NovelToon NovelToon
Arjuna : A Divine Power, A Fallen Hero

Arjuna : A Divine Power, A Fallen Hero

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Misteri / Penyelamat
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.

Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.

Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa Sakit Hati dan Rencana Pembalasan

Di tengah malam di Gunung Meru, Dewa Nakula berdiri di balkon istananya, memandang ke langit dunia manusia. Tatapan matanya tajam, bibirnya menyunggingkan senyum samar yang sulit diartikan.

"Arjuna... saudaraku yang paling dikasihi ayah," gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan yang hanya didengar oleh angin. "Sejak dulu, semua mata tertuju padamu. Semua harapan ayah ada padamu. Tapi lihatlah sekarang... kau dilemparkan ke dunia manusia seperti sampah."

Tangannya mengepal kuat, angin malam berhembus liar di sekelilingnya. Nakula selalu berada di bayang-bayang Arjuna. Meskipun dirinya adalah dewa angin yang memiliki kecepatan dan kelincahan luar biasa, ia merasa tidak pernah dianggap setara.

"Aku bisa lebih baik darimu, Arjuna," desisnya. "Dan aku akan membuktikannya."

Nakula menutup matanya sejenak, merasakan arus angin yang berputar di sekelilingnya. Ia bisa dengan mudah turun ke dunia manusia, mencari Arjuna, dan… mengakhiri segalanya.

"Kalau kau mati di dunia manusia, maka kau akan dilupakan selamanya. Tidak ada yang akan merindukanmu. Tidak ada yang akan mengangkatmu kembali ke Gunung Meru."

Senyum licik terukir di wajahnya. Ia tidak perlu terburu-buru. Arjuna sekarang tidak memiliki kekuatan apa pun. Ia hanya manusia biasa yang mungkin bahkan tidak bisa bertahan lama.

"Aku akan membuat perjalananmu di dunia manusia menjadi lebih sulit, saudaraku," bisiknya. "Dan saat kau jatuh dalam keputusasaan… aku akan datang untuk mengakhiri penderitaanmu."

Nakula berdiri di tepi balkon, tatapannya menerawang ke langit malam yang dipenuhi bintang. Dalam heningnya, ingatan masa lalu kembali menyeruak—saat-saat di mana Arjuna meremehkannya dengan kesombongan dan keangkuhan yang selalu menjadi ciri khasnya.

Kenangan di Masa Lalu

Di halaman utama Istana Gunung Meru, para dewa muda tengah berlatih bertarung. Suara dentingan senjata dan hembusan angin sakti memenuhi udara. Di tengah arena, Arjuna berdiri tegak dengan senyum percaya diri, pedangnya berkilat diterangi cahaya langit.

Nakula berdiri di hadapannya, napasnya memburu setelah menghindari beberapa serangan cepat Arjuna. Ia mencoba menyesuaikan ritme pertarungan, mencari celah untuk menyerang balik.

"Kau lambat, Nakula," ejek Arjuna dengan nada meremehkan. "Bagaimana kau bisa menyebut dirimu Dewa Angin jika kau bahkan tidak bisa menyentuhku?"

Nakula menggeram, mencoba menahan emosinya. Dengan satu hentakan kaki, ia melesat cepat, tubuhnya seperti angin kencang yang berputar mengelilingi Arjuna. Ia yakin bisa mengelabui kakaknya kali ini.

Namun, dengan satu gerakan ringan namun penuh presisi, Arjuna mengayunkan pedangnya. Udara bergetar, dan dalam sekejap Nakula terlempar ke belakang, tubuhnya membentur tanah dengan keras.

Sorakan terdengar dari para dewa lain yang menonton. Arjuna mengibaskan rambutnya dengan sombong, lalu menatap Nakula yang masih berusaha bangkit.

"Kau terlalu gegabah," kata Arjuna dengan tawa kecil. "Kecepatanmu tidak ada artinya jika kau tidak tahu cara menggunakannya dengan baik."

Nakula mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit lebih pada harga dirinya yang terluka daripada tubuhnya yang memar.

"Aku hanya butuh kesempatan," bisiknya.

Arjuna tertawa lebih keras kali ini. "Kesempatan? Bahkan jika aku memberimu seribu tahun, kau tetap tidak akan bisa mengalahkanku!"

Nakula menatap kakaknya dengan penuh kebencian yang mulai membara di dadanya. Saat itu, ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa menahan rasa frustrasi yang membakar.

Kembali ke Masa Kini

Di atas balkon, Nakula membuka matanya, kembali ke realitas. Tangannya mengepal erat, kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya sendiri.

"Sekarang, Arjuna," bisiknya penuh dendam. "Kau yang berada di bawah. Kau yang lemah. Dan aku... aku akan memastikan kau tidak pernah bisa bangkit kembali."

Angin berdesir kencang di sekelilingnya, seakan merespon emosi yang membuncah dalam dirinya. Nakula sudah membuat keputusan—ia akan turun ke dunia manusia dan memastikan Arjuna merasakan kehancuran yang pernah ia rasakan dulu.

Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah jendela kecil ruangan itu, menerangi debu-debu yang melayang di udara. Arjuna mengerjapkan matanya, kesadarannya perlahan kembali setelah tidur yang panjang.

Ia merasakan sesuatu yang asing—tidur tanpa kasur emas, tanpa pelayan yang siap memenuhi kebutuhannya, tanpa kemewahan yang biasa ia nikmati di Gunung Meru. Yang ada hanyalah sebuah kasur tipis, udara pengap, dan suara kendaraan dari luar yang menggema.

Arjuna menghela napas panjang, duduk di atas ranjang sambil memijat pelipisnya. Tubuhnya masih terasa berat. Ketiadaan kekuatannya membuatnya seperti manusia biasa—lemah, rapuh, dan tanpa daya.

Tiba-tiba, pintu terbuka. Bara masuk dengan membawa dua bungkus nasi dan dua botol air mineral. Di belakangnya, Kirana menyusul dengan rambut yang masih sedikit berantakan.

"Akhirnya bangun juga, Dewa," kata Bara dengan nada sarkasme, melemparkan sebungkus nasi ke arah Arjuna yang dengan mudah ditangkapnya.

Arjuna menatapnya dengan kesal. "Beraninya kau melempar sesuatu ke arahku, manusia rendahan?"

Bara hanya terkekeh, sementara Kirana duduk di kursi dekat meja kecil di sudut ruangan.

"Kalau kau benar seorang dewa, mungkin sekarang kau sudah membakarku dengan petir atau mengangkatku dengan kekuatanmu, bukan?" Bara menyeringai.

Arjuna mengepalkan tangan, namun ia tahu Bara benar. Ia hanya bisa menatap bungkus nasi di tangannya dengan kesal.

"Makanlah," kata Kirana, berusaha meredakan ketegangan. "Kau butuh energi kalau mau bertahan di dunia ini."

Arjuna mendengus, tetapi perutnya berbunyi sebelum ia sempat membalas. Dengan enggan, ia membuka bungkus nasi itu dan mulai makan.

Bara menyandarkan tubuhnya ke tembok, mengamati Arjuna yang makan dengan lahap. "Jadi, apa rencanamu sekarang? Mau duduk di sini selamanya sampai kekuatan dewa-mu kembali?"

Arjuna menelan makanannya, menatap mereka berdua dengan mata tajam. "Aku harus kembali ke Gunung Meru. Aku harus membuktikan pada Ayahku bahwa aku layak."

Kirana menatapnya dengan ragu. "Dan bagaimana caranya? Kau bahkan tidak tahu di mana Gunung Meru berada di dunia manusia ini."

Arjuna terdiam. Itu benar. Ia tidak memiliki petunjuk sama sekali tentang bagaimana cara kembali.

Bara menatapnya dengan serius kali ini. "Dengar, Arjuna. Kau mungkin berasal dari tempat lain, tapi sekarang kau ada di sini. Dan di sini, dunia tidak berjalan sesuai keinginanmu. Kalau kau mau bertahan, kau harus belajar hidup seperti manusia biasa."

Arjuna mengepalkan tangannya dengan kuat. Kehidupan manusia biasa? Itu adalah sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Namun, saat ini, ia tidak punya pilihan lain.

Kirana tersenyum tipis. "Mungkin kita bisa mulai dengan mencari tahu lebih banyak tentang Gunung Meru di dunia ini. Kalau memang benar itu tempat asalmu, pasti ada sesuatu yang bisa kita temukan."

Arjuna masih tidak suka dengan semua ini, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih terbuka dengan gagasan bahwa ia harus bertahan di dunia manusia lebih lama dari yang ia harapkan.

Arjuna masih duduk bersandar di dinding, menyelesaikan makanannya dengan ekspresi datar. Ia masih tidak terbiasa dengan rasa makanan manusia biasa—terlalu sederhana dibandingkan hidangan surgawi di Gunung Meru. Namun, perutnya yang kosong memaksa dirinya untuk menerima kenyataan bahwa inilah yang bisa ia dapatkan sekarang.

Bara meneguk air mineralnya sebelum menatap Arjuna. "Dengar, Dewa, atau siapa pun kau ini, ada sesuatu yang perlu kau pahami kalau kau ingin bertahan di dunia ini."

Arjuna hanya meliriknya sekilas, sementara Kirana ikut menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan bersedekap.

"Di dunia ini," lanjut Bara, "tidak ada yang diberikan begitu saja. Kau harus bekerja untuk mendapatkan sesuatu, entah itu makanan, tempat tinggal, atau bahkan rasa hormat."

Arjuna mendengus. "Kerja? Seorang dewa tidak bekerja. Aku terlahir untuk diperintah, bukan untuk menjadi buruh."

Bara terkekeh sinis. "Ya, dan lihat sekarang di mana kau berada? Tanpa kekuatan, tanpa pengikut, bahkan tanpa tahu bagaimana caranya bertahan hidup. Di sini, siapa yang punya uang, dia yang berkuasa. Para pejabat, para orang kaya, mereka bisa melakukan apa pun yang mereka mau. Dan sebagian besar dari mereka tidak peduli dengan orang-orang di bawah mereka."

Kirana menatap Arjuna dengan serius. "Banyak pemimpin di dunia ini yang korup, mereka memanfaatkan kekuasaan mereka untuk keuntungan sendiri. Orang miskin makin miskin, sementara mereka yang berkuasa hidup dalam kemewahan."

Arjuna mengernyit. "Jadi di dunia ini, tidak ada hukum dan keadilan?"

Kirana menghela napas. "Ada, tapi sering kali hanya berpihak pada mereka yang punya kekuatan dan pengaruh. Polisi? Pemerintah? Beberapa memang baik, tapi sebagian besar hanya bekerja untuk orang-orang yang membayar mereka."

Bara melanjutkan, "Di tempat ini, kalau kau tidak punya uang atau kekuasaan, kau bukan siapa-siapa. Kau bisa mati di jalanan dan tidak ada yang peduli. Dunia ini lebih kejam dari yang kau kira."

Arjuna mendengar semua itu dengan wajah yang semakin mengeras. Ia mulai menyadari bahwa dunia manusia jauh lebih brutal dan penuh ketidakadilan dibandingkan yang ia bayangkan.

"Lalu, bagaimana manusia bertahan?" tanyanya akhirnya.

Kirana tersenyum tipis. "Dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang berjuang dengan bekerja keras, ada yang menyerah pada sistem, dan ada juga yang melawan."

Arjuna terdiam, matanya menatap kosong ke lantai. Selama ini, ia selalu percaya bahwa kekuatan adalah segalanya. Tapi di dunia ini, kekuatan bukan sekadar fisik—uang dan pengaruh adalah senjata yang lebih kuat.

Bara menatapnya dengan serius. "Jadi, kalau kau ingin tetap hidup di sini, kau harus belajar. Belajar bagaimana dunia ini bekerja, belajar bagaimana bertahan tanpa kekuatanmu, dan mungkin… belajar bagaimana menjadi lebih dari sekadar dewa yang jatuh."

Arjuna mengepalkan tangannya, hatinya terasa semakin berat. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar kecil di dunia yang tidak ia mengerti.

1
Andau
ya ampun, ini sambungan bab ke berapa?.
NBU NOVEL: bab 21 kak
total 1 replies
Andau
Semoga cerita mu kelak akan benar-benar menjadi kenyataan di bawah langit Nusantara.
NBU NOVEL: Terimakasih Support nya kak
total 1 replies
breks nets
Mantap Thor walaupun mungkin ceritanya setengah dongeng tapi bagus alurnya ... lanjutkan hingga akhir cerita
NBU NOVEL: terimakasih bang, tetap support terus ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!