Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 05.
...« Adek bukan anak kecil! »...
Sore harinya, setelah semua orang bergiliran mandi, mereka kembali berkumpul di tempat acara. Mereka akan segera melakukan pesta berjoget. Ada panggung kecil dipojokan yang ditempati oleh penyanyi dan anggotanya.
Suaranya begitu memekakkan telinga, tetapi tetap mengundang banyak orang berjoget disana. Ditemani oleh sepasang pengantin baru yang sudah berganti baju juga.
Arasya bertepuk tangan sembari tertawa melihat Senaza dan Devan ikut berjoget bersama Mami.
Dua keluarga besar bergabung menjadi satu. Mungkin bisa dikatakan seperti satu desa yang memadati sebuah acara.
“Mas, ayok ah ikut!” Devan berteriak, mengajak Gavan untuk ikut bergabung. Yang dibalas gelengan oleh si empunya.
“Yaudah, Dek Ara aja yang ikut!” dan sebuah jeweran telinga didapati oleh Devan dari sang Mami.
“Gak usah ngajak Adek ya kamu! Udah bener disitu Adek, ya. Nonton aja.”
Arasya semakin tertawa puas melihat Devan kesakitan. Lalu setelah mengatakan itu, ketiganya bak ditelan lautan manusia.
Arasya yang sudah bosan memantau akhirnya menghela nafas. Celingak-celinguk ke arah makanan.
“Mau apa? Mas ambilin.” Gavan terlalu peka pada adiknya.
“Gak. Aku bisa sendiri.”
Gavan hanya menghendikkan bahunya dan mengikuti ke mana pun Arasya melangkah. Mengambil beberapa dessert yang dihidangkan, tidak lupa yang terakhir adalah minuman dingin berwarna kuning.
Arasya terlihat kesusahan, tetapi Gavan diam saja. Tidak berinisiatif membantu.
“Mas.” Arasya menatap Gavan dengan binar memohon. Yang ditatap terkekeh sebelum mengambil alih piring dan gelas yang dibawa Arasya.
Berjalan kembali ke tempat awal, Gavan menaruhnya ke meja. “Gih, makan.”
“Mas Gavan bukan, ya?” tiba-tiba seorang perempuan menginterupsi keduanya.
“Ya, saya.”
“Itu Mas, karpet yang buat tidur nanti masih kurang. Udah aku pinjemin ke tetangga, cuma aku gak kuat ngangkatnya. Sama Bapak disuruh panggil Mas Gavan.”
Meskipun mulut Arasya sibuk mengunyah, matanya fokus menelisik perempuan itu.
“Oh, oke. Bilangin Bapak, saya ambil nanti. Masih nungguin Adeknya makan.”
“Hah? Apasih? Ya Mas kalau pergi mah pergi aja. Aku gapapa sendiri.” Protes Arasya. Ia tidak setakut itu untuk sendirian. Toh, biasanya ia selalu sendiri di rumah.
“Emm, gimana ya, Mas. Soalnya ini ditungguin, adik-adik yang lain juga butuh istirahat. Tapi ketunda karena gak ada karpet lagi.”
Arasya mendengus dan memilih diam. Sudah tidak mood karena merasa tersindir dengan ucapan perempuan itu. Padahal jelas-jelas itu karena Gavan yang asal bicara seperti Devan.
“Ya. Saya susul. Kamu boleh pergi dulu.”
“Mas emang tahu tempatnya? Aku anter aja, takut nyasar.” Perempuan tersebut masih tetap berjuang.
“Kakak! Anterin aku ke kamar, capek!”
Untungnya. Untungnya Senaza keluar dari kerumunan itu. Mata Arasya yang memang membutuhkan orang segera memanggil wanita tersebut. Ia beranjak dari duduknya, meninggalkan makanan yang masih ia makan separuh. Dan meninggalkan Gavan yang kebingungan melihat Arasya pergi begitu saja.
“Sama, Dek. Aku juga capek, yuk ke kamar yuk.” Ajak Senaza bersemangat.
...•••...
Malam semakin larut, tidak terbiasa tidur ditempat asing membuat Arasya masih terjaga. Dikamar yang bisa dibilang luas itu, ada Mami disebelah kirinya sudah tertidur pulas. Dibagian bawah kiri, ada Devan dan Senaza yang tidur berdua. Senaza awalnya tidur di atas ranjang, tetapi karena sudah terbiasa tidur bersama sang suami, ia pindah ke bawah.
Sedangkan dibagian bawah kanan, ada Gavan. Yang sejak masuk ke kamar sengaja Arasya abaikan. Masih kesal karena kejadian tadi, saat perempuan asing itu seperti sedang menyindirnya tanpa tahu apapun.
“Dek.”
Arasya yang hampir akan berganti posisi seketika menjadi patung. Matanya langsung terpejam di detik seseorang memanggilnya.
“Sini kalau gak bisa tidur.”
Arasya mendengus lirih, masih merajuk. Keluarga Janala terlalu sering berlebihan kepadanya, meskipun ada waktu di mana Arasya memang membutuhkan perhatian. Dibanding itu, mereka lebih banyak melakukan hal yang Arasya seharusnya bisa sendiri.
Beberapa puluh menit, tidak ada lagi suara. Arasya kembali bergerak menghadap kanan. Menghela nafas perlahan-lahan, takut membangunkan semua orang.
“Dek? Masih belum bobo?”
Arasya terkejut mendengar suara Mami. Ia kembali berpindah posisi ke kiri. “Mami... Aku berisik, ya? Maaf, Mami tidur lagi aja. Aku udah mau tidur kok ini.”
“Inget gak? Adek pas masih kecil selalu nyari Mas Gavan kalau gak bisa tidur gini. Terus kalau udah di gendong Mas Gavan, langsung molor deh.”
Arasya tertawa canggung. “Hehehe, iya ya?”
“Iya, nemplok Mas Gavan dikit aja Adek udah gak rewel lagi. Dulu Bunda sama Ayah aja sampai geleng-geleng kepala. Bingung juga soalnya Adek ini anaknya mereka atau Mas Gavan deh, hahaha...”
Mami mengusap lengan Arasya, “yuk tutup matanya yuk. Mami puk-puk.”
Arasya mengangguk, ia juga berharap segera tidur. Tetapi nyatanya, sampai tepukan Mami di lengannya berhenti, dirinya masih belum tidur juga.
Sudah cukup. Arasya pelan-pelan memindahkan tangan Mami. Ia memutuskan untuk mencari udara segar di malam hari, siapa tahu sesudah itu ia bisa tertidur nyenyak.
Arasya berjalan mengendap-endap bak maling yang sedang melancarkan aksinya. Ia menarik gagang pintu dengan sangat hati-hati. Kembali menutupnya sangat pelan.
“Lho, Adeknya Mas Gavan belum tidur?”
Arasya terkejut melihat ruang tamu yang dipenuhi oleh bapak-bapak. Dan salah satunya adalah seorang bapak yang selalu bertanya di dalam bus tadi.
“Hehehe, iya, Pak. Ini mau keluar cari angin. Permisi, Pak.” Pamit Arasya begitu sopan.
Lalu tanpa banyak basa-basi, ia berjalan cepat menuju luar. Pintu juga belum tertutup. Masih ada banyak orang yang berlalu-lalang. Apalagi rumah yang menjadi tempat keluarga Janala dan Arasya berisitirahat itu berdampingan dengan rumah pengantin pria.
“Dek.”
Arasya yang beberapa kali meregangkan tubuhnya, kembali dibuat terkejut oleh panggilan tiba-tiba. Ia menoleh ke belakang dimana Gavan duduk di kursi bundar yang berada di depan rumah. Matanya masih tertutup, dipastikan pria tersebut dipaksa untuk mencarinya.
“Tidur. Mas gendong sini.”
Arasya melebarkan matanya menatap Gavan yang masih enggan membuka mata. “Gak! Emangnya aku anak kecil?!” tolaknya mentah-mentah.
“Enggak juga. Siapa yang bilang kamu kecil? Ayo sini.” Akhirnya Gavan membuka matanya. Merentangkan tangannya, menyuruh Arasya untuk mendekat.
“Gak! Apasih!”
Arasya dibuat kesal kembali. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Ayo, Dek. Mas ngantuk ini.”
“Ya kalau ngantuk, bobo aja lah! Ngapain ikut-ikut kesini! Aneh!”
“Arasya!”
Si empunya tersentak mendengar Gavan membentaknya. Memanggilnya tanpa embel-embel adik.
“Kamu yang ngapain. Udah malem bukannya tidur malah keluyuran. Kalau gak karena Mami, Mas gak akan nyusul kamu kesini.”
Gavan menarik pergelangan tangan Arasya, secara paksa menyuruh gadis itu duduk dipangkuannya. Seperti bayi koala yang meringkuk didekapan induknya, Arasya menggigit bibirnya menahan tangis.
“Merem matanya.” Perintah Gavan terdengar tajam dan dingin. Tidak seperti biasanya.
Dan pecahlah tangis milik Arasya.
“Hiks---huaaaaa!”
...« Terima kasih sudah membaca »...