Sebuah keluarga sederhana yang penuh tawa dan kebahagiaan… hingga suatu hari, semuanya berubah.
Sebuah gigitan dari anjing liar seharusnya bukan hal besar, tapi tanpa mereka sadari, gigitan itu adalah awal dari mimpi buruk yang tak terbayangkan.
Selama enam bulan, semuanya tampak biasa saja sampai sifat sang anak mulai berubah dan menjadi sangat agresif
Apa yang sebenarnya terjadi pada sang anak? Dan penyebab sebenarnya dari perubahan sang anak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryn Aru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Pagi hari yang cerah, burung-burung bernyanyi, dan tawa anak-anak pulang dari sekolah. Andini duduk di bawah sofa sedang menikmati belaian dari sang ibu setelah selesai sarapan.
"Enak nya disisir Mama. Nikmat mana lagi yang engkau dustakan." Ucap Andini dengan menutup mata dan tersenyum lebar. Terlihat sang ayah yang duduk di sebelah ibu sedang menatap Andini dengan sinis.
"Udah besar kok masih disisir in." Ayah pun menyalakan televisi dan melihat siaran berita. Andini yang mendengar ucapan ayah pun membuka mata dan melihat ayah dari ujung matanya.
"Bilang aja iri, lagian papa kan kalau tidur juga di peluk sama mama." Ucap dini memutar mata dan menikmati sisiran dari sang ibu lagi. Ibu yang sedari tadi menyimak pun hanya tertawa kecil sembari menggelengkan kepala pelan.
Saat Andini masih menikmati lembut tangan sang Ibu ia terkejut karena ada sebuah cahaya yang menyoroti matanya, Andini terbangun dari tidurnya dan melihat ke sekeliling rumah yang sangat berantakan. Andini menghela nafas dan menatap langit yang sudah membiru dengan cahaya matahari yang telah berada di atas dari balik jendela.
"Mimpi ya, kirain yang ini mimpinya haha." Ucap Andini dengan tersenyum kecut, ia melihat kearah kedua orang tuanya yang terikat dan meraung-raung seakan kelaparan.
"Laper ya ma, pa?" Andini pun segera berdiri dan menggunakan jaket dengan sepatunya. Andini mencoba berjalan kearah dapur untuk mencari makanan, tapi ia tak menemukan apapun kecuali makanan yang telah membusuk membusuk.
"Busuk semua, aneh juga kalau aku berharap di sini." Andini berjalan ke arah pintu keluar rumah, saat ingin keluar rumah ia berhenti di ambang pintu dan menarik nafas panjang menenangkan dirinya. "Andini keluar dulu mau cari makan!" Teriaknya dengan air mata yang mengalir.
Saat Andini membuka pintu ia melihat salah satu tetangganya yang sering membicarakannya telah menjadi zombie, Andini yang tadinya bersedih tiba-tiba tersenyum karena memiliki ide bagus.
"Bu!!" Teriaknya keras hingga beberapa zombie berlari kearahnya, Andini dengan cepat berlari kearah dinding tembok rumahnya dan memanjatnya. "Eaa... Gak kena. Cie jadi zombie, kena azab ya? Mana matanya mau lepas lagi." Ejek Andini, ia terlihat senang dan tersenyum lebar karena berhasil mengejek tetangganya yang menyebalkan itu.
Beberapa menit kemudian Andini telah sampai di supermarket yg terlihat berantakan dan beberapa zombie berada di dalamnya. Andini pun masuk kedalam supermarket dengan berhati-hati dan waspada agar tak di ketahui oleh para zombie yang tertidur.
"Oh,,, mereka kalau tidur berdiri, gila bisa gitu yak." Andini menelan ludah merasa merinding melihat pemandangan di depannya. Ia dengan segera menggapai beberapa bahan makanan dan pergi dari tempat itu.
"Eyow Dini pulang bawa makanan nih..." Teriak Andini saat memasuki rumah, dengan cepat ia menutup pintu saat sadar bahwa semua zombie berlari kearah nya karena teriakan nya.
"Untung aja cepet." Andini segera berjalan kearah tempat orang tuanya yang masih berbaring. Melihat kedua orang tuanya yang masih tergeletak dengan ikatan menjadi satu ia pun memiliki ide untuk meletakkan mereka pada kursi yang biasanya di gunakan. Andini mengambil sebatang kayu kecil dan memberinya tali di dua sisinya untuk di gigit oleh orang tuanya, ia pun meletakkan mereka ke kursi dan mengikatnya bersandingan. "Ea si bapak, suka ini mah bersanding dengan istri cinta." Goda Andini.
Setelah merapikan rumah dan kedua orang tuanya, mereka pun duduk bersama layaknya keluarga yang sedang sarapan. "Papa sama Mama laper gak sih? Kok gak di makan." Andini meraih dua daging itu dan menyodorkan nya ke orang tuanya. "Kok gak mau sih, Dini udah susah ambilnya, kenapa?!!" Teriak Andini, ia terdengar sangat marah tetapi di wajahnya juga terlihat kesedihan yang mendalam.
"Maaf, maaf in Dini. Dini gak bermaksud marah ke mama sama papa." Andini berlutut di hadapan kedua orang tuanya dengan mata yang tak berhenti mengeluarkan air, ia benar-benar kehilangan arah, orang tua yang selalu memberinya semangat dan selalu ada untuknya sekarang telah hilang, yang berada di hadapannya sekarang hanyalah raga yang tak memiliki perasaan dan tak mengenalinya.
"Nanti kalau Dini udah besar, Dini mau jadi polisi!!" Teriak Andini setelah menonton kartun di televisi.
"Jadi polisi?!" Ayah yang mendengarnya pun langsung mengangkat sang putri. "Dengar calon polwan! Polisi harus kuat!" Lanjut Ayah, Andini terkejut dengan ucapan sang ayah dan hanya menatapnya bingung. "Katakan siap calon polwan ayah!!" Lanjutnya dengan semangat dan menurunkan sang putri. Andini yang tersadar pun hormat pada sang ayah dan menegakkan tubuhnya.
"Siap kapten!!" Teriaknya kencang
"Polisi harus menjaga masyarakat!!" Teriak ayah lagi.
"Siap!!"
"Polisi harus jujur!!"
"Siap!!!" Teriakan terakhir Andini sanga bersemangat.
"Siapa yang makan donat papa kemarin?!!" Teriak Ayah
"Aku..." Andini yang tadinya berteriak pun suaranya makin mengecil. "Kabur!!" Lanjutnya lalu berlari, ayah yang sudah tau pelakunya pun langsung mengejar Andini berusaha menangkapnya.
"Sini kamu Dini!!" Teriak ayah, saat berhasil menangkap sang putri ia pun menggelitik Andini. Terukir senyuman di wajah Andini, hingga terlihat beberapa gigi kecilnya.
"Hahaha ampun Pa.." Teriak Andini dengan tawa yang tak henti.
Andini tertawa kecil mengingat kenangan masa lalu yang begitu menyenangkan. Di tengah sepinya rumah dan hanya di temani oleh suara zombie, Dini meneteskan air mata dalam senyumannya. Sakit, tidak bahkan lebih dari sakit, seakan tempat untuknya pulang dari rasa penatnya telah hilang, rumah yang sekarang ia tempati hanya di penuhi oleh luka.
"Ghhh... Krrrhhh..." Erangan yang terdengar seperti ada lendir yang menghalangi tenggorokan keluar dari sang ibu. Andini yang mendengarnya menatap ibu dan tersenyum.
"Nggak ma, Dini gak nangis. Mata Dini cuma kemasukan debu aja." Jawab Andini seakan dapat mengartikan ucapan sang ibu. Tiba-tiba ayah juga mengerang lebih keras. "Apa sih pa. Beneran ini mata dini kemasukan debu." Elaknya menatap kedua orang tuanya. "Masa iya Dini nangis, kan... Dini mau jadi polisi..."
"Udah-udah, ni mama udah buatin donat lagi." Ucap ibu dengan piring yang berisi donat berbagai rasa. Andini dan Ayah saling menatap yang berakhir dengan merebutkan siapa duluan yang mendapatkan donat dengan saus matcha.
"Dini mau matcha!! Papa harus ngalah!!" Teriak Andini berusaha melepaskan pelukan sang ayah. Ayah semakin mengeratkan pelukannya dan satu tangannya berusaha menggapai donat di meja.
"Dimana-mana ngalah sama yang tua Dini." Andini pun semakin memberontak dan mendorong-dorong tubuh ayahnya.
"Nggak mau!! Yang bener tu papa ngalah!!" Teriak Andini tak mau kalah.
"Kan kamu udah makan punya papa kemarin!!" Ayah pun berhasil mendapatkan donat matcha yang hanya ada satu. "Haha, makanya cepet gede. Kecil terus." Ejek ayah, Andini pun menangis dan berjalan ke arah dapur untuk mengadukan ayah ke ibu.
"Ma... Ma?" Andini yang tadinya menangis seketika diam saat melihat banyak donat matcha di meja dapur, ibu pun meletakkan telunjuk pada bibirnya, menyuruh Andini diam.
"Makan di sini aja sama mama, biar gak di ambil papa." Andini segera berlari ke arah meja makan dan duduk di kursi, ia mengambil dua donat matcha dengan semangat dan memakannya bersamaan hingga mulutnya di penuhi oleh matcha. Ibu yang melihatnya tersenyum dan mengelus kepala sang putri. "Pelan-pelan makannya, nanti tersedak loh." Setelah ibu mengatakan itu Andini batuk karena terlalu bersemangat, ibu pun segera mengambilkan minum untuk Andini dengan khawatir. "Apa mama bilang, makanya satu-satu aja." Andini terlihat takut dan menangis, ayah pun datang menghampiri mereka yang berada di dapur.
"Dini kenapa ma?" Tanya ayah mendekati Andini yang duduk dangan air mata dan ingus yang membasahi wajahnya.
"Tersedak ini tadi loh pa." Jawab ibu membawakan tisu dan memberikannya pada sang ayah, ayah menerimanya dan menyeka air mata Andini.
"Hahaha, donat nya gak papa ambil sayang. Makan pelan-pelan aja." Ucap ayah dengan tersenyum dan membersihkan ingus dari hidung putrinya.
"Papa ayo berangkat!! Dini udah telat!!" Teriak dini dari luar rumah, karena itu adalah hari pertamanya masuk kelas satu SD.
"Iya sebentar, Mama katanya mau ikut juga ini." Teriak ayah dari dalam rumah.
"Mama cepat!! Dini nanti kalo telat di hukum!!" Andini pun berlari ke arah motor.
"Jangan deket-deket motor Dini." Ucap ibu yang telah selesai bersiap. Dini pun sedikit menjauh dari motor
"Maaf Mama. Mama mau periksa adek?" Tanya Andini mendekat pada sang Ibu.
"Iya mama mau periksa adek, biar adek nya Dini hebat kayak Dini." Andini mendengar itu pun sangan senang dan semangat, ia mendekati perut sang ibu yang buncit.
"Maap ya, kakak gak bisa anterin adek, kakak harus sekolah biar bisa jadi polisi." Seru dini berbicara pada adiknya yang masih berada di perut ibunya. Ayah yang baru selesai mengunci pintu rumah pun mengelus rambut sang putri dan menggendongnya agar menaiki motor.
Saat mereka di jalan menuju sekolah Andini, tiba-tiba ada motor yang melaju dengan kecepatan tinggi, ibu dan Andini terseret jauh hingga ibu mengalami pendarahan. Ayah yang melihat putri dan istri terjatuh segera berdiri mendekat dan meminta tolong.
Tak lama sebuah ambulan mendatangi mereka. "Tolong istri dan anak saya. Istri saya sedang mengandung." Ucap ayah saat sedang di tangani oleh perawat.
"Tenang pak, anak dan istri anda sudah di tangani." Ucap perawat menenangkan ayah.
Saat berada di rumah sakit, ayah mendapat penanganan karena kakinya yang ternyata patah, Keadaan Andini tak begitu kritis karena ia di peluk oleh sang Ibu, tapi Ibu dan anak di kandungannya sedang berada di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan banyaknya alat rumah sakit yang menempel pada tubuhnya.
Bersambung,,,,,