NovelToon NovelToon
Menculik Pengantin Wanita Adik Tiri

Menculik Pengantin Wanita Adik Tiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Konflik etika
Popularitas:8.2k
Nilai: 5
Nama Author: iraurah

Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.

Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.

Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.

Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.

“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”

Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?

Follow instagramm : @iraurah

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aura Yang Sama

Napas Mistiza semakin memburu, tersengal di antara jemari Andreas yang mencengkeram lehernya tanpa belas kasih. Matanya terbelalak, berusaha mempertahankan kesadarannya yang kian memudar. Tubuhnya yang lemah menggeliat pelan, mencoba melepaskan diri dari cekikan itu, namun sia-sia. Ucapan terakhirnya tertahan di tenggorokan, tercekik oleh amarah seorang pria yang hatinya telah lama kehilangan cahaya.

Dalam sisa tenaga yang masih tersisa, Mistiza menggerakkan bibirnya lirih.

“Ja-ngan….Ku-mo-hon….Le-pas-kan…. A-ku….”

“Secepat ini kau menyerah, hm?!”

“Ma-af…. Ja-ngan…. Sen-tuh…. A-ku….To-long….”

Ucapannya terputus-putus, nyaris tak terdengar. Namun ada sesuatu dalam suara itu yang membuat tangan Andreas perlahan melonggar, meskipun kemarahan masih membara dalam dadanya.

Ia mundur setengah langkah, matanya menatap wanita itu dengan sorot tajam. Nafasnya berat, bergemuruh seperti ombak yang tak menemukan pantai untuk dihempaskan. Andreas mengatupkan rahangnya, mencoba menguasai gejolak dalam dirinya sendiri.

Mistiza batuk pelan, suaranya serak, dadanya naik-turun dengan susah payah. Wajahnya basah oleh air mata, rambutnya kusut menempel di wajah pucatnya, dan gaun pengantinnya kini telah kehilangan semua arti sakral.

“Apapun… Asal jangan gauli aku…. Aku tak mau mati dalam keadaan berdosa” ucapnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lemah, seperti nyala lilin yang hampir padam.

Andreas tak langsung menjawab. Ia berjalan perlahan, mondar-mandir di hadapan Mistiza. Tangan kirinya mengepal, sementara tangan kanannya masih menggenggam benda tajam yang tadi sempat ia ambil dari meja. Pisau itu kini bergetar di antara jemarinya.

“Berdosa?” ulang Andreas dingin. “Kau pikir aku masih bisa dihentikan hanya karena permohonan lemah seperti itu? Masa bodoh, kalaupun aku yang mendapat semua dosa itu!”

Ia berhenti tepat di depan Mistiza, menunduk sedikit agar wajah mereka sejajar.

“Kau tidak tahu apa pun tentang kehilangan. Tentang rasa sakit. Tentang pengkhianatan yang membuat seluruh jiwamu runtuh dalam sekejap,” desisnya pelan namun tajam. “Aku adalah hasil dari semua itu, Mistiza. Dan hari ini… kau menjadi umpan untuk memangsa mereka datang dan bersujud padaku! Dan saat itu tiba apa aku masih terlihat menyedihkan di matamu?”

“Semakin aku membuatmu menangis, maka semakin kuat pula permohonan yang akan mereka ajukan kepadaku!”

“Lagipula tak ada salahnya kalau aku sedikit bermain-main dengan milik Ryan, bukan?” Ujar Andres menampilkan smirk.

Mistiza hanya mampu menatap dengan mata sayu. Bibirnya bergerak pelan, mencoba bicara, namun tak ada suara yang keluar. Kepalanya mulai limbung, penglihatannya mengabur.

Andreas mengernyit. Sorot matanya mulai berubah, tidak lagi penuh kemarahan, melainkan sedikit kebingungan. Ia melihat bagaimana tubuh Mistiza mulai kehilangan kendali. Lehernya terkulai, kedua lengannya yang terikat tidak lagi bergerak, dan matanya perlahan terpejam.

“Mistiza?”

Tidak ada jawaban.

“Mistiza!!”

Andreas meletakkan pisau itu ke atas meja dengan gerakan cepat. Ia mendekat, memeriksa wajah wanita itu. Nafas Mistiza masih ada, namun lemah, nyaris tak terdengar. Tubuhnya dingin, wajahnya pucat, dan keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

“Ini tidak seharusnya terjadi sekarang…” gumam Andreas menggerutu.

Dengan gerakan cepat, ia melepaskan satu per satu borgol besi yang mengikat Mistiza ke papan. Tubuh wanita itu terkulai seperti boneka yang kehilangan tali. Tanpa berpikir panjang, Andreas mengangkatnya—sebuah tindakan yang mungkin akan tampak lembut di mata orang luar, namun di baliknya masih tersembunyi niat yang kelam.

Ia membawa tubuh Mistiza menuju ranjang besi yang berada di tengah ruangan. Dengan hati-hati ia membaringkan wanita itu di atas permukaan dingin ranjang tersebut. Tangan Mistiza terjatuh lemah di samping tubuhnya, gaun robeknya sedikit menutupi bagian tubuh yang masih tersisa dari rasa malu.

Andreas berdiri sejenak, menatap wanita itu yang kini tak sadarkan diri. Napasnya sendiri mulai tenang, namun dalam benaknya, pertempuran antara ego dan nurani mulai berkecamuk dengan keras.

“Apa dia sedang berpura-pura atau memang sungguhan tidak sadar??”

Mistiza masih terbaring di atas ranjang besi. Napasnya tetap ada, namun lemah. Tubuhnya dingin meski pemanas ruangan telah dinyalakan. Wajahnya pucat, seperti kehilangan semua semangat dan harapan yang pernah menghiasi hari-harinya. Dalam diamnya, ia seperti patung kesedihan.

Andreas menghela napas keras, lalu berjalan cepat ke arah dinding samping, tempat interkom kecil terpasang. Ia menekan tombolnya dan berbicara dengan suara yang lebih kasar daripada biasanya.

“Panggil dokter. Sekarang. Bilang padanya untuk datang secepat mungkin. Bawa dia ke ruang bawah.”

Suaranya mengandung perintah yang tidak bisa ditawar.

Tak butuh waktu lama. Sekitar tiga puluh menit kemudian, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari balik lorong menuju ruangan tersembunyi itu. Seorang pria paruh baya dengan kacamata bundar, berpakaian rapi dengan jas putih panjang, muncul dengan wajah cemas dan tubuh sedikit gemetar.

Ia berhenti di depan Andreas, menunduk sedikit sebagai bentuk penghormatan.

“Selamat pagi, Tuan Andreas,” ucapnya dengan sopan namun gugup. “Saya datang secepat mungkin seperti perintah Anda. Di mana pasiennya?”

Andreas hanya menunjuk ke arah ranjang besi tanpa sepatah kata pun. Dokter itu terkejut begitu melihat penampilan wanita yang terbaring di atas sprei merah, dia benar-benar kacau, mangsa Andreas kali ini sungguh sangat sial, sepersekian detik dokter pun mengangguk cepat, lalu berjalan mendekat dan langsung melakukan pemeriksaan.

Ia menyentuh dahi Mistiza, mengecek nadinya, membuka kelopak matanya perlahan. Sementara Andreas berdiri tak jauh dari sana, tangan menyilang di dada, matanya tak pernah lepas dari tubuh wanita yang tak sadarkan diri itu.

Beberapa menit berlalu. Suara detak jam dinding terdengar semakin keras dalam keheningan ruangan yang aneh itu.

Dokter itu akhirnya berdiri tegak, menghela napas pelan. Ia memandang Andreas sejenak sebelum memberanikan diri untuk berbicara.

“Tuan Andreas… pasien ini mengalami dehidrasi yang cukup serius, juga syok berat. Saya menduga ia telah melewati tekanan fisik dan emosional dalam jangka waktu yang lama. Jika tidak segera ditangani dengan baik, ia bisa mengalami masalah kesehatan lainnya… atau bahkan—”

“Cukup.” Andreas memotong kalimat itu dengan suara dingin. “Berapa lama sampai dia sadar?”

“Saya… saya tidak bisa memastikan, Tuan. Tapi ia butuh cairan, istirahat, dan suasana yang tenang. Saya sarankan… jangan terlalu keras padanya lagi,”jelas dokter itu berbicara pelan di ujung kalimatnya.

Andreas menatapnya lama. Sorot mata itu tajam, seperti bilah pisau yang menggantung di leher siapa pun yang berani menentangnya. Namun anehnya, kali ini ia tidak marah. Tidak menghardik, tidak mengusir.

Ia hanya mengangguk sekali.

“Lakukan apa yang perlu. Tapi jangan berani macam-macam.”

“Baik, Tuan…”

Dokter itu segera mengeluarkan peralatan medis kecil dari tasnya. Ia mulai memasang infus pada tangan Mistiza, menyuntikkan cairan glukosa, dan memeriksa tekanan darahnya. Gerak-geriknya cepat namun hati-hati, seolah ia sedang merawat bunga rapuh di tengah ladang penuh duri.

Sementara itu, Andreas tetap diam di tempatnya. Wajahnya sulit dibaca. Ia menatap Mistiza seperti seseorang yang berusaha memahami potongan teka-teki dari masa lalu yang terus menghantui pikirannya.

Beberapa saat kemudian, setelah prosedur medis dasar selesai, dokter itu mendekati Andreas sekali lagi.

“Jika diperbolehkan, saya akan kembali besok pagi untuk mengecek perkembangannya, Tuan.”

“Tidak. Kau akan tetap di sini sampai dia sadar,” jawab Andreas tegas.

“Baik… saya akan menunggu di ruang tamu, jika begitu.”

Andreas memberi isyarat dengan tangannya, dan pelayan yang tadi membukakan pintu segera mengantar sang dokter ke luar ruangan. Setelah pintu kembali tertutup, Andreas mendekati ranjang, berdiri di sisi tempat Mistiza berbaring.

Ia menatap wajah wanita itu dalam-dalam, seolah mencari sesuatu. Mungkin penjelasan. Mungkin perasaan yang tidak ia akui. Atau mungkin… bayangan dari seseorang yang dulu pernah memberinya makna.

“Aku seperti pernah melihatmu…” gumamnya pelan. “Entah aku hanya berhalusinasi atau memang aku lupa”

1
As Lamiah
jangan sampai ada permainan yg akan mempermainkan mu Andreas kan konyol
partini
hati hati benci dan cinta sangat tipis loh Andreas
As Lamiah
udah tau mistiza gadis yang menderita eee malah kau tambah lagi penderitaan di hidup mistiza sungguh kejam yg salah sasaran loh Andreas seharusnya yg di hancurkan itu Riyan dan keluarganya bukan mistiza yg nota Bene g bersalah sungguh sadis kamu Andreas
Neng Nurhaeni
blum up thor
Mamie_Luv: Hari ini sudah up ya kak😊
Ditunggu besok🙏🏼
total 1 replies
Aira Zaskia
Seru
As Lamiah
sadis bener tuh Andreas
Halimah
Andreas salah besar.....Dia benci sm keluarganya tp knp Mistiza yg ke korban
As Lamiah
sungguh miris nasip mistiza dan Andreas
partini
makin menarik
As Lamiah
ya begitulah kalau seorang anak yang sudah terlalu kecewa dan menderita
Jelo Muda
kata2mu thorrr...kerennnn
Mamie_Luv: Terimakasih kak🥰
total 1 replies
As Lamiah
terasa berat dan lama untuk seorang mistiza nasip apa yg mistiza dapat kan sudah g punya keluarga eee kebebasan pun terenggut semoga mistiza masih diberikan kewarasan
As Lamiah
ayolah Andreas jangan pintar tapi bodo dan masa bodo dengan umpan mu yg harus terjaga kewarasan nya demi menghancurkan keluarga tirimu itu 😇
partini
something wrong with her body,, apa hidup nya sangat menderita
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu
As Lamiah: ya heeh tuh Andreas g bisa nutup mata dan telinga
total 1 replies
As Lamiah
nah tuh pasti mistiza ngedrop dan tertekan tuh dikurung andreas
As Lamiah
ayo mistiza jangan berikan Andreas kesempatan untuk menyiksamu kembali buatlah dia terkesan dengan sikapmu
As Lamiah
semoga mistiza bisa melewati masa sulit yg dihadapinya dan meluluhkan hati Andreas meski sulit dan penuh penolakan
As Lamiah
ayo mistiza ikuti permainan andreas dan pulihkan dirimu beripelajarannyg manis untuk Andreas yg Takan dia lupakan dan hancurkan kesombongan nya terhadap mu karna dia salah menghukum mu mistiza
Eka Bundanedinar
salam sehat mammy semangat krya barunya udah nangkring nih
Mamie_Luv: Selamat membaca kakak🥰
total 1 replies
As Lamiah
hemmm gebrakan apanih yg bakal mistiza dapat dari Andreas
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!