Zahira Maswah, siswi SMA sederhana dari kampung kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota, hidupnya berubah total saat ia harus menikah secara diam-diam dengan Zayn Rayyan — pria kota yang dingin, angkuh, anak orang kaya raya, dan terkenal bad boy di sekolahnya. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan karena keadaan yang memaksa.
Zahira dan Zayn harus merahasiakan pernikahan itu, sampai saatnya tiba Zayn akan menceraikan Zahira.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9_Kemarahan Keluarga Rayyan
Mansion keluarga Rayyan berdiri megah di atas tanah seluas satu hektar, terletak di kawasan paling elit di kota itu. Pagar besi hitam setinggi dua meter membentang kokoh mengelilingi rumah. Begitu melewati gerbang utama, tamu akan disambut jalan berlapis marmer dan taman yang tertata sempurna dengan air mancur bergaya Eropa di tengahnya.
Bangunan utamanya memiliki tiga lantai, dilapisi cat putih mutiara dengan sentuhan emas di setiap detail ukiran. Pilar-pilar besar menopang balkon, sementara lampu gantung kristal menghiasi langit-langit tinggi ruang tamu. Lukisan-lukisan mahal terpajang di sepanjang lorong, dan setiap sudut rumah dijaga oleh kamera pengawas dan satpam pribadi.
Di ruang tamu yang luas dan elegan, Klarissa Rayyan duduk anggun di atas sofa berbahan beludru biru laut. Wajah cantiknya menegang, bibir merah merona terkatup rapat. Ia memandangi jam antik di dinding, lalu menoleh tajam ke arah pintu utama yang baru saja terbuka.
Suara pintu kayu jati berderit pelan saat seorang remaja lelaki masuk, rambutnya berantakan dan wajahnya lelah. Sepatu sneakersnya kotor, jaket hoodie-nya kusut. Tapi di balik penampilan lusuh itu, ada aura khas anak orang kaya yang susah diatur.
“Zayn!” panggil Klarissa dengan suara dingin dan tajam.
Zayn Rayyan, putra tunggal keluarga itu, berhenti sejenak. Ia menoleh perlahan ke arah ibunya yang memeluk majalah fashion di pangkuan. Tanpa menjawab, ia melangkah malas melewati ruang tamu, berniat naik ke lantai dua.
“Zayn Rayyan!” seru Klarissa, kali ini lebih keras.
Zayn menghela napas panjang. “Iya, Mama?” gumamnya malas. Ia berbalik dan berjalan lunglai, menjatuhkan dirinya di sofa seberang ibunya.
Klarissa meletakkan majalahnya di atas meja kaca dengan kasar. “Ke mana saja kamu selama tiga hari ini?”
Zayn menyandarkan tubuh, lalu melipat tangan di dada. “Kenapa, Mama kangen?”
“Jangan main-main, Zayn,” suara Klarissa meninggi. “Kamu hilang tanpa kabar, ponselmu mati. Satpam kita bingung, sopirmu nggak tahu kamu ke mana. Bahkan sekolah menelepon karena kamu tidak masuk!”
Sebelum Zayn bisa menjawab, suara berat terdengar dari belakang.
“Ada masalah apa di sini?” tanya Dewantoro Rayyan, sang kepala keluarga.
Dengan jas abu-abu gelap dan sepatu mengilap, ia masuk ke ruang tamu dengan aura wibawa. Tatapannya langsung tertuju pada Zayn.
“Zayn baru pulang, Papa,” ujar Klarissa.
Dewantoro menatap Zayn dengan dingin, “kamu pikir kamu siapa? Bisa pergi seenaknya, hilang tanpa kabar, lalu kembali seolah tidak terjadi apa-apa?”
Zayn menatap papanya dengan malas. “Aku cuma butuh waktu sendiri, Papa.”
“Waktu sendiri?” Dewantoro tertawa sinis. “Kalau kamu orang biasa, itu mungkin wajar. Tapi kamu anak keluarga Rayyan, Zayn. Setiap gerak-gerikmu bisa jadi bahan gosip media. Satu langkahmu yang salah bisa mencoreng nama keluarga kita.”
“Mama dan Papa terlalu berlebihan. Untuk apa kita terlalu memikirkan apa yang dikatakan oleh orang luar, mereka tidak ada hubungannya dengan kita,” gumam Zayn.
“Zayn!” Klarissa bangkit berdiri. “Kamu tahu berapa banyak media gosip yang sudah mengendus ketidakhadiran mu? Mereka bahkan mulai membuat spekulasi kalau kamu kabur dari rumah atau mengalami overdosis!”
“Aku cuma… menginap di vila teman di luar kota. Lagi nggak pengen diganggu siapa-siapa,” jawab Zayn santai.
“Teman yang mana?_ suara Dewantoro meninggi. “Kamu pikir hidup ini hanya tentang keinginanmu saja? Kamu tidak bisa berteman dengan sembarangan orang, kamu lupa, kamu adalah calon pewaris tunggal keluarga Rayyan.”
Zayn diam. Ia menggigit bibir bawahnya.
"Dan mengenai balapan liar itu, kamu kira papa tidak tahu akan hal itu? Dan sebenarnya kamu tidak pulang beberapa hari ini, karena kamu lari kan dari kejaran polisi?" wajah Dewantoro merah padam.
"Untungnya, tidak ada wartawan di sana, dan untungnya polisi juga bersedia untuk merahasiakanmu," ujar Dewantoro lagi.
Dewantoro melangkah maju. “Zayn, usiamu baru 16 tahun, kamu baru kelas 2 SMA. Tugasmu sekarang bukan berkeliaran di jalanan, tapi menyiapkan diri. Kami sedang membangun kerajaan bisnis, dan kamu akan mengambil alih semua itu suatu hari nanti. Tapi kalau kamu masih terus seperti ini, kamu tidak akan pernah bisa dipercaya!”
“Mungkin aku nggak minta semua ini, Pa,” Zayn membalas pelan, matanya menatap lantai.
Klarissa ikut duduk kembali, nadanya lebih lembut, meski tetap tegas. “Zayn, Mama tahu kamu masih muda. Mungkin kamu merasa terkekang. Tapi keluarga kita bukan keluarga biasa. Kita tidak bisa sembarangan. Nama Rayyan terlalu besar untuk dijatuhkan oleh kebodohan seorang anak remaja.”
Zayn menatap ibunya, lalu papanya. Ada bayangan kecewa di mata mereka yang membuat dadanya sesak.
“Jadi sekarang, kamu harus mulai berubah,” lanjut Dewantoro. “Mulai besok, kamu akan kembali ke sekolah. Kamu akan ikut kelas tambahan. Dan setiap malam, kamu wajib pulang ke rumah tepat waktu. Satpam akan melaporkan semua kegiatanmu pada Papa. Dan yang paling penting, tidak ada balapan liar lagi, motormu akan papa sita, kamu hanya bisa bepergian dengan menggunakan mobil saja," ujar Dewantoro.
Zayn, menatap papanya dengan tajam, tapi ia tidak dapat membantah. Ia kenal sekali papanya ini, ia bukanlah tipe orang yang bisa dibantah ucapannya.
Zayn berdiri, ekspresinya datar, “oke. Terserah Papa dan Mama aja.”
Kemudian Ia berbalik, meninggalkan ruang tamu.
Klarissa memandang suaminya, “menurutmu, dia akan berubah?”
Dewantoro menghela napas berat. “Dia anak kita. Dan dia harus berubah, atau semua ini akan hancur. Kita tidak akan membiarkan nama Rayyan tercoreng, apa pun yang terjadi.”
Sementara itu, di kamar lantai dua, Zayn membuka tirai jendela dan menatap keluar. Di kejauhan, lampu kota berkelap-kelip. Ia menggenggam ponselnya yang sengaja ia matikan dan tinggalkan di rumah. Ia punya banyak ponsel, dan hanya ponsel ini yang ia gunakan untuk urusan keluarga. Dan ia jarang menggunakannya.
Ia meletakkan ponselnya sembarangan di atas nakas, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ranjang itu empuk, selimutnya hangat, dan kamar itu begitu mewah—tapi semua itu terasa dingin dan hampa. Ia membenci hidupnya.
Ia muak dengan kemewahan, muak dengan pujian dan sorotan yang selalu mengikutinya ke mana pun ia pergi. Hidupnya terlihat sempurna di mata orang lain, namun sesungguhnya ia terpenjara. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas—indah dilihat, tapi tak punya kebebasan.
Ia ingin seperti remaja lain, bebas tertawa, bebas memilih jalan hidupnya sendiri. Ia hanya menyukai balapan, tapi hobinya itu dilarang keras oleh kedua orang tuanya. Ia tak bisa bertingkah sembarangan, tak bisa mengambil keputusan, semuanya sudah ditentukan.
Hari-harinya dipenuhi jadwal yang membosankan dan perintah yang harus ditaati. Ia lelah. Ia merasa tak punya kendali atas dirinya sendiri. Ia ingin bebas. Ia ingin menentukan arah hidupnya sendiri.
lanjut Thor mau lihat seberapa hebat Zahira bisa melalui ini semua
dan cerita cinta di sekolah ini pastinya yg di tunggu ,,rasa iri, cemburu dll
apa sekejam itu Thor di sana ?
selipin cowok yg cakep Pari purna yg tertarik ma Zahira mau tau reaksi suami nya,,kalau ada seseorang yg suka pasti membara bak 🔥
ayah zayn atau ayah ardi?.
kalo ayah zayn..
apakah ingin zahira twrsiksa dan dibully di sekokah zayn?
apa gak kauatir klao terbongkar pernikahan mereka?
❤❤❤❤❤❤
atau carikan sekolah lain.
❤❤❤❤❤
use your brain