Ketika sedang dihadapkan pada situasi yang sangat sulit, Farida Agustin harus rela terikat pernikahan kontrak dengan seorang pria beristri bernama Rama Arsalan.
Bagaimanakah kehidupan keduanya kelak? Akankah menumbuhkan buih-buih cinta di antara keduanya atau justru berakhir sesuai kontrak yang ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Ancaman
Sepulang dari makan siang, Farida hanya mengurung diri di kamar. Pikirannya sangat kacau setelah mendengar percakapan Rama dan Nadia.
Perasaannya dilanda gelisah dan takut dengan nasibnya kelak.
"Aku harus bagaimana? Kalau aku membatalkan kontraknya, lalu dari mana aku membayar denda sebanyak itu?" gumam Farida.
Tak ingin ambil pusing, Farida pun menyibukkan diri dengan membuat sesuatu yang akan dia bawa ke rumah sakit. Hatinya sudah dilanda rindu pada sang adik yang kini masih menjalani masa pemulihan setelah operasi.
Setelah bergelut dengan peralatan masak, Farida segera membersihkan dapur dan juga peralatan yang digunakan. Lalu dia lekas bersiap pergi ke rumah sakit setelah selesai mandi.
Pukul 3 sore Farida berangkat ke rumah sakit menggunakan taksi online. Dalam perjalanan, pikirannya kembali teringat dengan obrolan Rama dan Nadia. Dia mengembuskan napas berat sambil mengusap wajahnya.
"Tenang, Farida. Ikuti saja alurnya seperti air mengalir," batin Farida menenangkan dirinya.
Sesampainya di rumah sakit, Farida langsung berjalan menuju ruang ICU. Melalui kaca jendela, dia melihat kondisi sang adik selepas operasi. Belum ada tanda-tanda adiknya akan bangun dari tidur panjangnya.
Puas melihat sang adik, Farida memutuskan ke ruangan Dokter Ilham untuk menanyakan lebih detail kondisi Rian saat ini. Kebetulan dokter masih di rumah sakit sebelum berganti shift dengan dokter yang lain.
"Sore, Dok," sapa Farida setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk.
"Oh, Farida. Sore juga, silakan duduk."
"Terima kasih, Dok."
Farida pun duduk berhadapan dengan dokter, kemudian mulai bertanya, "Bagaimana perkembangan kondisi Rian, Dok? Apa sudah ada perubahan? Dan kapan bisa sadar?"
"Untuk saat ini masih dalam pemantauan tim medis, Farida. Kondisinya juga cukup baik dari sebelumnya, tapi belum bisa dipastikan kapan dia akan sadar. Perbanyak berdoa saja supaya Rian secepatnya sadar dan bisa pulih kembali."
"Iya, Dok. Saya hanya berharap Rian bisa secepatnya sadar, agar sebelum saya benar-benar hamil, saya masih bisa bertemu dengan dia."
Dokter Ilham sangat prihatin dengan apa yang dijalani Farida saat ini. Memang bukan hal yang mudah menjadi seorang penyewa rahim, terlebih ada perjanjian di antara kedua pihak.
......................
Farida tiba di apartemen sekitar jam 6 petang karena dia mampir ke suatu tempat lebih dulu. Ketika membuka pintu apartemen, dia merasa ada yang aneh.
"Bukannya tadi lampu udah aku nyalakan semua, kok, gelap," gumam Farida.
Dengan langkah pelan dan berhati-hati, Farida melewati ruang tamu hendak mencari saklar lampu. Namun, belum sampai dia menemukan saklar, tiba-tiba saja ruangan menjadi terang.
Tubuh Farida seketika mematung saat sebuah tangan melingkar di perutnya.
"Dari mana saja, baru pulang? Apa kamu sedang menyiapkan rencana untuk kabur?" Suara yang terdengar dingin, tetapi sangat menusuk.
Lidah Farida pun seolah kelu tak bisa digerakkan, sekadar menjawab rentetan pertanyaan dari Rama.
"Kenapa diam saja? Berarti benar apa yang saya katakan barusan?"
"Ti-tidak, Tuan. S-saya tidak ada niatan untuk kabur. Saya tadi ke rumah sakit untuk melihat kondisi adik saya." Farida mencoba melepaskan tangan Rama yang melingkar di perutnya.
"Apa ucapanmu bisa dipercaya?" Rama kembali bertanya sambil terus mengecup leher Farida.
"B-benar, Tuan. Saya tidak berbohong." Sekuat tenaga Farida mencoba melepaskan dirinya, tetapi dia kalah tenaga dengan Rama.
Rama membalikkan tubuh Farida agar menghadapnya, membuat kedua tangan Farida reflek menyentuh dada bidang Rama.
"Saya akan mempercayai ucapanmu, tapi dengan satu syarat."
"Syarat apa?" tanya Farida dengan kedua tangan yang menahan tubuh Rama.
"Layani saya sekarang."
"T-tapi, Tuan. Bagaimana kalau istri Tuan nanti mencari?" Farida berusaha mengurungkan niatan Rama agar dia bisa tidur nyenyak malam ini. Bukan, lebih tepatnya dia merasa takut berhubungan dengan Rama setelah mendengar obrolan tadi siang.
"Saya tidak menerima penolakan, Farida."
Tatapan Rama yang semula biasa saja, mendadak menjadi tajam dan nada bicaranya juga terdengar sangat menakutkan. Tanpa banyak bicara, Rama langsung mengangkat tubuh Farida lalu membawanya ke kamar.
......................
Pukul 8 malam, Rama baru sampai rumah. Sementara Nadia tak terlihat sama sekali, bahkan tidak menyambut kepulangannya.
Hal sepele seperti inilah yang kadang membuat Rama tak tahan dengan kehidupan rumah tangganya. Punya istri, tetapi seperti hidup sendiri. Tak ada sambutan sepulang kerja, tak ada makanan yang tersaji di meja makan, tak ada air hangat untuk mandi, dan masih banyak lainnya.
Dia pun mulai membandingkan kehidupannya saat bersama Nadia dan kehidupan saat bersama Farida. Jika diibaratkan, bagai langit dan bumi. Dia jauh merasa dihormati saat bersama Farida. Sebab tanpa diminta, Farida melakukan semua kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh Nadia selaku istri yang sesungguhnya.
"Kamu memang nggak bisa berubah, Nad. Aku bahkan sangat meragukan niatanmu yang ingin memiliki anak. Jika saat seperti ini saja, kamu tak pernah menjalankan tugasmu sebagai istri, lalu bagaimana jika sudah ada anak? Kamu pasti tidak akan pernah bisa melakukan tugasmu sebagai seorang ibu," ucap Rama.
Rama segera menuju kamarnya untuk berganti pakaian sebab tadi sudah mandi di apartemen. Lalu dia berjalan ke dapur untuk membuat secangkir kopi dan dibawa ke ruang kerja.
Saking fokusnya dengan pekerjaan, Rama tak menyadari jika waktu sudah tengah malam dan belum ada tanda-tanda Nadia pulang.
Rama meregangkan kedua tangannya yang terasa pegal, kemudian melihat jam dinding di ruangannya.
"Sudah jam 12, tapi kenapa Nadia belum pulang juga?"
Rama mematikan laptopnya kemudian keluar meninggalkan ruang kerja. Dia berlalu menuju kamar guna melihat apakah sang istri sudah pulang. Namun, sesampainya di kamar, tak ada siapa pun di sana.
"Ke mana dia pergi? Semakin lama tingkahnya semakin membuat kesabaranku habis."
Geram karena kelakuan sang istri yang menurutnya sudah di luar batas, Rama langsung menghubungi nomor Nadia. Akan tetapi, bukan jawaban yang didengarnya, melainkan suara operator yang menginformasi jika nomor sedang tidak aktif.
"Argh! Awas, kamu, Nadia! Jangan harap aku akan terus sabar menghadapi perilakumu kali ini!"