NovelToon NovelToon
Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Violetta Queenzya

kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..

berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.

hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 26

     Pagi itu, mansion Axel terlihat lebih sibuk dari biasanya. Persiapan untuk keberangkatan ke Australia sudah hampir selesai.

   Tak lama, Rico muncul dari arah pintu depan, membawa koper kecilnya. Wajahnya terlihat segar setelah membersihkan diri, meskipun bayangan insiden 'Lion' dan peringatan Axel masih membayang.

    Tidak lama kemudian, ia disusul Mark yang juga membawa koper kecilnya, wajahnya menunjukkan sedikit rona merah saat melihat Vanya di ruang keluarga.

   "Pagi, calon bidadariku," sapa Mark, mencoba menggoda Vanya dengan senyum nakal yang jarang ia perlihatkan.

    Mark tidak mau menyia-nyiakan kesempatan setelah interaksi singkat mereka di taman tadi pagi.

    Vanya hanya tersenyum kecil, rona merah tipis menjalar di pipinya. "Pagi juga, Kak Mark," jawabnya, sedikit malu namun ada kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.

    Rico, yang melihat interaksi itu, hanya menggelengkan kepala. Ia kemudian mendekati Maya, yang baru saja selesai menyiapkan sarapan.

   Rico memberikan sebuah bungkusan kecil kepadanya. Itu adalah penyadap yang dipesan Maya tadi pagi, dikemas dalam bentuk gelang yang tampak modis.

    Maya menerima bungkusan itu dengan senyum tipis, mengangguk penuh pengertian. Ia tahu betul apa isi bungkusan itu dan untuk siapa. Maya bergegas pergi ke kamarnya untuk menyimpannya di meja rias.

    Ia punya feeling kuat, bahkan semacam keyakinan, bahwa Letta pasti akan penasaran dan mencari kesempatan untuk masuk ke kamarnya lalu membukanya.

   Ini adalah bagian dari rencana mereka untuk memverifikasi kecurigaan.

    Axel turun dari kamarnya, mengenakan pakaian santai namun tetap terlihat berwibawa, menggandeng Rara yang sudah rapi dan berseri-seri di sampingnya. Mereka berjalan menuju meja makan yang sudah tertata rapi.

Mereka sarapan pagi dengan menu simpel namun lezat yang disiapkan Maya.

      Suasana meja makan relatif tenang, diselingi obrolan ringan antara Rara, Axel, dan si kembar. Rico dan Mark sesekali terlibat, terutama Mark yang masih mencoba melayangkan pandangan ke arah Vanya. Letta duduk di salah satu kursi, ikut sarapan, namun tatapannya sesekali mencuri pandang ke arah Axel, dan raut wajahnya sulit ditebak.

    Setelah menyelesaikan sarapan, mereka bersantai sejenak di ruang keluarga. Axel duduk di sofa tunggal, sementara Rara duduk di sampingnya, bersandar manja.

   Tiba-tiba, suara rico,sekretaris Axel, terdengar "Lapor, Tuan, Perusahaan XX baru saja mengajukan proposal untuk pekerja sama. Mereka ingin bertemu Anda secepatnya setelah kepulangan dari Australia."

Axel mengangguk. "Baik, Nanti aku cek detail proposalnya.

    Sementara ini, tolak dulu semua jadwal pertemuan lain kecuali yang sangat mendesak.

    Aku tidak mau ada gangguan selama di Australia." Suaranya tegas, menunjukkan bahwa pekerjaannya tidak pernah berhenti, bahkan saat liburan.

    Apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah Maya berhasil memasangkan penyadap itu ke Letta? Dan bagaimana dengan rencana liburan ke Australia?

Setelah mendengar laporan dari Rico, Axel mengangguk. Matanya menyipit, memikirkan proposal dari Perusahaan XX. "Selidiki dulu sebelum menerima," perintahnya tegas.

    Ia tidak akan gegabah menerima tawaran tanpa mengetahui latar belakang perusahaan atau motif tersembunyi mereka.

    Axel selalu berhati-hati dalam setiap langkah bisnisnya.

     Tiba-tiba, dering ponsel Rico berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Rico segera mengangkatnya.

   "Halo, Stef," sapa Rico.

   "Tuan, pesawat sudah siap," lapor Steven melalui telepon, suaranya jelas.

"Oke, nanti jam 11 kita jalan," ucap Rico,

    mengkonfirmasi jadwal keberangkatan mereka.

Axel mengangguk puas. Sebentar lagi mereka akan berangkat. Pandangannya beralih ke arah Rara dan Letta yang sedang mengobrol di dekat jendela ruang keluarga.

    Ia tahu Rara harus berbicara dengan Letta tentang kepergian mereka.

    Di pihak perempuan, Rara sedang mengobrol dengan Letta, suaranya lembut namun penuh kehati-hatian.

    Rara tahu ini akan menjadi percakapan yang sulit, mengingat kondisi Letta.

    "Letta, maaf ya," Rara memulai, suaranya sedikit ragu. Ia menghela napas pelan. "Kita hari ini mau ke Australia. Dan maaf sekali lagi, Mas Axel tidak mengizinkan orang asing tinggal di mansion saat pemiliknya tidak ada." Rara menjelaskan dengan hati-hati, takut Letta akan tersinggung atau merasa diusir.

    Ia melihat ekspresi Letta yang langsung berubah muram.

   "Tapi... saya harus ke mana, Kak?" tanya Letta, suaranya kembali bergetar, tatapan matanya menunjukkan kepanikan yang samar. Ia tidak menyangka akan diusir secepat ini.

    Rara dengan cepat menenangkan Letta. "Tidak, tidak diusir, Sayang." Rara mengulurkan tangan, menggenggam tangan Letta dengan hangat. "Ini, ada kunci apartemen yang dibelikan Mas Axel untuk tempat tinggal kamu. Lokasinya nyaman, di pusat kota, dan sudah dilengkapi semua yang kamu butuhkan.

    Jadi kamu bisa tinggal di sana dengan aman selama kami di Australia, bahkan setelah kami kembali."

   Letta menatap kunci di tangan Rara dengan mata membelalak. Apartemen? Dibeli oleh Axel? Sebuah tempat tinggal permanen, bukan hanya penampungan sementara? Perasaan kaget, lega, dan sedikit kekalahan bercampur aduk di benaknya.

    Rencananya untuk mendekati Axel dan mengambil alih kehidupan Rara jadi sedikit terhambat jika ia tidak berada di mansion.

   "Tuan Axel juga sudah menyiapkan uang saku untuk kebutuhan kamu selama di sana," tambah Rara, tersenyum tulus. "Jadi kamu tidak perlu khawatir."

    Letta menerima kunci itu, tangannya masih sedikit gemetar. Sebuah senyum tipis, entah senyum lega atau senyum licik, terukir di bibirnya. Ia melihat Rara dengan tatapan yang sulit diartikan.

    Di satu sisi, ia berterima kasih atas kebaikan ini. Di sisi lain, ia melihat ini sebagai peluang baru.

   Apartemen di pusat kota berarti ia akan memiliki kebebasan lebih besar untuk bergerak dan merencanakan langkah selanjutnya.

Sementara itu, Vanya dan Maya yang berada tidak jauh dari mereka, saling bertukar pandang. Mereka sudah menyaksikan ekspresi terkejut Letta saat mendengar tentang apartemen itu.

   Rencana Maya untuk memasang penyadap di gelang akan semakin mudah jika Letta tinggal terpisah. Mereka tahu Axel tidak akan pernah sepenuhnya percaya pada Letta, dan keberadaan Letta di luar mansion mungkin justru lebih menguntungkan untuk mengawasi gerak-geriknya.

   Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah Letta menerima apartemen itu? Dan bagaimana dengan proses pemasangan penyadap oleh Maya?

     Waktu terus berputar, dan menit-menit menuju keberangkatan terasa semakin singkat.

    Axel yang baru saja selesai berbicara dengan rico dan mark, kembali ke ruang keluarga.

     Ia melihat jam di pergelangan tangannya, lalu menatap Rara yang masih asyik mengobrol dengan Letta.

    "Sayang, sejam lagi kita berangkat," perintah Axel, suaranya tenang namun jelas. "Lebih baik kalian bersiap-siap." Ia kemudian mengeluarkan ponselnya lagi, menekan nomor Tomy.

     "Tom, ke mansion sekarang," perintah Axel singkat dan padat. Ia ingin memastikan semuanya berjalan lancar sebelum keberangkatan mereka.

    "Baik, Tuan," suara Tomy terdengar sigap dari seberang telepon.

    Tak lama kemudian, sebuah mobil melesat di jalanan, Tomy meluncur menuju mansion dengan kecepatan penuh, siap menjalankan tugasnya.

    Di dalam mansion, Maya dan Letta berjalan menuju kamar Maya. Letta menatap ke sekeliling, otaknya sudah mulai bekerja keras merencanakan langkah selanjutnya di apartemen baru itu.

     Rara berjalan ke kamarnya sendiri, dengan senyum di bibir, membayangkan liburan romantis bersama Axel.

    Sementara itu, si kembar, Vany dan Vanya, juga masuk ke kamar mereka, namun dengan pikiran yang berbeda. Mereka sudah bertukar pandang penuh makna, mengingat pesan singkat dari Vanya tentang Letta.

    Maya memasuki kamarnya, segera bergegas menuju kamar mandi. Ia membiarkan pintu kamarnya sedikit terbuka, sebuah jebakan halus yang telah ia persiapkan.

     Letta, yang ditinggalkan sendirian di kamar Maya, matanya tidak bisa lepas dari meja rias.

     Di sana, sebuah kotak beludru berwarna biru tua tergeletak, menarik perhatiannya. Rasa penasaran menguasai Letta.

    Dengan langkah pelan dan hati-hati, Letta mendekati meja rias. Jemarinya yang ramping menyentuh kotak itu. Tanpa berpikir panjang, ia membukanya. Detik itu juga, matanya membelalak.

    Di dalam kotak beludru itu, tergeletak sebuah gelang yang sangat cantik, berkilauan di bawah cahaya, dengan detail yang rumit dan elegan.

    Gelang itu tampak mahal, jauh lebih indah dari perhiasan apa pun yang pernah ia miliki.

    "Terbuktikan feeling-ku," monolog Maya dalam hati dari dalam kamar mandi, menahan napas. Ia mendengar suara kotak terbuka, tahu bahwa Letta telah mengambil umpannya.

    Maya tersenyum tipis, sebuah senyum penuh arti. Kecurigaannya tidak meleset, dan rencana mereka berjalan sempurna.

    Maya kemudian keluar dari kamar mandi, seolah tidak tahu apa-apa. Ia melihat Letta masih terpaku pada gelang di tangannya, matanya memancarkan kekaguman yang nyaris serakah.

    "Kamu suka gelangnya, Ta?" tanya Maya, suaranya lembut, namun matanya mengamati reaksi Letta dengan seksama.

    Letta terlonjak kaget, buru-buru menyembunyikan gelang itu di belakang punggungnya. Namun, ia segera mengangguk, rona merah tipis menjalari pipinya. "I-iya, Kak Maya. Cantik sekali."

     Maya tersenyum hangat, pura-pura tidak menyadari kecanggungan Letta. "Kalau kamu suka, buat kamu. Pakai ya," kata Maya dengan nada tulus, mendekati Letta. "Sebagai tanda pertemanan kita. Anggap saja hadiah selamat datang."

     Letta tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Matanya berbinar, dan ia segera mengulurkan tangannya. Maya mengambil gelang itu dan memakaikannya ke tangan Letta dengan hati-hati.

    Saat gelang itu melingkar di pergelangan tangan Letta, sebuah chip kecil di dalamnya mulai bekerja, mengirimkan sinyal rahasia yang tidak diketahui Letta.

   "Cocok di tangan kamu, Letta," puji Maya, dengan senyum meyakinkan.

Letta, yang merasa sangat senang dan terharu dengan kebaikan Maya, langsung memeluk Maya erat.

    "Terima kasih banyak, Kak Maya!" Suaranya tulus, terharu akan kebaikan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, di balik rasa terima kasih itu, masih ada percikan ambisi yang tersembunyi.

   "Sama-sama," balas Maya, menepuk punggung Letta. "Sudah diberesi bajunya, Letta? Kita harus segera turun." Maya mengingatkan Letta untuk bersiap, sambil dalam hati ia merasa satu langkah lebih maju dalam mengamankan Rara dan Axel.

   Dengan gelang penyadap yang kini terpasang di tangan Letta, bagaimana informasi yang terkumpul akan memengaruhi plot selanjutnya? Apakah Letta akan segera menyadari pengawasan ini?

Deru mesin mobil yang mendekat dan suara klakson yang familiar memecah keheningan siang di mansion. Tomy baru saja tiba. Gerbang tinggi menjulang yang menjadi simbol kemewahan dan keamanan mansion terbuka secara perlahan, menyambut kedatangannya. Dengan sigap, Tomy memarkir mobilnya di dekat pintu utama.

Begitu ia turun, ia berpapasan langsung dengan Axel yang sudah menunggunya di teras. Axel tidak perlu berteriak, hanya tatapan matanya saja sudah cukup untuk menyampaikan pesan.

"Siang, Tuan," sapa Tomy dengan hormat, berdiri tegap di hadapan Axel. Ia tahu betul bagaimana harus bersikap di depan atasannya ini.

"Siang," jawab Axel, singkat dan padat, tanpa basa-basi. "Ikut aku ke kandang Lion."

    "Siap, Tuan!" Tomy segera mengikuti langkah Axel, yang berjalan dengan tenang menuju area khusus di bagian belakang mansion tempat 'Lion' dan 'Tiger' berada. Ia sedikit heran, mengapa Axel ingin menemuinya di sana.

    Mereka berdua duduk di kursi yang ditempatkan di depan 'kandang' Lion, sebuah taman mewah yang dirancang khusus untuk binatang kesayangan Axel.

    Axel menoleh ke arah Tomy, tatapannya tajam dan serius. "Tom, saya tugaskan kamu mengawasi Letta." Suara Axel rendah, namun setiap kata mengandung bobot. "Saya ingin laporan lengkap tentang setiap gerak-geriknya selama kami tidak ada."

    Tomy mengangguk serius. Ia mengerti bahwa tugas ini sangat penting. Jika Axel yang langsung memberikan perintah, berarti ada sesuatu yang tidak beres dengan Letta.

     Tomy adalah salah satu orang kepercayaan Axel yang paling loyal dan kompeten, ia selalu melaksanakan perintah tanpa banyak pertanyaan.

     "Dan pastikan," lanjut Axel, tatapannya beralih ke Lion yang terparkir gagah,

    "Jangan telat ngasih makan Lion. Dia butuh perawatan rutin, terutama saat saya tidak ada.

    Kamu tahu betul bagaimana sensitifnya dia." Axel memberikan instruksi tentang 'Lion' sebagai kamuflase atau mungkin sebagai pengingat akan pentingnya detail, meskipun prioritas utamanya adalah pengawasan Letta. Ada senyum tipis di bibirnya, mengingat insiden Mark yang pingsan.

    "Siap, Tuan!" jawab Tomy penuh semangat. Ia tahu maksud Axel. Pengawasan Letta akan menjadi prioritas utamanya, sementara perawatan 'Lion' adalah tugas rutin yang tak boleh diabaikan. Ia sudah memiliki ide bagaimana ia akan memulai pengawasan itu.

Apakah Tomy akan segera memulai pengawasannya terhadap Letta? Dan bagaimana ia akan melakukannya tanpa membuat Letta curiga?

    Setelah menginstruksikan Tomy, Axel kembali ke dalam mansion. Ia melihat Rara yang tampak bersemangat, melintas di depan pandangannya.

   Axel langsung menyuruh salah satu maid yang sedang lewat.

"Bi," panggil Axel. "Tolong panggilin Letta di kamar Maya ya, suruh turun bawa serta barangnya.

   " Bilang yang mau nganterin ke apartemennya sudah datang." Nada suara Axel datar, namun mengandung perintah mutlak.

    Ia ingin memastikan Letta segera pergi, sebelum mereka berangkat.

   "Baik, Tuan," jawab maid itu patuh, segera bergegas menuju kamar Maya. Ia mengetuk pintu perlahan.

    "Nak Maya, Tuan Axel menyuruh Nak Letta turun bawa barangnya sekalian. Yang mau nganterin ke apartemennya sudah datang," lapor sang maid dengan sopan.

    "Iya, Bi, makasih," ucap Maya, melirik Letta yang duduk di sampingnya, raut wajahnya sulit diartikan.

    Maya kemudian mengantar Letta ke depan pintu utama. Di sana, Tomy sudah menunggu, berdiri tegap di samping mobil hitamnya. Letta membawa tas ransel kecilnya, ekspresinya terlihat campur aduk antara rasa terpaksa, sedikit lega, dan ambisi yang tersembunyi.

    "Kak Tomy yang disuruh nganterin Letta?" tanya Maya, memastikan.

   "Iya, May. Yuk, langsung jalan. Pergi dulu ya, May," ucap Tomy, mengangguk singkat. Ia sudah menerima perintah dari Axel, dan ia tahu tugas pengawasan Letta sudah dimulai.

    Letta melirik Maya, ingin mengucapkan sesuatu, tetapi bibirnya kelu. Tanpa pelukan, tanpa sepatah kata pun tidak keluar dari mulut Letta. Ia hanya mengangguk kecil, kemudian masuk ke dalam mobil Tomy yang segera melesat pergi,meninggalkan mansion Axel.

     Tiba-tiba, Rico datang dari belakang, mengagetkan Maya yang masih berdiri di teras.

    "Sayang, lagi apa?" tanyanya, dengan senyum usil.

    Maya sedikit terlonjak. "Ih, Kak Rico, ngagetin aja!" Maya mengelus dadanya. "Baru habis nganterin Letta menemui Kak Tomy."

    "Yuk, masuk, bentar lagi kita mau berangkat," ajak Rico, menggandeng tangan Maya untuk masuk ke dalam mansion.

     Di ruang tamu, Mark sudah duduk di sofa, mengobrol dengan Vanya yang duduk berdekatan. Ada senyum tipis di bibir Mark, dan Vanya terlihat sedikit malu-malu. Kebersamaan mereka tampaknya mulai tumbuh.

    Rico melihat pemandangan itu, dan sifat usilnya kembali muncul. Ia melemparkan pulpen ke arah Mark, mengenai kepala Mark dengan bunyi "CETAK...!" yang lumayan keras.

    Mark langsung mengaduh, mengusap kepalanya, menatap Rico dengan kesal. "Apaan sih, Co?!"

    "Mulai deh," ucap Vany memutar bola matanya, sudah terbiasa dengan tingkah laku Rico dan Mark yang selalu bertengkar.

   Axel, yang sudah rapi dan siap berangkat, menyuruh beberapa pengawalnya untuk mengambil koper di depan kamarnya.

    "Kalian juga siap-siap," perintahnya kepada Rico, Mark, Maya, Vany, dan Vanya.

   "Kak May, Letta mana kok enggak kelihatan?" tanya Rara, baru menyadari bahwa Letta tidak ada di antara mereka. Ia celingak-celinguk mencari.

   "Baru saja dijemput Kak Tomy, mau dianterin ke apartemennya," jawab Maya, menjelaskan.

    Axel menoleh ke arah mereka. "Vany, Vanya, Mark, Rico, Maya, satu mobil," ucap Axel, membagi formasi perjalanan mereka.

"Siap, Tuan!" jawab mereka serempak.

   "Yuk, Sayang, kita berangkat," Ajak Axel sembari menggandeng tangan Rara, melangkah keluar mansion.

   Mobil yang membawa Axel dan Rara, diikuti oleh mobil yang membawa Vany, Vanya, Mark, Rico, dan Maya, melaju membelah jalanan.

    Namun, perjalanan mereka tidak mulus. Di tengah perjalanan, tiba-tiba mereka dihadang oleh empat buah mobil hitam yang muncul entah dari mana, memotong laju kendaraan mereka.

   "Shiiit, siapa lagi mereka?" monolog Axel, rahangnya mengeras. Firasat buruk langsung menyelimutinya.

   "Maz, Rara takut," bisik Rara, menggenggam tangan Axel erat, wajahnya sedikit pucat.

    "Hmm, tenang ya, Sayang," ucap Axel menenangkan Rara, meskipun ia tahu ini adalah situasi serius. "Mereka pasti bisa melawannya." Ia menunjuk ke arah mobil belakang yang membawa rico dan yg lain.

    Pertarungan pun tak terelakkan. Pihak Axel hanya berjumlah lima orang: Rico, Mark, dan tiga wanita yang mengawal mobil Axel. Sementara pihak musuh jauh lebih banyak, sekitar lima belas orang.

    Meskipun kalah jumlah, para kepercayaan Axel adalah yang terbaik. Axel hanya mengamati saja dari dalam mobil, ia percaya penuh pada kemampuan anak buahnya.

    Suara tembakan, pukulan, dan teriakan memenuhi udara. Duel sengit terjadi.antara mereka.

menunjukkan pelatihan superior mereka. Mereka bergerak cepat, terkoordinasi, dan tanpa ampun. Dalam waktu singkat, pihak musuh tumbang satu per satu.

    Beberapa terkapar tak sadarkan diri, sementara yang lain melarikan diri dengan luka-luka.

Setelah memastikan semua musuh berhasil dilumpuhkan atau melarikan diri, Axel segera menelpon Tomy. "Bawa para pengganggu itu ke markas. Urus mereka," perintahnya singkat.

   Akhirnya, mereka sampai ke bandara. Rara turun dari mobil, napasnya masih sedikit terengah-engah karena ketegangan tadi, langsung berlari menemui Maya dan si kembar.

   "Kalian tidak terluka, kan...?" tanya Rara, khawatir, memeriksa satu per satu.

   "Enggak usah khawatir, Ra, kita kan jago," ucap sombong Vany, dengan senyum bangga di wajahnya, menunjukkan bahwa ia dan Vanya tidak hanya cantik tapi juga mematikan.

    Mereka pun memasuki pesawat pribadi milik Axel yang sudah menunggu di landasan. Pesawat itu mewah dan nyaman, jauh berbeda dari penerbangan komersial.

    Mereka duduk berpasangan, siap untuk lepas landas.

    Axel duduk di samping Rara, mengelus perut istrinya dengan lembut. "Semoga sepulang dari Australia sudah ada Axel Junior, ya, Sayang," bisiknya, penuh harapan dan cinta.

     Rara tersenyum malu-malu, menatap Axel dengan mata berbinar. "Semoga saja ya, Maz," jawabnya, mengamini harapan suaminya.

       Pesawat yang membawa mereka perlahan meninggalkan landasan, melaju di udara, menuju benua Australia, membawa serta harapan, ketegangan yang belum usai, dan rencana-rencana yang masih tersembunyi.

1
LISA
Ssipp banget Tomy udh tau kelicikannya Letta..
LISA
Kabar yg menggembirakan nih..sehat selalu y buat Rara & babynya
partini
happy kalau hamil,tapi kawatir karena ada uler yg siap mematuk benar benar bangke si letta
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
LISA
Ya bener Kak..Letta ini sepertinya udh terlatih..penasaran nih siapa y yg ada di belakang misinya ini.
partini
wah ni letta bukan sembarang orang ,dia sangat pintar plz kalau kalian kecolongan semua bwehhh ga lucu deh
partini
lanjut penasaran apa yg akan mereka lakukan selanjutnya setelah tau rencana. busuk leta
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu
LISA
Moga liburan ini menyenangkan utk Rara & Axel tanpa gangguan..
partini
👍👍👍👍 dah laa baca cerita mafia ini beda sedia payung sebelum hujan biasanya basah dulu baru cari payung keren 👍
mampir say~ AGREEMENT: hallo kak, boleh mampir bentar enggak ke karya aku yang judulnya AGREEMENT, tolong bantu dukung yahh, aku Author yg baru balik setelah Hiatus agak lama, entah ceritaku style kakak atau bukan, sku akan sangat berterimakasih jika kakak ingin mampir dan meninggalkan jejak, terimakasih!!!
total 1 replies
LISA
Untung aj 2 pengawal dan Maya mempunyai insting yg tajam..
partini
aihhh kenapa peran wanita semua bego yah gampang di tipu,, pelihara ular berbisa tapi ga tau 🤦🤦🤦 untung yg lain smart coba kalau stupid semua
LISA
Ceritanya bagus & menarik
LISA
Ya moga aj Axel bisa memahami kondisinya Letta dan mengijinkan tinggal di mansionnya.
Zainuri Zaira
aneh sikit ceritX emng orng ngk ad jantung bisa hidup kh😄😁
LISA
Wah ke 3 sahabat Axel akhirnya bertemu dgn jodohnya nih 😊 sehat terus y buat Rara..bahagia selalu bersama Axel.
LISA
Puji Tuhan..Rara udh sadar dari komanya..pulihkan keadaan Rara ya Tuhan..
LISA
Sedih sekali baca cerita ini..pengorbanan Rara utk Axel..ya Tuhan berikan donor juga utk Rara agar mereka dpt hidup bahagia
LISA
Dua musibah sekaligus..moga Axel bisa selamat dgn donor jantungnya Oma..
LISA
Bahagia selalu y buat Rara & Axel
LISA
Syukurlah Rara selamat..moga Maya jg cpt sadar dr komanya..
LISA
Ya Tuhan selamatkan Rara..cepat Axel tolong Rara..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!