🏆Sekuel Pewaris Dewa Naga🏆
Tujuh tahun setelah perang besar, kedamaian di Benua Feng hanyalah ilusi. Dunia di luar perbatasan telah jatuh ke tangan iblis, dan seorang pria asing muncul membawa rahasia besar. Dunia jauh lebih luas dari yang mereka kira, dan apa yang tersembunyi di balik kabut sejarah mulai terungkap—termasuk rahasia tentang asal-usul Liang Fei sendiri.
Siapa sebenarnya orang tuanya? Apa kaitannya dengan Pemimpin Sekte Demonic? Dan bisakah Zhiyuan, murid yang terjatuh dalam kegelapan, masih bisa diselamatkan?
Dengan persekutuan lama yang diuji, musuh baru yang lebih kuat, dan petunjuk yang mengarah ke dunia yang terkubur dalam sejarah, Liang Fei harus meninggalkan takhta dan melangkah ke medan pertempuran yang lebih besar dari sebelumnya.
Dunia telah berubah.
Dan perang yang sesungguhnya baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5 Insting Alami Dalam Berburu: Ayah Dan Anak
Di sebuah hutan besar, terlihat Liang Fei dan Xi Fei yang berkuda cukup jauh ke dalam hutan, membiarkan diri mereka larut dalam ketenangan alam.
Suara dedaunan yang bergoyang dan gemerisik ranting di bawah kaki kuda mereka menjadi latar alami perjalanan itu.
Sebenarnya, Liang Fei bisa dengan mudah merasakan keberadaan setiap makhluk di sekelilingnya berkat kemampuan mata batinnya. Namun, kali ini ia memilih untuk tidak menggunakannya dengan alasan ingin melihat seberapa jauh kepekaan dan naluri berburu Xi Fei tanpa bantuannya.
Di sampingnya, Xi Fei duduk tegap di atas Xiaoguang, kuda kesayangannya. Tatapannya tajam, menyapu setiap sudut hutan dengan penuh antusiasme. Ia berusaha mencari tanda-tanda keberadaan hewan buruan, seperti yang diajarkan oleh Zhang Tao.
Jemarinya kadang mengencangkan genggaman pada tali kekang, sementara pikirannya sibuk menganalisis jejak-jejak samar di tanah dan gerakan halus di antara dedaunan.
Xi Fei mengerutkan keningnya, mulai merasa frustrasi karena tidak melihat satupun target berburu.
“Ayah, kenapa tidak ada satupun hewan disini?” tanyanya dengan nada setengah mengeluh.
Liang Fei, yang tampak santai di atas punggung Baiyun, hanya tersenyum tipis. “Sabar, Xi’er. Perburuan bukan sekadar mengejar mangsa, tapi juga memahami lingkungan. Dengarkan baik-baik, amati sekelilingmu.”
Xi Fei menggigit bibirnya, lalu mencoba untuk lebih fokus. Ia menutup mata sejenak, membiarkan telinganya menangkap suara-suara di sekitarnya. Saat itulah ia mendengar sesuatu—suara gemerisik dedaunan yang terdengar berbeda dari tiupan angin biasa.
Xi Fei membuka matanya dan menoleh ke arah kanan, tepatnya ke semak-semak yang tampak bergoyang halus.
Matanya berbinar. “Ayah! Di sana!”
Liang Fei mengangguk kecil. “Kita dekati dengan hati-hati.”
Xi Fei menarik tali kekang Xiaoguang, membimbing kudanya dengan hati-hati. Ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang bisa membuat buruannya kabur. Ketika mereka semakin mendekat, akhirnya Xi Fei melihatnya—seekor rusa berdiri di tengah padang rumput dan sibuk memakan dedaunan.
Tiba-tiba, tangannya mengepal tanpa sadar. Ini pertama kalinya ia menemukan buruannya sendiri.
Liang Fei meliriknya. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Xi Fei menelan ludah, tangannya meraba busur kecil di punggungnya. Ia tahu apa yang harus dilakukan, tapi mendadak merasa ragu.
Liang Fei, yang sudah mengerti kebimbangan itu, berbicara dengan nada tenang. “Xi’er, perburuan butuh lebih dari sekadar keberanian. Kau harus memahami targetmu—bagaimana ia bergerak, kapan ia akan lari, dan di mana titik terlemahnya.”
Xi Fei mengangguk pelan, lalu menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Dengan hati-hati, ia mengambil anak panah dari tabung dan memasangnya di busur miliknya.
“Posisikan tubuhmu dengan stabil,” kata Liang Fei. “Tarik tali busur dengan kekuatan yang cukup, tapi jangan terlalu kaku. Yang terpenting—jangan buru-buru melepaskan panah.”
Xi Fei mengikuti instruksi ayahnya dengan saksama. Tepat ketika ia mengarahkan busurnya, rusa itu tiba-tiba mengangkat kepala, tampak curiga.
“Dia akan lari dalam tiga detik,” ujar Liang Fei tenang. “Jika kau menembaknya sekarang, panahmu akan meleset.”
Xi Fei menegang. “Lalu, apa yang harus kulakukan?”
Liang Fei tersenyum tipis. “Prediksi gerakannya.”
Xi Fei mengingat pelajaran yang pernah ia pelajari. Jika rusa itu akan melompat ke kanan… maka ia harus membidik sedikit ke depan, bukan langsung ke tubuhnya.
Ia menyesuaikan arah panahnya, menunggu momen yang tepat. Dan saat rusa itu bergerak…
Swiish!
Panahnya melesat, menembus udara—
Thuck!
Rusa itu melompat kaget, tapi hanya sempat berlari beberapa langkah sebelum kakinya melemah.
Xi Fei terbelalak. “Aku berhasil?!”
Liang Fei tersenyum bangga. “Bagus. Tapi kau harus memastikan buruannya tidak menderita terlalu lama.”
Xi Fei mengangguk cepat, turun dari kudanya, dan menyelesaikan perburuannya sesuai ajaran Zhang Tao. Saat ia kembali ke Xiaoguang, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan.
“Tadi aku sempat ragu… tapi Ayah membantuku.”
Liang Fei menepuk kepalanya dengan lembut. “Itulah gunanya latihan. Semakin sering kau berburu, semakin tajam instingmu.”
Perburuan mereka berlanjut selama beberapa jam. Liang Fei beberapa kali menunjukkan teknik berburu yang lebih baik—salah satunya dengan menembak burung elang yang sedang mengintai kelinci. Ia sengaja mengarahkan panahnya pada kelinci, dan ketika burung itu menerkam…
Swiish!
Panahnya menembus tubuh kedua hewan itu dengan presisi sempurna.
Xi Fei menatapnya kagum. “Aku ingin bisa seperti itu juga!”
Liang Fei terkekeh. “Butuh banyak latihan, Xi’er.”
Pada akhirnya, mereka berhasil mengumpulkan cukup banyak buruan seperti rusa, kelinci, dan beberapa ekor burung hutan. Liang Fei menyimpan semuanya dalam cincin parsial miliknya agar tetap segar selama perjalanan.
Saat matahari mulai condong ke barat, mereka memutuskan untuk mengakhiri perburuan mereka.
Liang Fei dan Xi Fei menunggangi kuda mereka untuk pulang. Namun, di tengah jalan, mereka disuguhi pemandangan yang luar biasa saat melewati sebuah bukit.
Di bawah langit senja yang berpendar keemasan, lautan terbentang luas, ombaknya berkilauan diterpa cahaya matahari. Di tepi pantai, Kota Huisan berdiri megah dengan bangunan-bangunan tinggi yang menjulang dan jalanan yang dipenuhi aktivitas. Dermaga tampak sibuk, kapal-kapal nelayan bersandar, sementara penduduk kota berlalu-lalang, tenggelam dalam rutinitas mereka.
Xi Fei menghentikan kudanya, matanya berbinar penuh kagum. “Wow… kota ini indah sekali…” katanya dengan nada takjub.
Di sisi lain, Liang Fei hanya terdiam, menatap kota itu dalam keheningan. Ada sesuatu yang memenuhi hatinya—sebuah nostalgia yang berat.
Dulu, tempat ini tak lebih dari puing-puing bisu akibat peperangan. Jalanan yang kini ramai dulunya hanya dipenuhi debu dan kesunyian. Tapi sekarang, rumah-rumah telah berdiri kembali, tawa anak-anak menggema di udara, dan dermaga kembali hidup dengan kapal-kapal nelayan yang berlayar di perairan biru.
Liang Fei menghela napas pelan. Dunia terus berubah, dan Kota Huisan adalah bukti dari itu.
“Ini Kota Huisan,” katanya akhirnya. “Dulu, tempat ini hancur dan tak berpenghuni… tapi sekarang, ia telah bangkit kembali.”
Xi Fei menoleh ke ayahnya. “Ayah ingin pergi ke sana?”
Liang Fei tersenyum. “Tentu saja. Aku ingin melihat bagaimana tempat ini berkembang, sekaligus mengunjungi Shen Yan.”
Mata Xi Fei berbinar. “Paman Shen?” Sudah lama ia tidak bertemu dengan Shen Yan, paman baik hati yang selalu memberinya hadiah.
Saat mereka menuruni bukit menuju Kota Huisan, suasana damai menyelimuti perjalanan mereka. Jalanan berbatu yang membentang menuju kota tampak bersih dan terawat. Para petani sibuk di ladang mereka, beberapa membajak tanah, sementara yang lain memanen hasil bumi. Aroma tanah yang segar bercampur dengan angin laut, memberikan ketenangan tersendiri.
Di sepanjang jalan, pedagang kaki lima menawarkan berbagai hasil bumi dan laut—ikan segar, kerang, serta padi dan sayuran hijau. Anak-anak berlarian dengan riang, dan ketika melihat Liang Fei serta Xi Fei, mereka langsung berbisik-bisik penuh semangat.
“Kaisar datang! Kaisar datang!”
Seorang wanita paruh baya yang membawa keranjang penuh hasil panen segera berhenti dan membungkuk hormat. “Yang Mulia,” sapanya, sebelum tersenyum hangat ke arah Xi Fei. “Dan ini pasti Pangeran Muda, Xi Fei.”
Xi Fei tersipu, belum terbiasa dengan gelar yang disematkan padanya. Namun, ia membalas sapaan itu dengan anggukan sopan.
Perlahan, semakin banyak orang menyadari kehadiran mereka. Para petani, pedagang, dan warga kota lainnya dengan antusias menyambut Liang Fei.
Beberapa membawa hasil panen dan ikan segar, ingin memberikannya sebagai bentuk penghormatan, tetapi Liang Fei hanya tertawa dan menolak dengan lembut.