Leon Harrington seorang hakim yang tegas dan adil, Namun, ia berselingkuh sehingga membuat tunangannya, Jade Valencia merasa kecewa dan pergi meninggalkan kota kelahirannya.
Setelah berpisah selama lima tahun, Mereka dipertemukan kembali. Namun, situasi mereka berbeda. Leon sebagai Hakim dan Jade sebagai pembunuh yang akan dijatuhkan hukuman mati oleh Leon sendiri.
Akankah hubungan mereka mengalami perubahan setelah pertemuan kembali? Keputusan apa yang akan dilakukan oleh Leon? Apakah ia akan membantu mantan tunangannya atau memilih lepas tangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Leon duduk di sofa dengan ekspresi dingin, matanya tajam menatap layar televisi yang baru saja menayangkan keputusan pengadilan. Ruangan itu sunyi, hanya suara napas beratnya yang terdengar. Di sebelahnya, Jacob menatapnya dengan raut wajah penuh keraguan.
"Hakim Mike selama ini tegas," ujar Jacob, memecah keheningan. "Tapi kenapa kali ini sepertinya dia tertunduk? Apakah karena pihak tersangka berasal dari kalangan atas?" Suaranya mengandung nada curiga, seakan ia sendiri tak ingin percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.
Leon menghela napas panjang, jemarinya mengepal di atas lutut. "Mike Farcen dikenal sebagai hakim yang adil," katanya pelan, tetapi penuh ketegasan. "Aku hampir tidak percaya keputusan yang dia tentukan. Ini tidak sesuai dengan harapan semua orang. Aku yakin pihak keluarga korban pasti kecewa."
Jacob menelan ludah, wajahnya penuh kebingungan dan kegelisahan. "Tuan, apa yang akan kita lakukan?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar. "Kalau kita biarkan saja, maka pelakunya bebas dan berkeliaran sesuka hati. Sementara korban meninggal sia-sia."
Mata Leon menatap tajam ke arah Jacob, penuh keteguhan dan kemarahan yang terpendam. "Tetap cari kesalahan lain para pelaku," perintahnya tegas. "Selain melakukan kekerasan seksual, aku yakin kesalahan mereka pasti bukan hanya itu. Kumpulkan semua bukti dan kita sendiri yang akan mengadilinya."
Jacob terdiam, mendengarkan dengan saksama.
"Kasus kematian Jane akan disidang ulang," lanjut Leon dengan penuh keyakinan. "Temui keluarga korban untuk mengajukan persidangan ulang. Kali ini aku yang memimpin persidangan!" Suaranya penuh determinasi, mencerminkan betapa ia tidak akan membiarkan keadilan diinjak-injak begitu saja.
"Tapi, Tuan," katanya hati-hati, "apakah ketua hakim akan menyetujui permintaan Anda? Aku malah khawatir bagaimana kalau keputusan itu ada hubungannya dengan beliau?"
Leon membuang napas berat. Ia tahu apa yang dimaksud Jacob. Jika ada tekanan dari pihak yang lebih tinggi, maka segala usaha mereka bisa saja sia-sia.
"Demi menghindari keributan, maka hanya ada satu cara...." ujar Leon, suaranya menggantung di udara. Ia memejamkan mata sejenak, berpikir keras. Sementara Jacob menunggu dengan penuh harap dan kecemasan, menanti apa langkah selanjutnya dari pria yang selama ini selalu berdiri di garis depan dalam menegakkan keadilan.
Di sisi lain, Jade mendatangi rumah keluarganya. Ia berdiri di depan gerbang rumah mewah itu dengan tatapan kosong. Hatinya terasa hampa saat mengingat momen terakhir kali ia bertemu dengan saudara kembarnya, Jane.
"Jane, aku datang. Sayang sekali kita tidak bisa bertemu lagi. Aku akan membalas dendam untukmu. Hukum tidak adil dan berpihak pada yang berkuasa. Dan aku adalah penegak hukumnya. Lima laki-laki itu akan menerima balasan yang setimpal," batin Jade, kepalan tangannya mengeras.
Langkahnya terasa berat saat ia memasuki rumah itu. Udara di dalam terasa lebih dingin dari biasanya, seakan mencerminkan suasana duka yang menyelimuti keluarga mereka.
Begitu berdiri di ambang pintu, suara tangisan pilu menyambutnya. Suara itu berasal dari ibunya, Sammy, yang terdengar begitu terpukul.
"Jane, kau pergi begitu saja dan menjadi korban sia-sia. Mama tidak puas, tidak puas!" ratap Sammy sambil menepuk dadanya berulang kali, seolah ingin mengusir rasa sakit yang menggigit hatinya.
Marcus, ayahnya, duduk dengan wajah lesu. Pandangannya kosong, seakan kehilangan harapan.
Jade merasa hancur melihat kedua orang tuanya yang begitu berduka. Ia menguatkan hatinya dan melangkah lebih dekat.
"Pa, Ma," serunya pelan.
Marcus menatapnya tajam, begitu pula dengan Sammy. Tidak ada kehangatan di mata mereka, hanya kemarahan dan kekecewaan yang terpancar jelas.
"Untuk apa kau datang ke sini?" tanya Marcus dingin.
Jade menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Aku datang untuk menemui kalian," jawabnya.
"Untuk apa? Apa kau bahagia dan puas melihat kami seperti ini?" sambung Sammy dengan nada tajam.
Jade menghela napas, menahan gejolak emosinya. "Bukan aku yang menyebabkan semua ini. Kenapa kalian menyalahkan aku?" tanyanya dengan nada terluka.
Marcus menggeleng, ekspresinya penuh kekecewaan. "Kakakmu semasa hidup sangat merindukanmu dan mencintaimu. Tapi kau... sebagai adik kembarnya, justru pergi jauh. Apakah kau masih pantas disebut anak kami?"
Jade menunduk sejenak sebelum menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Papa dan Mama juga tahu alasan aku pergi saat itu. Aku butuh ruang dan waktu."
Sammy mendengus sinis. "Dengan cara pergi hingga lima tahun? Lalu kenapa kau baru pulang sekarang?"
Jade mengepalkan tangannya, mencoba menahan amarah dan kesedihan yang berkecamuk dalam dirinya. "Saat di Kanada, aku memiliki firasat buruk. Aku menghubungi kalian, tapi panggilanku diputuskan. Keesokan harinya aku terus mencoba, tapi tidak ada yang menjawab."
Sammy menatapnya dengan mata merah karena tangis. "Kau menyalahkan kami atas kematian Jane? Jade, Jane meninggal dengan begitu tragis. Kami lebih sakit darimu! Dia adalah anak kesayangan kami. Kehilangannya seperti kehilangan separuh jiwa kami."
Jade menatap ibunya dengan tatapan penuh luka. "Aku hanya ingin kalian percaya padaku," bisiknya.
Marcus tertawa sinis. "Percaya? Atas dasar apa? Kau berbeda dengan Jane. Kau sama sekali tidak bisa dibandingkan dengannya."
Perkataan itu menusuk hati Jade seperti belati tajam. Ia menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku tahu... Kalian tidak pernah menganggapku sebagai anak kalian. Tapi kenapa? Aku dan Jane sama-sama anak kalian, tapi kenapa kalian selalu menjauh dariku? Kenapa kalian tidak pernah menjawab panggilanku?"
Marcus menatapnya dengan dingin. "Karena kami tidak ingin mendengar suaramu."
Kali ini, air mata Jade tak bisa lagi ia tahan. Dadanya terasa sesak. "Apa alasan kalian membenciku?" tanyanya dengan suara serak. "Setidaknya beri aku jawaban agar aku tidak terus bertanya-tanya!"
Sammy menatap wajah putrinya dengan ekspresi rumit. "Sifatmu tidak seperti Jane. Kau lebih suka memberontak, sedangkan kakakmu selalu patuh. Dan wajahmu ini..." Ia terdiam sejenak, suaranya melemah. "Terlalu mirip dengan Jane. Saat ini, aku tidak ingin melihatmu. Karena kau bukan dia."
Kata-kata itu menusuk hati Jade lebih dalam. Ia tertawa pahit sambil menghapus air matanya. "Tidak wajar jika orang tua membenci anak sendiri hanya karena kepribadian yang berbeda. Mengenai wajah ini... ini bukan pilihanku. Kalau bisa, aku juga tidak ingin mirip dengannya."
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Jade merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Tidak peduli seberapa besar ia mencoba mendekat, kedua orang tuanya tetap menolaknya.
Dengan hati yang hancur, ia menggigit bibirnya dan berbalik. Jika keluarganya tidak menginginkannya, maka ia akan mencari keadilan dengan caranya sendiri.
ayo katakan yg sebenarnya