🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Insting seorang istri.
Celine menghela nafas panjang, wajahnya masih cukup kesal gara-gara ucapan Aini tadi. Lebih menyebalkannya lagi saat Daffa lebih memilih diam dan tidak menjelaskan sama sekali saat Aini menyerangnya dengan kalimat-kalimat yang membuatnya terpojok. Padahal dia sangat berharap Daffa akan membelanya dan memarahi Aini, hingga hubungan mereka akan menjadi renggang.
"Kamu ada menyinggung Aini tadi?" Tanya Dion saat mereka sudah ada di dalam mobil dan sedang menuju ke sebuah restaurant untuk makan siang.
"Nggak ada, mungkin Aini-nya saja yang sedang sensitif," jawab Celine berusaha sesantai mungkin agar Dion percaya, "Lagipula aku juga sudah punya pacar, aku tidak mungkin mengharapkan Daffa lagi seperti yang Aini pikirkan,"
"Pacar?" Tanya Dion penuh selidik, jelas dia tak semudah itu percaya.
Celine mengangguk yakin, "Minggu depan dia akan kembali, nanti aku akan kenalkan dia pada kalian, khususnya Aini. Supaya Aini tidak salah paham terus dan mengira aku mau mendekati Daffa lagi,"
Bukan ingin meragukan ucapan Celine, tapi mengingat sampai detik kemarin wanita ini terlihat masih terlihat begitu cinta mati pada Daffa, apa mungkin hanya dalam waktu sekejap bisa langsung berubah haluan. Namun Dion tidak ingin menggali lebih dalam lagi, selain bukanlah urusannya, semua tinggal pembuktian saja apakah nanti Celine benar-benar akan mengenalkan pacarnya atau tidak seperti yang dia katakan barusan.
-
-
-
"Aku serius nanya, Mas!" Aini duduk di atas sofa, meletakkan kedua sikunya diatas lutut dan membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.
Tubuhnya sedikit bergetar, tangannya mulai terasa dingin, entah mendapatkan keberanian dari mana sampai dia bisa bicara melawan Celine seperti tadi. Atau mungkin, reaksi seperti itu pasti akan muncul ketika seorang istri melihat suaminya tengah berduaan dengan wanita lain.
Masih dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, air matanya keluar dengan begitu saja. Tangis yang sedari tadi dia tahan akhirnya dia tumpahkan juga saat merasakan dadanya begitu sakit seperti ditusuk-tusuk sesuatu yang tidak terlihat.
"Memang tidak terjadi apa-apa, Aini."
Daffa datang mendekat, berjongkok dengan satu kakinya dihadapan sang istri. Tangannya bergerak menurunkan tangan Aini yang menutupi wajahnya, hingga mata basah itu kini bertemu dengan matanya.
"Memang tidak terjadi apa-apa," sekali lagi Daffa mengulang kalimatnya, mengusap air mata yang menempel di wajah istrinya. "Pas kamu datang tadi kami baru saja mau keluar untuk menyusul Dion, tapi tiba-tiba saja kaki Celine terkilir dan jatuh di pangkuanku. Udah.. terus kamu datang dan seperti apa yang kamu lihat tadi, kamu salah paham,"
Meskipun dia tau suaminya ini sedang berusaha berkata jujur, Aini tetap merasa tidak puas dengan jawaban yang dia dengar, "Jika tadi aku tidak datang, apakah kamu dan dia akan berbuat lebih?"
"Astaghfirullah, Aini." Daffa mengusap wajahnya kasar, entah bagaimana lagi dia akan menjelaskan lagi supaya istrinya ini mengerti, "Kamu lihat sendiri kan tadi pintunya sengaja nggak Mas tutup dengan rapat, karena Mas nggak mau ada kesalahpahaman begini."
"Mas, apa kamu sadar, sejak dia datang aku tidak bisa bernafas lega walau hanya untuk sedetik saja. Aku merasa dia selalu ada disekitar kamu terus, dan itu membuat aku takut,"
"Aini kamu terlalu berlebihan. Lagipula Celine datang dengan Dion kesininya, dia tidak datang sendiri," bukan maksud ingin membela Celine, dia hanya berusaha untuk menceritakan kejadian sebenarnya.
Dan sayangnya jawaban itu justru membuat emosi Aini kembali naik, "Ini bukan sekedar rasa takut, Mas. Tapi ini insting seorang istri, aku tau dia sedang berusaha mendekati kamu lagi."
"Aini.. tolong." suaranya terdengar pelan, karena dia memang sudah tidak ingin memperdebatkannya lebih panjang lagi. "Sekalipun itu iya, aku sudah menutup hatiku untuknya. Dan hanya ada kamu dihatiku sekarang."
Daffa menggenggam tangan Aini dengan erat, berharap dengan begitu istrinya bisa merasa lebih tenang. Tatapannya begitu lembut, tak ada kemarahan sedikitpun meskipun tadi Aini sudah membuat sedikit kekacauan dengan berakhir mengusir Dion dan Celine dari sana.
"Aku sudah berjanji pada ayah kamu untuk selalu menjaga kamu dan membuat kamu bahagia, jadi.. apapun yang terjadi aku tidak akan pernah meninggalkan kamu, Nur Aini."
Kata-kata itu seperti hembusan angin lembut yang menyapa, dan secara perlahan mampu meredam amarah yang tadinya sedang menguasai dirinya. Dadanya bahkan sudah tidak menggebu-gebu seperti tadi saat melihat mata itu memandangnya dengan penuh kehangatan.
"Sekarang Mas tanya, kamu kenapa nggak bilang kalau kamu ketemuan sama Celine? Bukannya tadi Mas udah nganterin kamu sampai kedepan pabrik ya?" tanyanya masih tetap lembut, meskipun sedikit kecewa karena Aini sudah berbohong tapi dia tidak begitu mempermasalahkannya.
"Maaf Mas, aku hanya tidak suka saja dia mengganggu kamu tengah malam. Semalam aku membaca pesan dari dia yang mengucapkan terimakasih karena kamu sudah mengantarkannya pulang, tapi.. Aku sudah menghapus pesan dan nomornya dari handphone kamu, maaf kalau aku sudah lancang,"
Sama sekali tidak keberatan, Daffa menggeleng pelan, "Mas sama sekali tidak keberatan soal itu, kamu bisa mengecek handphone Mas kapanpun kamu mau jika itu bisa membuat kamu merasa lebih tenang. Yang sekarang Mas mau tanya, tumben sekali istri Mas ini sampai nyamperin Mas ke kantor segala, udah kangen?"
Wajahnya langsung bersemu merah saat mendapatkan pertanyaan seperti itu, namun seketika dia menjadi heran begitu menyadari sesuatu. Tadi pagi Celine yang mengantarkan dia sampai ke rumah sakit, dan Celine juga sudah sempat bertemu dengan Daffa sebelum dia datang, tapi kenapa Celine tidak menceritakan tentang ayahnya yang kembali dirawat di rumah sakit. Apa memang Celine sengaja? Bukankah dengan seperti ini justru semakin terlihat jelas jika Celine memang memiliki tujuan untuk merebut Daffa kembali.
"Ayah masuk rumah sakit lagi, Mas."
Daffa terkejut, ada hal sebesar ini dia tidak diberitahu. Segera dia bangkit dan duduk disamping sang istri, "Kamu kenapa nggak telefon, Mas? Kalau begitu kan Mas bisa datang kerumah sakit, nggak perlu kamu yang datang jauh-jauh kesini sendirian,"
Aini menggenggam tangan Daffa yang ada diatas pangkuan, dia tersenyum tipis, "Kondisi ayah sudah lebih baik kok, Mas. Sebenarnya.. Ada hal lain juga yang mau aku omongin sama kamu makanya aku sampai datang kemari,"
"Katakan, apa yang mau kamu omongin itu,"
Tak segera menjawab, Aini lebih memilih diam untuk sekedar mengumpulkan keberanian. Meskipun yang akan dia katakan bukanlah untuk mengakui sebuah kesalahan, tapi cukup membuatnya merasa tegang.
"Aku sudah memikirkan ini baik-baik, aku ingin keluar dari dari pekerjaanku dan fokus pada rumah tangga kita. Aku ingin melahirkan seorang anak untuk kamu, Mas..."
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧