Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Akan Urus ....
Yunis yang terlena dengan kehidupan barunya, dia sama sekali tak memperdulikan keadaan rumah tangganya.
Apalagi jalan dengan Dokter Aldi, yang gagah, tampan, dan beruang. Seakan naik di awang - awang.
Dokter Aldi yang selalu tersenyum penuh makna, membuatnya terbuai. Tanpa dia peduli makna apa yang tersembunyi di balik senyuman itu.
Kali ini mereka main ke pantai, sebentar lagi singgah di villa, setelah itu main "kuda - kudaan"
Dan semua itu, semakin membuat Yunis tersihir.
Pada suatu waktu, saat mereka sudah menyelesaikan pertandingan tanpa pemenang.
Dokter Aldi membelai pipi Yunis.
"Seandainya kita bisa begini setiap saat, alangkah indahnya hidup ini," rayunya.
"Memang kenapa ndak bisa? Ini sudah beberapa hari, aku bisa temeni kamu," jawab Yunis, sambil membenamkan kepalanya pada pelukan Dokter Aldi.
"Iya, tapi kan tetap saja kamu istri orang, alangkah beruntungnya dia yang jadi suami kamu."
"Hahahaha ... dia beruntung, aku yang buntung," jawab Yunis sambil tergelak.
Mereka diam sesaat. Doter Aldi membelai rambut Yunis dan menciumnya.
"Terus mau kamu apa, Beib. Apa aku harus cerai sama suamiku? Hmmm ... apa kamu sungguh - sungguh bisa terima aku yang seperti ini?" tanya Yunis.
"Kamu sangat berharga buat aku, kalau kamu tak keberataan, apakah bisa selalu bersamaku?"
"Aku pikir dulu ya."
"Kenapa harus dipikir, apakah kamu masih sangat mencintai suamimu? Apa kurangnya aku? Harus bagaimana supaya kamu bisa selalu bersamaku?"
"Hmm ... bukan seperti itu, Beib. Kamu membuat aku seperti menjadi orang yang baru, tapi ...."
Dokter Aldi melepaskan pelukannya, dia duduk di tepi tempat tidur.
"Terserah kamu, semua keputusanmu aku hargai, hanya ... kalau aku tidak mendapat sebuah kepastian, aku ndak bisa jalan lagi sama kamu." katanya tegas.
Membuat Yunis berpikir keras.
Dia memainkan kuku - kuku jarinya.
"Kamu tahu sendiri, seperti apa Ibu mertuamu melihatku kemaren, dikiranya aku ini grandong, ato apa. Aku ndak mau seperti itu."
"Iya ... akan aku urus, Beib." jawabnya tanpa pikir panjang.
Seulas senyum terbentuk di sudut bibir Dokter Aldi.
Mereka pun membersihkan diri, dan melanjutkan perjalanan bersenang - senang hari itu. Kebetulan Dokter Aldi sedang cuti beberapa hari ini.
########
Beda dengan Yunis yang bersenang - senang, Ibu berjalan kesana kemari, berusaha mencari pinjaman untuk membayar sewa rumah.
Jaka yang bekerja pun juga berusaha menanyakan pada Pak Yusup, kalau saja bisa bayarannya di minta di depan. Itu pun juga hanya seperlima dari uang yang harus dibayarkan.
Tapi hari itu, Jaka pulang dengan perasaan kecewa. Pak Yusup tak bisa memberikan pada Jaka.
Dalam perjalanan, Jaka ingat, ada koperasi yang bisa memberikan pinjaman tanpa jaminan, meskipun dengan bunga yang sedikit lebih tinggi dari pinjaman di Bank pada umumnya.
Jaka melangkah kesana, untung saja koperasi masih buka.
"Selamat sore, Mas," sapa Jaka, pada petugas yang ada di situ.
"Selamat sore . Oh ... kebetulan sekali Pak Jaka kesini, rencana besok siang saya mau kesana,"
jawab orang itu yang ternyata sudah kenal dengan Jaka.
"Maaf, ada perlu apa ya, Mas?"
"Ini, cicilan kan sudah lama ndak dibayarkan, kami mau minta pembayaran, sudah ditanyakan sama atasan saya," jelasnya.
"Pinjaman ... pinjaman apa ya, Mas. Saya tidak pinjam setelah lunas waktu itu," jawab Jaka, dengan muka penuh tanda tanya.
Petugas mengambilkan berkas, dan menunjukkan pada Jaka.
"Iya, memang bukan Pak Jaka yang pinjam, tapi Bu Yunis, dia bilang minta tolong, karena Mas kecelakaan," jelasnya panjang lebar.
Jaka memeriksa lembaran kertas itu. Tertera angka 10jt dan sudah dibayarkan sebanyak dua kali saja. Alisnya mengkerut.
"Nah ini kapan kira - kira Pak Jaka mau cicil kembali, sudah terlambat 3 minggu ini?"
Jaka diam sejenak. Berpikir.
"Maaf sebelumnya, Mas. Tapi saya kurang tahu tentang pinjaman ini, coba nanti saya tanyakan sama istri saya ya, besok saya konfirmasi lagi."
Petugas koperasi mengangguk.
"Ok, baik, Pak. Saya tunggu kabarnya ya, tolong jangan lama - lama. Karena resiko saya dipecat kalau sampai tak ada pembayaran. Ini saya usahakan kemaren karena saya tahu Pak Jaka dan Bu Yunis."
"Baik, Mas. Akan saya usahakan secepatnya. Permisi, terima kasih Mas," pamit Jaka.
Jaka keluar dari Koperasi dengan lunglai. Pikirannya kusut. Bukannya dapat uang, malah harus bayar, uang yang tak pernah diterimanya.
Sampai di rumah, rumah kosong, pintu masih terkunci.
"Bu ... Ibu ..., Jaka pulang, Bu. Bu ...." panggil Jaka sambil mengetuk pintu beberapa kali. Tapi tak terdengar sahutan dari dalam.
Jaka berjalan ke belakang, mengintip dari jendela. Ternyata Ibu juga tak ada di dapur.
Jaka kembali ke teras. Duduk di sana. Matanya mengamati jalan yang ramai sore itu.
Tak berselang lama, Ibu datang.
"Owalah ... kamu sudah pulang ya," sapa Ibu pada Jaka
" Iya Bu, Ibu dari mana?"
Ibu yang capek, duduk juga di teras, mengambil nafas. Jaka membuka kunci rumah, dan duduk kembali di kursi reot itu menemani ibu.
Wajah Ibu tampak sedih, bimbang, seakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Ada apa, Bu?"
Ibu masih diam mempertimbangkan.
"Baru saja Ibu dari rumah Bu Mimin, maksud Ibu mau pinjam untuk bayar Cang. Tapi ternyata di sana masih ada pinjaman Yunis, belum dibayar. Bulan kemaren. Malah Ibu diminta bayar, karena Yunis janji hanya sepuluh hari saja," jelas Ibu panjang lebar.
Ibu dan Jaka duduk dengan lemas. Terasa beban di pundak mereka sangat berat.
Jaka menghela napas panjang.
"Iya besok Jaka bayarkan Bu, gajian di Pak Yusup kan seminggu sekali," hibur Jaka.
Ibu mengangguk, berdiri dan berjalan masuk. Sedang Jaka tetap duduk di tempat, menatap jalan.
Setelah Ibu masak, mereka makan berdua, menyuap sendok demi sendok, dengan tanpa suara. Hingga selesai pun, mereka tetap dalam diam, larut dengan pikiran masing - masing.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jaka masih duduk di kursi panjangnya, menanti istrinya pulang. Sedang Ibu sudah masuk ke kamar sedari tadi.
Badan Jaka yang lelah, mengajak mata untuk terpejam. Jaka tertidur. Hingga terdengar suara adzan dari mushola sebelah, Jaka terbangun kaget. Dilihatnya jam, sudah setengah empat kurang.
Dia bangun, dilihatnya ke kamar. Mungkin Yunis pulang ketika dia tertidur. Tapi ternyata, kamar tetap kosong, tak ada Yunis di sana.
Ada segumpal sakit, menyesak di dada. Jaka berjalan ke belakang, ternyata Ibu sudah bangun juga.
Teh hangat buatan Ibu, sedikit memberikan rasa lega di hatinya.
Setelah itu mereka bersama - sama menuju ke mushola.
########
Dua hari sudah sejak hari itu, Yunis tak ada pulang, Ibu dan Jaka tak memdapat uang untuk bayar sewa rumah.
Dari pagi, Ibu tampak lesu. Dia sudah tak tahu lagi, mau kemana mencari uang untuk bayar sewa. Meskipun hanya segitu bagi mereka yang berduit, tapi itu jumlah yang besar bagi Ibu dan Jaka.
Duduk di teras, melihat kendaraan hilir mudik, tiba - tiba sebuah mobil sedan warna metalik berhenti di depan rumah.
Yunis turun dengan membawa beberapa barang.
Rambutnya di model bak artis ibukota. Mengenakan rok mini, dengan blus yang sedikit terbuka.
Ibu hanya melongo melihat penampilan Yunis yang seperi itu.
Berjalan mendekat pada Ibu, berputar seperti seorang peragawati di catwalk.
"Gimana Bu, cantik kan. Ini namanya hidup, Bu. Kalau sama anakmu, aku ndak mungkin bisa seperti ini," katanya sambil melewati Ibu.
Tanpa salam, langsung masuk dalam kamar.
Meletakkan semua barangnya, dan berjalan keluar, mendapatkan Ibu kembali.
"Kemana Jaka, Bu? Ada yang mau aku sampaikan."