"Tolong jangan sentuh saya, Pak." Ucap seorang gadis cantik berkacamata bulat dengan tubuh bergetar hebat. Gadis itu terisak pilu ketika mahkota yang selama ini dijaga, direnggut paksa oleh seorang dosen.
Azura Saskirana seorang mahasiswi tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi di ruang perpustakaan di malam hari yang sepi ditengah hujan badai. Zura hari itu memang sengaja ingin menyelesaikan skripsinya yang tinggal sedikit lagi selesai. Disaat bersamaan hujan turun dengan lebat disertai angin, membuat dia enggan beranjak. Karena tempat kostnya terletak lumayan jauh dari kampus, jadi dia memutuskan untuk menunggu hujan reda baru akan pulang itupun dia masih harus berjalan kaki.
Garvin Reviano Agler, seorang dosen yang sudah lama menduda dan berhati dingin setelah pernikahan dengan wanita yang dicintainya gagal karena wanita itu lebih memilih pergi untuk mengejar karir. Malam itu Garvin dijebak oleh dosen wanita yang terobsesi dengannya dengan minuman yang sudah dicampur obat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diambang Dilema
Garvin menatap sendu pada istrinya yang masih belum sadarkan diri. Garvin menyesali karena terlambat tahu tentang kondisi istrinya. Tumor ganas, sebuah penyakit yang terlalu mengerikan.
Kandungan Zura jauh dari cukup umur, membuat Garvin bingung dengan keputusan apa yang akan dia pilih. Garvin tentu tidak akan rela kehilangan wanita yang dicintainya.
Tapi, Garvin juga tidak mungkin mengorbankan dua bayi yang sudah lama dia nantikan kehadirannya. Merasa sangat frustasi, hingga Garvin menangis tergugu di samping brangkar Zura.
Mama Kalynda tak kalah sedihnya, menantu atau cucu tentu saja merupakan pilihan yang sangat sulit. Mama Kalynda berfikir, mungkinkah ada keajaiban untuk keluarga mereka nantinya.
Tak lama kemudian, Zura membuka matanya. Hal pertama yang dia lakukan adalah meraba bagian perut dimana buah cintanya menumpang hidup. Gerakan tangan Zura disadari oleh Garvin, hingga pria dewasa itu menyeka air matanya dan pura-pura terlihat baik-baik saja.
"Sayang, kamu sudah bangun. Mau minum, sebentar akan mas ambilkan."
"Mas Garvin, bayi kita...?" Tanyanya.
"Bayi kita sehat sayang, maaf karena menuruti permintaan mas kamu jadi pendarahan. Maaf karena mas tidak bisa menahan hasrat hingga menyebabkan kamu celaka." Sesal Garvin.
"Mas Garvin tidak salah, karena hal itu juga menjadi kemauanku sendiri. Aku pun memiliki keinginan untuk selalu disentuh." Jawab Zura.
"Mas, apa kata dokter. Kenapa rasanya perutku sakit sekali." Tanyanya.
"Sebelumnya mas ingin bertanya padamu sayang, apa selama ini sebelum kamu dinyatakan hamil kamu sering merasakan sakit perut yang luar biasa ketika sedang datang bulan?" Tanya Garvin menyiapkan hati mendengarnya.
"Benar mas, sudah sejak dulu aku selalu mengalami pms hebat."
"Apa itu yang membuat kamu nampak lemas dan pucat saat kuliah dulu." Tanya Garvin memastikan.
"Benar, aku tidak menyangka ternyata mas Garvin memperhatikanku sejak dulu. Tapi kenapa mas hanya diam seolah tidak tahu." Zura penasaran dengan hati mantan dosennya ini.
"Karena waktu itu mas masih belum terlalu yakin." Jawab Garvin.
"Maksudnya tidak yakin kalau mas memiliki rasa cinta terhadapku?" Tanya Zura dengan bibir mengerucut, yang nampak lucu di mata Garvin hingga satu kecupan pun terjadi.
"Mas ih, sekarang kita sedang di Rumah Sakit." Gerutu Zura.
"Lagian kamu bikin mas gemas."
"Sudah deh, jangan mengalihkan pembicaraan. Katakan yang sebenarnya." Desak Zura.
"Mas mulai memperhatikan kamu sejak awal menjadi dosen kamu. Setiap mas berada di kelas untuk mengajar, mas selalu mencuri untuk melihatmu. Tapi mas terlalu pengecut, hingga tidak berani mendekati. Saat itu, mas masih dibayangi dengan kegagalan masa lalu. Ditinggalkan oleh wanita yang mas cintai membuat rasa trauma tersendiri." Ucap Garvin.
"Berarti kita berdua sama-sama pengecut ya mas, aku pun sudah sejak awal mengagumi mas Garvin. Tapi aku takut dianggap pungguk yang merindukan bulan. Status sosial kita berbeda jauh. Dan aku pikir, pria tampan dan mapan seperti mas tidak mungkin membalas cinta yang akan aku tawarkan." Ucap Zura sambil tersenyum.
"Dan sekarang aku memiliki mas Garvin seutuhnya, bahkan bukti cinta kita berdua sudah tumbuh menjadi dua bayi di dalam rahimku. Aku sangat bahagia bisa merasakan dicintai oleh sosok pria yang aku kagumi." Lanjut Zura dengan binar kebahagiaan yang sangat ketara. Dan semakin membuat Garvin dilema untuk memberikan keputusannya saat ini.
Garvin tidak mungkin meredupkan sinar bahagia milik istrinya dengan mengatakan jika dia akan memilih dirinya dari pada anaknya. Tapi, mempertahankan kedua bayi itu juga memberi kemungkinan terburuk untuk Garvin. Bisa saja dirinya akan kehilangan semuanya.
"Lalu katakan, apa diagnosa dokter? Tidak mungkin kan jika pms sebelum hamil berhubungan dengan pendarahan?"
"Sayang, mas..." Garvin menatap istrinya dengan mata yang berkaca-kaca. Bibirnya seakan kelu untuk berbicara.
Mama Kalynda yang mengintip dari celah pintu tidak kuasa lagi menahan kesedihan yang mendalam. Pun dengan bik Tatik, wanita paruh baya itu menangis begitu pilu.
"Apa semua kebahagiaan ini harus berakhir?" Ucap sendu mama Kalynda.
Sedangkan di dalam ruang rawat setelah hening beberapa saat, Zura memberanikan diri untuk bertanya ulang.
"Tolong katakan, apapun itu meskipun dalam kejujuran menyimpan kepahitan. Itu lebih baik untukku dari pada sebuah kebohongan. Kebahagiaan semu, aku tidak pernah mengharapkannya." Ucap Zura.
"Maaf, maafkan mas yang terlambat tahu." Jawab Garvin mulai terisak.
"Tidak ada yang salah, mungkin memang sudah menjadi suratan takdirku."
"Katakanlah mas, lebih baik aku mendengar langsung dari mulut mas Garvin dari pada aku meminta dokter yang akan menjelaskan." Pintanya.
Menyusutkan air mata, Garvin berusaha tegar. Benar, Zura lebih baik mendengar apapun dari bibirnya. Sebuah kejujuran yang menjadi komitmen mereka.
"Ada tumor ganas dalam rahim kamu sayang, dan dokter memberikan mas pilihan yang teramat sulit." Ucapnya lirih, Garvin menunggu respon dari sang istri. Menunggu beberapa detik tapi tetap hanya hening.
"Apa pilihannya mas?" Tanya Zura dengan suara bergetar. Jelas sekali wanita cantik itu syok mendengar dirinya memiliki penyakit yang serius.
"Menyelamatkan kamu dari keganasan tumor itu sekarang, tapi kita harus merelakan si kembar. Atau membiarkan tumor tumbuh bersama si kembar dan melakukan pengangkatan tumor saat kamu operasi sesar. Tapi..." Ucapan Edgar menggantung, dia tidak kuasa untuk melanjutkan. Terlalu berat untuknya.
"Atau aku akan meninggal begitu maksud mas Garvin?" Tanya Zura.
"Mas tidak mungkin sanggup kehilangan kamu sayang, mas sangat mencintai kamu. Kamu adalah hidup mas, separuh nafas mas, bagaimana caranya mas melanjutkan hidup jika tidak ada kamu di sisi mas."
"Terima kasih sudah mencintai aku dengan begitu besar, hingga membuat diri ini selalu merasa beruntung memiliki suami seperti mas Garvin."
"Tapi di dunia ini semua yang terjadi atas ijin Nya, Alloh sudah menggariskan takdir setiap mahklukNya. Bahkan ketika daun gugur dari pohonnya. Pilihlah yang menurut mas Garvin yang terbaik untuk semua. Tapi jika aku boleh meminta, biarkan aku melanjutkan kehamilan hingga tiba waktunya. Aku ingin bisa merasakan menjadi seorang ibu."
"Aku percaya akan takdir, tapi aku juga yakin jika keajaiban itu pasti ada. Mulai sekarang, aku akan hidup lebih baik lagi dengan hati yang selalu bahagia. Asalkan mas Garvin setia berada di sisiku, menemani hari-hariku dengan cinta. Maka, aku akan ihklas menjalani rasa sakit yang mungkin akan semakin sakit."
"Kita berdoa, semoga Alloh memberikan kesembuhan untukku tanpa harus mengorbankan kehamilanku. Mas Garvin mendukung keputusanku kan?" Tanya Zura diakhir setelah dia mengungkapkan semua isi hatinya.
"Pasti sayang, mas akan terus berada di samping kamu. Mas tidak akan meninggalkan kamu yang sedang berjuang demi kelahiran buah hati kita. Mas mencintai kamu."
"Sekarang tidurlah, mas akan menemui dokter untuk mengatakan keputusan mas." Ucap Garvin dengan suara parau.
Zura memejamkan mata, berharap suaminya mengerti akan perasaan dan keinginannya.