bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bukan lawanku
Pagi tiba. Amira membuka matanya perlahan dan tersenyum tipis. Di sebelahnya, Andika masih terlelap, wajahnya terlihat damai. Tak ada yang terjadi semalam, bahkan sentuhan tak ada.
"Dia tidak seberengsek yang aku kira. Atau... jangan-jangan dia tidak normal?" pikir Amira sambil menyenderkan punggung ke tepi ranjang.
Ia menatap lekat wajah Andika. Ada ketenangan yang jarang ia lihat pada pria seusia Andika.
"Aku tahu hidupmu penuh tekanan. Sampai kamu harus mengonsumsi obat tidur untuk bisa beristirahat. Tapi malam ini... kamu tidur tanpa bantuan obat apa pun," bisik Amira pelan.
Tangannya terulur, membelai lembut rambut Andika. Pria itu menggeliat kecil, lalu tidur lagi.
"Kamu terlalu polos... terlalu baik. Andai saja ibumu tidak ada ibu mungkin kamu sudah mati, paman yang kamu banggakan itu lebih berbahaya dari apa yang kamu kira, apalgi nenek sihir serina dia adalah peremopuan licik walau tidak selicik aku"
Amira menghela napas dalam-dalam.
"Kamu mengir semua orang baik dan bisa percaya, kamu kira ketika kamu berbuat baik maka orang juga akan berbuat baik, tidak seperti itu konsepnya"
amira terus membelai rambut andika
"bagiku semua orang jahat hanya ayah dan ibuku yang baik, hubunganku dengan orang lain hanya hubungan saling menguntungkan kalau menguntungkan aku jalani kalau tidak aku tinggalkan, kalau memukui akan aku pukul"
Tatapannya mengeras.
"Kamu sudah membiayai perawatan bapakku dan mengurusnya dengan baik, serta kamu bersikap hormat pada orang tuaku maka aku hanya akan mengambil sedikit keuntungan dari kamu, paling sekitar 1 milyar lah untuk beli sawah di desa dan aku jadi petani dikampung terpencil," bisik Amira sambil tersenyum miring.
Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang dan melangkah keluar kamar, menuju dapur keluarga. Di sana, Heni sudah berdiri menunggu, wajahnya masam, tatapannya tajam.
"Heh, perempuan udik! Kamu nggak pantas sama Tuan Andika!" seru Heni sinis.
Amira mengangkat alis, menatap santai.
"Kalau gue nggak pantas, terus siapa yang pantas? Nenek peot kayak lu?" balas Amira ketus.
"Yang sopan, kamu! Aku ini ART senior! Kemarin aja kamu panggil aku komandan!" bentak Heni.
Amira tertawa kecil.
"Lu tahu gue siapa? Gue adalah istri Tuan Andika! Artinya, gue juga tuan lu!"
"Lu cuma istri kontrak! Nggak ngaruh buat gue!" Heni membalas galak.
"Oke. Terus mau lu apa?" tantang Amira, mendekat.
Tanpa aba-aba, plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Amira.
"Ada apa ini?!" suara Serina menggema, diikuti Bagus yang baru kembali dari jogging.
"Itu, Tuan! Orang ini menampar saya!" tuduh Heni cepat, menunjuk Amira.
"Apa-apaan kamu!" hardik Bagus, matanya melotot. "Kamu cuma pengantin kontrak! Jangan belagu!"
Amira mendengus sinis.
"Apa buktinya kalau gue yang nampar pembantu sialan ini?" tantangnya.
"Orang kampungan kayak kamu mana perlu bukti! Udah jelas jahat!" cibir Serina.
Amira menyeringai.
"Kalau kalian nggak butuh bukti, gue butuh."
Sekejap, ia menarik rambut Heni kasar. Heni menjerit, meronta, tapi cengkeraman Amira kuat.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Heni. Darah langsung merembes di sudut bibirnya.
"Ini bukti pertama gue nampar orang!" ujar Amira dingin.
Tak ada yang berani bergerak. Bagus dan Serina menegang.
Plak!
Tamparan kedua. Heni terisak kesakitan.
"Ini tamparan kedua. Kalian sudah lihat?"
Mereka hanya terdiam.
Plak!
Tamparan ketiga, lebih keras.
"Sudah lihat?!" bentak Amira.
"Sudah... sudah!" sahut Bagus ketakutan.
Amira tersenyum sinis.
"Bagus. Berarti kalian nggak buta."
Lalu, tanpa belas kasihan, ia mendorong tubuh Heni ke pojokan dapur. Tubuh perempuan itu terjerembab mengenaskan, entah berapa gigi yang tanggal.
Amira berbalik santai, menatap mereka semua dengan pandangan tajam yang membuat udara di sekitarnya terasa mencekam.
"Lain kali cari pembunuh profesional, jangan suruh orang lemah, nenek peot kayak dia," ucap Amira dingin, penuh sindiran.
Dari balik sudut rumah, Renata menyaksikan semuanya. Ia menyeringai, matanya berkilat penuh ketertarikan.
"Menarik... dia bukan wanita lemah," gumam Renata pelan.
"Amira!" panggil Renata lantang.
Semua yang ada di ruangan itu sontak terperanjat, menoleh serempak ke arahnya.
"Besok kamu harus ke Singapura. Sebelumnya, kamu harus ke salon dulu. Ibu yang akan menemanimu. Sekarang bersiaplah," ucap Renata tegas.
Amira mendesah panjang. "Ah, Bu, hari ini aku harus ngojek. Udah tiga hari aku nggak narik. Besok aku ke Singapura lagi, pasti makin lama nggak ngojek. Pelangganku bisa kabur semua, Bu. Ini juga anak-anak udah nanyain terus aku di mana. Katanya mereka mau ada acara mabar bareng malam ini," protes Amira cepat, wajahnya cemberut.
Renata mendekat, menatap Amira dengan ekspresi serius. "Mira, kamu harus berhenti jadi tukang ojek," katanya tegas.
"Mana bisa, Bu," balas Amira cepat. "Siapa yang mau nerima aku kerja? Aku nggak punya ijazah. Sekarang ini, pekerjaan paling gampang tanpa ijazah ya jadi tukang ojek. Kalau mau jadi tukang bangunan, aku belum bisa. Uangku juga belum cukup buat beli sawah di desa."
Renata menghela napas, lalu berkata dengan nada sabar, "Kamu kan sudah jadi istri Andika. Biar Andika yang cari uang."
Amira langsung menggeleng keras. "Ah, itu kan cuma kontrak, Bu. Tetap saja aku harus cari penghasilan sendiri. Aku nggak mau bergantung!"
Renata terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kalau begitu, gimana kalau kamu jadi bodyguard Ibu aja?"
Amira menyipitkan mata, curiga. "Bodyguard? Berapa gajinya?"
"Kalau ngojek, sehari kamu dapat berapa?" tanya Renata.
"Kalau ramai, sekitar tiga ratus ribu," jawab Amira, menghitung cepat di kepalanya. "Kalau jadi satpam, paling gaji bulanan cuma tiga jutaan."
Renata tersenyum makin lebar. "Kalau dua puluh juta sebulan, gimana?"
Amira terdiam sejenak, matanya langsung berbinar penuh semangat. Uang segitu jauh di atas ekspektasinya!
"Deal!" seru Amira cepat, nyaris tanpa berpikir panjang.
Kalau soal uang, Amira memang paling cepat ambil keputusan. Semangatnya langsung meledak, membayangkan tabungannya yang akan cepat bertambah.
"Sekarang ayo ikut aku, ke salon. Bersiaplah," kata Renata.
Amira segera menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Tapi begitu membuka pintu, pemandangan mengejutkan menyambutnya — Andika sedang memakai celana dalam.
"Belalai gajah!" pekik Amira spontan.
"Orang gila!" teriak Andika, buru-buru menarik celana panjangnya dan memasangnya dengan panik.
"Kamu itu kalau masuk kamar, ketuk pintu dulu, dong!" gerutu Andika kesal.
"Maaf, suamiku, aku lupa," ucap Amira sambil merajuk, memasang wajah memelas.
Andika mendesah berat. "Ya sudahlah."
Amira tersenyum lebar. "Suamiku, aku mau ke salon, nih."
"Ya pergi aja, tinggal pergi. Ribet amat sih," jawab Andika, masih cemberut.
"Tapi aku harus izin dulu sama kamu, suamiku tercinta," kata Amira manja, setengah menggoda.
Andika menatapnya sejenak lalu menyerah. "Aku izinin," jawabnya singkat.
Amira mendekat, lalu dengan gerakan cepat, mencium tangan Andika dengan penuh hormat.
"Apaan sih lu, kayak anak TPA aja," komentar Andika dengan alis berkerut.
"Ih, ibuku segalak apapun, kalau mau pergi selalu cium tangan bapakku," kata Amira, seolah itu hal paling wajar di dunia.
"Iya–iya... Pergi sono yang jauh," ucap Andika sambil melambaikan tangan, berusaha menutupi wajahnya yang nyaris tersenyum.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus