Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27.Hamil
Arunika berlari masuk ke kamar mandi, tubuhnya terasa lemas. Air matanya mengalir tanpa sadar ketika tubuhnya terus memuntahkan isi perut. Rafael berdiri di depan pintu, mengetuk dengan panik.
“Arunika! Buka pintunya! Apa yang terjadi padamu?” suaranya keras, tapi sarat dengan kekhawatiran.
Tak lama pintu terbuka. Arunika berdiri pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya. Rafael tanpa ragu meraih bahunya, menopang tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya.
“Aku tidak tahu…,” bisik Arunika lirih. “Tiba-tiba saja…”
Rafael menuntunnya ke ranjang, lalu mengambil segelas air. “Minum dulu.” Tangannya gemetar saat menyodorkan gelas itu. Tatapan matanya tak pernah lepas dari wajah Arunika, seakan takut kehilangan gadis itu kapan saja.
Arunika meneguk sedikit, lalu menutup mata, tubuhnya masih bergetar. “Rafael, aku takut…” ucapnya, suara hampir tak terdengar.
Rafael mengusap rambutnya lembut. “Tidak ada yang perlu kau takutkan, Aru. Aku di sini. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu sendiri.”
Keheningan melingkupi ruangan. Detak jam dinding terdengar jelas. Rafael masih menatapnya, hingga perlahan bibirnya berucap sesuatu yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut.
“Kalau kau memang mengandung … aku akan menjagamu. Aku tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan dunia, atau bahkan ibuku sekalipun. Aku ingin kau tetap di sisiku.”
Arunika terbelalak, hatinya bergetar mendengar kalimat itu. “Mengandung…? Rafael, jangan bicara sembarangan. Aku bahkan belum tahu…”
Rafael tersenyum tipis, meski matanya masih diliputi cemas. “Aku hanya ingin kau tahu, aku tidak akan lari. Sekotor apa pun yang orang bilang tentangmu, aku sudah memilih. Aku memilih kau, Arunika.”
Air mata Arunika jatuh. Ia memeluk Rafael erat-erat, seakan pelukan itu adalah satu-satunya tempat ia bisa merasa aman. Namun jauh di dalam hati, pikirannya bergolak apakah benar ini hanya mual biasa, atau pertanda sesuatu yang lebih besar?
Di luar sana, dunia tidak sedang diam.
Di ruangan gelap penuh layar monitor, Aurel berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya dingin, senyumnya sinis melihat tayangan kamera tersembunyi yang menyorot rumah persembunyian Rafael dan Arunika dari kejauhan.
“Lihat itu,” ucap Aurel pelan. “Dia sudah mulai lemah. Tubuhnya bereaksi, entah karena stres atau mungkin lebih dari itu. Tapi apa pun alasannya, ini celah kita.”
Roman berdiri di sisi lain layar, menyalakan cerutunya dengan tatapan penuh intrik. “Kalau benar dia hamil, maka ini akan jadi senjata paling ampuh. Rafael akan jadi buta sepenuhnya. Dan saat itu terjadi, kita bisa mencabik-cabik mereka berdua.”
Aurel tersenyum, matanya berkilat penuh dendam. “Kau dari luar, aku dari dalam. Tidak akan lama lagi, Roman. Mereka akan hancur.”
Sementara itu, di kamar, Rafael masih menggenggam tangan Arunika. “Tidurlah sebentar, aku akan berjaga.”
Arunika mengangguk pelan. Ia menutup mata, tapi pikirannya terus dihantui pertanyaan besar: apakah ini benar tanda kehidupan baru di dalam dirinya, atau justru awal dari permainan licik musuh-musuhnya?
Keesokannya.
Arunika duduk di tepi ranjang dengan wajah tegang, kedua tangannya meremas kotak kecil berwarna putih. Di tangannya itulah, alat tes kehamilan sederhana yang baru saja ia beli dengan terburu-buru. Nafasnya naik-turun, sementara Rafael berdiri tak jauh darinya, menatapnya dengan sorot mata campuran antara bingung, gugup, sekaligus tak percaya.
“Aku ... aku nggak ngerti, Aru. Kita sama-sama pernah minum pil itu. Bagaimana bisa...?” Rafael menyisir rambutnya ke belakang dengan gerakan gelisah. “Bukankah seharusnya ini nggak mungkin terjadi?”
Arunika mendongak, matanya berair tapi juga dipenuhi ketegasan. “Aku juga nggak ngerti, Rafael. Tapi tubuh aku bilang ada yang berbeda. Semua tanda-tanda itu ada. Aku ... aku nggak bisa abaikan.”
“Tapi...” Rafael berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapan Arunika, menatap matanya lekat.
“Kalau benar, ini ... ini akan mengubah segalanya. Kamu sadar, kan? Kita bukan cuma harus hadapi Roman dan ibuku, tapi juga masa depan kita. Kalau kamu benar-benar hamil...”
“Kenapa? Kamu takut, Rafael?” potong Arunika dengan suara gemetar, seolah ingin menguji hati lelaki itu. “Takut kalau aku beneran hamil anakmu? Atau takut kalau semua ini hanya akan bikin kamu makin berat?”
Tatapan Rafael langsung menusuk, namun cepat melunak. Ia mengusap tangan Arunika dengan hati-hati, seolah gadis itu sesuatu yang rapuh. “Aku nggak takut kamu hamil, Nika. Aku cuma takut kamu yang terluka. Aku takut kamu nggak siap untuk semua beban ini.”
Arunika terdiam. Air matanya jatuh begitu saja, mengenai alat tes di tangannya. Perlahan ia menghela napas panjang, lalu berdiri, melangkah menuju kamar mandi. “Kalau begitu ... kita harus tahu sekarang. Bukan nanti.”
Rafael hanya bisa terdiam, menyaksikan punggung Arunika menghilang di balik pintu kamar mandi. Detik-detik yang berjalan terasa seperti hukuman. Sunyi, namun penuh ledakan yang siap pecah kapan saja.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Arunika keluar dengan wajah pucat, tangannya gemetar memegang alat tes itu. Rafael bangkit dengan cepat, menatap hasilnya tanpa sempat bertanya.
Dua garis merah tegas terpampang jelas. Arunika menutup mulutnya dengan tangan, terisak pelan. Rafael terdiam, tubuhnya kaku seakan waktu berhenti. Matanya menatap hasil itu, lalu bergeser ke wajah Arunika yang kini bergetar dalam tangis kecilnya.
“Rafael...” suara Arunika hampir tak terdengar. “Aku hamil...”
Rafael mendekat, meraih wajahnya, menahan agar tatapan mereka bertemu. Ia menarik napas panjang, suaranya rendah tapi penuh getaran. “Kalau ini benar ... kalau kamu hamil anakku ... maka apapun yang terjadi, aku akan tetap bersamamu, Aru. Aku nggak akan biarin mereka siapapun merebut kamu atau anak kita.”
Air mata Arunika mengalir deras. Ia jatuh ke pelukan Rafael, dan untuk pertama kalinya, di tengah badai yang sedang mereka hadapi, ada secercah cahaya baru sebuah kehidupan yang mungkin bisa menjadi alasan mereka untuk terus bertahan.
walau awalx sulit menyakit kan..
jgn sampai ada apa2 ya
tegang bacanya
Dan Rafael tidak mengetahui nya