Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Serangan Orc
Dari balik semak batu, mata Sissel membelalak. Napasnya tercekat. Di hadapannya, dunia berubah menjadi ladang pertempuran yang brutal—sesuatu yang hanya ia dengar dari cerita ayahnya, kini hadir nyata di depan mata.
Puluhan orc, tinggi dan gemuk berlumpur, dengan wajah yang lebih menyerupai babi raksasa, menggeram dan menyerbu dua sosok yang berdiri di tengah lingkaran maut: Pangeran Nieville, rambut putihnya berkibar dalam cahaya senja yang semakin gelap, dan seorang pemuda mestiz bertubuh tegap dengan rambut merah tembaga.
“Mestiz?”
Sissel tertegun. Ia tidak menyangka akan melihat kaum mestiz seperti dirinya ada di sana. Bahkan mestiz itu tampak dekat dan berperang bersama pangeran dengan beraninya. Ia kira semua Mestiz akan dihinakan sepertinya. Berdampingan dengan elf biasa saja sangat sulit, apalagi dekat dengan keluarga kerajaan.
Mereka bertarung gagah—Nieville dengan pedang satu tangan berlapis perak putih dan pemuda mestiz itu dengan tombak panjang bermata ganda. Namun jumlah orc terlalu banyak. Keduanya bergerak liar seperti binatang buas yang kelaparan, menebas, mencakar, dan mengaum.
Sissel ingin berlari namun tubuhnya terasa membeku.
Saat itu—seperti badai petir yang tiba tanpa suara—Sion melompat ke dalam lingkaran pertempuran.
Kedua pedangnya terhunus, satu di tangan kanan dan satu di tangan kiri. Gerakannya cepat, presisi, dan indah—seperti tarian perang. Pedang kiri menyapu kaki lawan, pedang kanan menebas ke arah dada. Dalam hitungan detik, dua orc jatuh ke tanah dengan jeritan parau.
“Siapa dia?!” Seru sang pemuda mestiz, terkejut melihat sesosok elf biasa bergabung tanpa perintah.
“Merunduk!” Teriak Sion kepadanya tanpa memperkenalkan diri.
Sang pemuda mastiz, meski bingung, menurut dengan cepat. Hampir saja ia diterkam oleh orc kalau saja Sion tidak memperingatkannya.
Pangeran Nieville menatap sosok berambut hitam itu tajam. Ada sesuatu pada gerakan dan aura pemuda itu yang aneh—tidak seperti pekerja biasa. Terlalu... Terlatih. Ia kembali mengayunkan pedang say dua orc mendekat hendak melawannya.
Orc menyerang dari berbagai sisi. Salah satu makhluk itu mengayunkan kapak besar ke arah kepala Sion. Ia berkelit, membungkuk, dan menebas lutut orc itu. Makhluk itu meraung dan jatuh, tapi sebelum Sion bisa memulihkan posisi, orc lain menerjang dari samping—dan salah satu pedangnya terlempar ke tanah.
Sion berbalik cepat, mencoba menarik kembali senjatanya, tapi orc itu terlalu dekat. Matanya yang merah darah menatap dengan haus penuh hasrat untuk membunuh.
Tiba-tiba, suara teriakan terdengar dari arah batu besar.
“Sion!”
Sissel.
Ia muncul, tubuhnya masih gemetar, tapi tangannya menggenggam pedang Sion yang terjatuh. Dalam satu gerakan cepat yang mengejutkan semua mata, ia melemparkan pedang itu ke arah Sion.
Sion menangkapnya tepat waktu dan menghunjamkannya ke perut orc yang menyerang. Darah kental hitam menyembur dan makhluk itu ambruk.
Beberapa orc berlari ke arah Sissel, menyadari ada mangsa lemah di pinggiran pertempuran. Tapi dengan gerakan cepat, Sissel mengambil kapak orc yang telah mati lalu mengayunkannya. Bukan gerakan sembarangan—ia memutar pergelangan dengan teknik dasar yang sempurna, menebas bagian paha hingga makhluk itu tumbang.
Sion membelalak. Sissel bisa bertarung.
Sissel mundur, menjaga jarak, tapi tetap waspada. Raut wajahnya tidak lagi dikuasai rasa takut. Dalam dirinya seperti ada dorongan keberanian yang membuatnya bersemangat dan berapi-api untuk bertarung. Padahal, ini pertama kalinya menghadapi pertempuran nyata apalagi melawan puluhan orc.
“Ini … ini mengerikan!” Katanya berteriak.
Sion tersenyum tipis, meski masih sibuk menghadapi dua orc sekaligus. “Kalau kau mati, aku akan membuatmu hidup kembali hanya untuk memarahimu!”
Beberapa menit berlalu. Para elf menghadapi gerombolan makhluk bengis dan menjijikan. Akhirnya, satu per satu orc mulai tumbang. Jeritan terakhir mereka terdengar lirih, seperti hawa iblis yang tertelan kabut malam. Orc yang telah mati lambat laun tubuhnya meleleh menjadi lumpur hitam di atas tanah. Baunya sangat busuk dan menyengat.
Saat pertempuran mereda dan orc terakhir ambruk ke tanah, suasana hutan kembali pada keheningan semu. Pemuda mestiz itu tiba-tiba terduduk. Sebuah sayatan panjang di lengannya membuat darah merembes deras.
“Val!” Teriak Nieville seraya menghampiri pengawal setianya. Ia tampak panik melihat kondisi Val yang terluka parah.
“Aku tidak bisa merasa di jari-jariku...” Gumam Val sambil memegangi luka.
Sissel turut berjalan mendekat ke arah pangeran dan pengawalnya. Tiba-tiba saja ia merobek sedikit kain dari ujung bajunya dan mengeluarkan gulungan kecil daun dari kantongnya. Sissel menumbuk daun dengan batu kecil, lalu mengoleskannya pada luka Val. Raut wajah Val tampak tengah menahan rasa perih ketika ramuan itu menempel pada lukanya. Ajaibnya, zat hijau pucat itu meresap cepat dan darah mulai berhenti mengalir.
Val menatapnya, bingung. “Kau... Mestiz?” tanyanya heran. Wanita itu seperti ahli dalam obat-obatan, cekatan menangani orang yang terluka.
Sissel mengangguk perlahan.
Val tersenyum lemah. “Ternyata aku punya teman.”
Sion masih berdiri mematung, tubuhnya masih bersimbah lumpur dan darah. Nafasnya naik turun tak beraturan. Ia menyadari betapa tubuhnya menggigil, bukan karena dingin—tapi karena menyadari: ia telah memperlihatkan dirinya terlalu jelas.
Sinar mata Val menembus punggungnya seperti panah. Meski lelaki mestiz itu tengah duduk kelelahan dengan lengan yang dibalut ramuan obat oleh Sissel, tatapannya tetap tajam dan penuh tanya.
Sion perlahan menyarungkan pedang-pedangnya, lalu melangkah menjauh dari jasad orc yang mencair menjadi lumpur hitam. Ia menunduk pada Nieville. “Maaf atas kelancangan saya, Yang Mulia.”
Pangeran tidak langsung menjawab. Ia mendekat, menatap Sion dari atas ke bawah, lalu menatap pedang ganda di punggung lelaki itu.
“Aku tidak tahu pekerja ladang dibekali dengan keahlian seperti itu,” ujar Nieville.
Sion menjawab ringan. “Saya dulunya petualang. Menghabiskan waktu di hutan dan bukit, sebelum akhirnya menetap di sini.”
Jawaban itu cukup samar, cukup menggantung untuk menjauhkan kecurigaan. Namun, cukup dalam untuk menyembunyikan kebenaran.
Nieville mengangguk. Ia memanggil Uta yang mendekat pelan, menundukkan kepala ke arah Sion, seolah mengenali auranya yang tersembunyi.
“Uta sepertinya belum melupakanmu,” gumam Nieville.
Sion tercekat. Tapi pangeran melanjutkan pembicaraan seolah tak menyadari apa pun.
“Kami akan melanjutkan perjalanan menuju Tallava. Zenithia belum tiba. Kami sengaja memilih jalur memutar untuk menyambutnya dari arah utara.”
Sissel yang tengah mencuci darah dari tangannya dengan air telaga mendongak, matanya membulat.
“Nona Zenithia... tunangan Anda?”
Nieville menoleh dan mengangguk lembut. “Ya. Kami dijodohkan sejak usia belia. Ia putri keluarga Garya.”
Sissel tak berkata apa-apa. Namun, wajahnya menunjukkan ketertarikan yang samar. Perempuan yang dipilih kerajaan… seperti apa dia?
Val bangkit perlahan, wajahnya masih pucat, tapi cukup kuat untuk menatap Sion dengan lebih dekat.
“Terima kasih,” katanya singkat.
Sion mengangguk. “Hati-hati di jalur barat. Kadang binatang buas lebih mudah ditebak daripada para orc.”
Nieville tersenyum, lalu memutar tubuh kudanya. “Aku akan mengingat wajahmu … Sion dari Tallava.”
Mereka berdua pun berlalu, meninggalkan jejak di tanah yang becek dan basah oleh darah orc.
Sissel menatap Sion lama. “Kau... seharusnya tidak menunjukkan semua itu,” ujarnya. Menurutnya, sejak awal seharusnya mereka tak perlu ikut campur. Pangeran seperti memiliki tatapan menyeramkan.
Sion menatap tanah yang basah oleh lumpur dan sisa-sisa pertempuran. “Aku tahu,” ujarnya pelan. “Tapi aku tidak bisa berpura-pura jadi pengecut hanya demi terlihat biasa.”
Sissel menghela napas. “Sudahlah! Setidaknya, kau masih hidup.” Ia sendiri masih merasa gemetar karena entah mengapa ia bisa berperang.
“Aku tidak takut pada kematian,” jawab Sion seraya menoleh padanya. “Aku hanya... tidak ingin dilihat terlalu jelas.”
Mata mereka bertemu sejenak. Ada banyak pertanyaan dalam sorot mata Sissel, tapi ia menahannya.
“Kau aneh,” gumamnya, lalu berbalik sambil merapikan rambutnya yang awut-awutan.
Sion tersenyum kecil. “Aku sudah sering dengar itu.”
Mereka berjalan menjauh dari tempat itu tanpa kata. Hanya dedaunan yang bergemerisik dan jejak yang mereka tinggalkan di tanah hutan sebagai saksi bahwa malam ini telah mengubah sesuatu—meski tak satu pun dari mereka tahu seberapa besar pengaruhnya nanti.