang pernah mereka datangi, meskipun hanya untuk konsultasi umum.
Satu nama muncul di benaknya, sebuah klinik kecil yang Damar sangat antusiasi, "Harapan Baru Fertilitas." Damar pernah bilang klinik itu memiliki teknologi tercanggih. Raya ingat pernah menemaninya ke sana, setidaknya sekali, saat Damar bersikeras ingin "memeriksa potensi kesuburan kita berdua". Raya saat itu merasa risih, ia sudah punya anak dari Damar, meskipun berakhir dengan keguguran di trimester awal pernikahan mereka, jadi ia tahu dirinya subur. Tapi Damar bersikeras, mengatakan itu untuk masa depan, untuk memastikan mereka bisa memiliki keluarga besar.
Dia mencari "Harapan Baru Fertilitas" di internet. Situs webnya tampak profesional, dengan foto-foto bayi-bayi lucu dan testimoni pasangan bahagia. Tapi ada yang aneh. Beberapa ulasan lama menyebutkan tentang pergantian kepemilikan dan skandal kecil beberapa tahun lalu, meskipun detailnya tidak jelas. Raya mencoba mencari berita-berita lama tentang klinik tersebut.
Jantungnya berdebar kencang saat matanya menangkap sebuah artikel berita tahun lima tahun lalu, sebuah kasus hukum yang samar-samar. Artikel itu menyebutkan nama seorang dokter yang terlibat dalam "ketidakberesan etika" terkait prosedur IVF dan donasi sel telur, di klinik "Harapan Baru Fertilitas". Nama dokter itu... Dr. Budi.
Raya ingat nama itu. Dr. Budi adalah dokter yang pernah ditemui Damar dengan antusias, yang Damar puja-puji sebagai "pakar di bidangnya". Raya bahkan ingat, setelah kunjungan itu, Damar tiba-tiba berubah pikiran tentang keinginan memiliki anak. Dia bilang, "Mungkin kita tunda dulu, Sayang. Aku rasa kita perlu fokus pada karier kita dulu." Raya saat itu lega, mengira Damar akhirnya melepaskan obsesinya. Tapi sekarang, itu terasa seperti kebohongan besar. Sebuah penundaan yang disengaja.
Terlebih lagi, dia ingat Damar pernah "menitipkan" sampelnya di klinik itu, dengan alasan untuk analisis lebih lanjut. Raya sendiri tak pernah menitipkan apa-apa karena merasa tak perlu. Tapi Damar sangat bersemangat tentang itu.
Ketakutan dingin merayapi punggungnya. Dr. Budi, klinik Harapan Baru, dan Damar... semuanya mulai terhubung dalam skenario yang mengerikan. Mungkinkah Damar, dalam obsesinya untuk memiliki "gen yang sempurna" atau mungkin karena masalah kesuburannya yang tidak ingin dia akui, telah melakukan sesuatu yang tidak etis?
Pikirannya melayang liar. Skema penipuan? Pergantian embrio? Donasi sel telur yang tidak sah? Atau bahkan yang lebih gila, rekayasa genetik? Raya merasa mual. Ia bukan lagi menghadapi kesalahan lab sederhana. Ia sedang berada di ambang jurang, di mana kebenaran bisa menghancurkan segala yang ia yakini tentang dirinya, tentang Langit, dan tentang masa lalunya.
Ia harus menyelidiki lebih jauh. Dia harus menemukan Dr. Budi. Dia harus menggali semua rahasia yang terkubur di klinik "Harapan Baru Fertilitas".
Dengan tangan gemetar, Raya mengetik nama Dr. Budi ke mesin pencari. Hasilnya menunjukkan bahwa Dr. Budi tidak lagi praktik di Jakarta. Ia pindah ke sebuah kota kecil di Jawa Tengah, membuka klinik kesuburan yang lebih sederhana.
Mata Raya melebar. Jawa Tengah. Itu berarti perjalanan. Perjalanan rahasia.
Ia mencetak halaman-halaman berita lama dan informasi tentang Dr. Budi. Kemudian, ia membuka kalendernya, mencari celah waktu. Hari-hari Arlan sibuk, Langit masih sakit dan butuh perawatan di rumah. Tidak mudah untuk pergi. Tapi dia harus.
Sesuatu yang gelap dan dingin terasa mencengkeramnya. Bau masa lalu itu, bau pengkhianatan, bau kebohongan Damar, kini terasa semakin pekat. Dia bisa merasakannya di udara, merayap di bawah kulitnya. Ini bukan lagi sekadar masa lalu yang membayangi. Ini adalah sebuah benang yang terulur, sebuah panggilan dari Damar yang terkubur dalam-dalam, menariknya ke dalam pusaran kegelapan yang tak terhindarkan.
Raya memejamkan mata, memeluk lembaran-lembaran kertas itu erat di dadanya. Bau Damar. Bau kebohongan. Bau… Langit.
Keputusannya bulat. Dia akan pergi. Dia harus menemukan kebenaran di balik semua ini, meskipun ia tahu, kebenaran itu mungkin akan meremukkan hatinya menjadi serpihan tak berarti. Apa pun risikonya, apa pun yang akan ia temukan, ia harus melakukannya. Untuk Langit.
Di sampingnya, foto Langit di bingkai digital tersenyum ceria. Raya mengusap layar itu, air matanya kembali menetes. "Mama akan cari tahu, Nak," bisiknya, "Mama akan temukan siapa yang melakukan ini."
Ia melihat lagi hasil pencariannya. Nomor telepon klinik Dr. Budi di Jawa Tengah.
Jemari Raya melayang di atas angka-angka itu. Haruskah dia menelepon? Atau lebih baik dia muncul secara langsung? Ini terlalu penting untuk dilakukan dengan setengah-setengah.
Sebuah bayangan tipis melintas di benaknya, bayangan seorang wanita yang berdiri di lorong klinik "Harapan Baru" bertahun-tahun lalu, tatapannya aneh, penuh rahasia. Raya tidak pernah mengenali wanita itu, tapi sekarang, di tengah pusaran kebingungan ini, ingatan itu kembali menghantuinya. Siapa wanita itu? Mengapa tatapannya begitu... mencurigakan?
Raya memejamkan mata, mencoba mengingat lebih detail. Wanita itu memakai topi lebar, menutupi sebagian wajahnya. Tas tangannya... ada lambang kecil yang samar-samar terlihat. Lambang berbentuk kupu-kupu. Raya menggelengkan kepalanya. Mungkin hanya imajinasinya.
Tidak. Ini bukan imajinasi. Ini adalah benang-benang yang mulai terurai, satu per satu, membentuk pola yang menakutkan. Dia yakin. Ada sesuatu yang sangat salah.
Raya mengambil ponselnya, mengabaikan naluri untuk menelepon, dan mulai mencari jadwal kereta api tercepat ke kota di Jawa Tengah itu. Besok. Dia akan pergi besok. Diam-diam. Sebelum Arlan sempat curiga. Sebelum semua kebohongan ini menggerogoti jiwanya hingga tak bersisa.
Dia melihat keluar jendela, ke arah langit malam yang gelap. Langit yang sama, menaungi hidupnya yang sekarang terasa begitu asing. Benarkah Langit, putranya, adalah kunci dari kotak Pandora yang penuh rahasia dan kebohongan Damar?
Ia harus mencari tahu. Dan dia tahu, begitu kotak itu terbuka, tidak ada yang akan sama lagi. Tak ada lagi kedamaian. Tak ada lagi kebahagiaan sempurna. Hanya kebenaran yang kejam, menunggu untuk menghancurkan segalanya.
Raya mengambil napas dalam, memantapkan hatinya. Ini baru permulaan. Perburuan kebenaran dimulai. Dan di ujung sana, ia merasa ada bayangan Damar yang tersenyum sinis, menunggunya.