Reyhan menikahi Miranda, wanita yang dulu menghancurkan hidupnya, entah secara langsung atau tidak. Reyhan menikahinya bukan karena cinta, tetapi karena ingin membalas dendam dengan cara yang paling menyakitkan.
Kini, Miranda telah menjadi istrinya, terikat dalam pernikahan yang tidak pernah ia inginkan.
Malam pertama mereka seharusnya menjadi awal dari penderitaan Mira, awal dari pembalasan yang selama ini ia rencanakan.
Mira tidak pernah mengira pernikahannya akan berubah menjadi neraka. Reyhan bukan hanya suami yang dingin, dia adalah pria yang penuh kebencian, seseorang yang ingin menghancurkannya perlahan. Tapi di balik kata-kata tajam dan tatapan penuh amarah, ada sesuatu dalam diri Reyhan yang Mira tidak mengerti.
Semakin mereka terjebak dalam pernikahan ini, semakin besar rahasia yang terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta yang tak terucap
Hujan turun dengan derasnya, membasahi tanah merah yang masih tampak baru. Reyhan berdiri di depan nisan yang terukir nama Miranda Sindu, tubuhnya menggigil, entah karena dinginnya hujan atau perasaan yang berkecamuk di dadanya. Tangannya gemetar saat ia menyentuh batu nisan itu, seakan berharap kehangatan yang dulu selalu ia tolak masih tersisa di sana.
Matanya merah, penuh kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Dulu, ia pikir ia akan merasa lega jika Mira pergi. Ia pikir, dengan hilangnya wanita itu dari hidupnya, dendam yang ia simpan selama ini akan terbayarkan. Tapi kenyataannya?
Kosong.
Dada Reyhan terasa hampa, seakan ada lubang besar yang menghisap semua perasaannya.
"Aku bodoh… Aku benar-benar bodoh, Mira…" Suaraku menggema lemah di antara derasnya hujan.
"Aku pikir aku membencimu, tapi ternyata… aku hanya takut. Takut mengakui perasaanku yang sesungguhnya. Takut menerima kenyataan bahwa semua rasa ini selalu tentang dirimu."
Langkah Reyhan lunglai hingga ia terjatuh, berlutut di atas tanah yang basah. Tangannya gemetar saat menggenggam kuat batu nisan yang kini menjadi tempat Mira beristirahat selamanya.
"Kenapa kamu pergi?" tanya Reyhandengan nada parau yang bergetar. "Kenapa kamu tidak melawan? Kenapa kamu tidak membenciku balik? Kamu seharusnya menamparku, mencaci, menghancurkanku seperti yang aku lakukan padamu! Tapi... kenapa malah memilih mati?"
Tangis Reyhan kembali pecah di antara gemuruh petir dan hujan yang tak kunjung reda.
Air mata ini terasa begitu panas, meski bercampur dengan dinginnya air hujan yang menyelimuti tubuh.
Ia tidak peduli lagi. Harga dirinya tak ada artinya sekarang. Tidak dengan penyesalan yang menyesakkan dada ini. Tidak dengan kehilangan Mira yang meninggalkan lubang menganga di hatinya.
Reyhan mendekatkan dahinya pada batu nisan yang dingin, seakan bisa mengalirkan kehangatan Mira yang telah tiada.
"Kalau saja aku tahu semua akan berakhir seperti ini… Kalau saja aku tahu kamu akan memilih pergi selamanya…" napasnya tercekat, kata-kata selanjutnya menggantung di tenggorokan, pedih.
"Aku lebih memilih tidak pernah menyakitimu, Mira. Aku lebih memilih… aku saja yang terluka…"
Langit menangis bersamanya, hujan seolah menjadi saksi atas sesal yang tak pernah ia tahu seberapa lama akan ia tanggung.
Reyhan hanya berharap, "Di mana pun kamu berada, kamu tahu… aku bukan membenci, aku hanya tidak tahu bagaimana mencintai dengan benar."
"Bisakah aku mengulang semuanya dari awal?" bisiknya, seakan berharap Tuhan akan memberinya satu kesempatan lagi.
Namun, jawaban yang ia dapatkan hanya suara hujan yang semakin menggila, menyadarkannya bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan.
Mira telah pergi.
Dan dia akan hidup dengan penyesalan ini selamanya.
Bimo berdiri tak jauh dari tempat Reyhan berlutut, memandang sahabatnya yang kini terlihat begitu rapuh.
Dulu, ia selalu melihat Reyhan sebagai pria yang tak tersentuh oleh emosi, selalu tegar dan tak peduli pada perasaan orang lain. Tapi kini? Pria yang dulu penuh amarah itu tampak seperti manusia yang hancur.
Hujan terus mengguyur, tapi Reyhan tak bergerak sedikit pun dari posisinya. Tangannya mengepal erat di atas nisan Mira, bahunya bergetar.
"Cinta dan benci ternyata memang begitu tipis." Bimo menghela napas panjang.
Sejujurnya, ia tak pernah benar-benar setuju dengan cara Reyhan memperlakukan Mira. Sejak awal, ia bisa melihat bagaimana wanita itu berusaha mati-matian bertahan di sisi Reyhan, meskipun pria itu terus mendorongnya menjauh.
Sekarang, saat Mira benar-benar pergi, Reyhan justru tersungkur dalam penyesalan yang tiada akhir.
"Rey..." Bimo akhirnya memecah keheningan, suaranya serak diterpa udara dingin.
Ia melangkah mendekat, lalu berjongkok di sisi sahabatnya yang masih terpaku di depan nisan itu.
Reyhan tetap tak menggubris. Tatapan kosongnya tak lepas dari ukiran nama di batu nisan tersebut, seakan matanya ingin menerobos ke dalam tanah, menggapai kembali sosok Mira yang kini telah tiada.
Apa mungkin itu hanya khayalannya? Tapi di sudut hatinya yang terdalam, ia terus memohon agar keajaiban itu nyata.
"Kamu bisa membencinya seumur hidupmu, Rey, tapi nyatanya, kamu mencintainya lebih dari yang kamu mau akui," kata Bimo pelan, suara itu penuh kehati-hatian.
Ia tahu sahabatnya sudah terlalu hancur. Tawa Reyhan yang parau tiba-tiba pecah, terbungkus getir yang memekakan hati. Dia mengusap wajahnya yang basah, namun ia sendiri tak tahu apakah itu karena hujan atau air matanya.
"Lucu, ya?" suaranya bergetar, menggema dalam keheningan yang hanya diiringi rintik hujan.
"Aku benci dia. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan, menderita. Tapi... setelah dia benar-benar pergi..." Reyhan menggigit bibirnya kuat, berharap rasa sakit di bibir bisa menekan isakan yang mendesak keluar.
"Kenapa aku merasa... aku ini orang paling bodoh di dunia?"
Bimo menatapnya dalam diam. Tatapan matanya mengabur, tak mampu menyembunyikan belas kasihan dan dukanya sendiri. Ia tahu, Reyhan telah kehilangan segalanya, cintanya, kebanggaannya, dan yang paling menyakitkan, mungkin juga alasan untuk tetap bertahan dalam hidup.
"Aku ingin dia kembali," lirih Reyhan. "Aku ingin meminta maaf. Aku ingin mengulang semuanya. Tapi aku bahkan tidak diberi kesempatan itu, Bimo..."
Bimo menepuk bahu Reyhan dengan berat hati.
"Kalau kau diberi kesempatan kedua, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya hati-hati.
Reyhan terdiam lama sebelum akhirnya berbisik, "Aku akan memilih mencintainya..."
Sayangnya, kesempatan itu tak akan pernah datang.
Mira telah pergi.
Dan Reyhan harus menjalani sisa hidupnya dengan penyesalan yang menghancurkannya perlahan-lahan.
Mira duduk diam di dalam mobil, menatap kosong ke arah rumah sakit yang berdiri megah di depannya. Tangannya menggenggam erat jemarinya sendiri, berusaha menenangkan diri.
Sudah berhari-hari ayahnya, Ario Sindu, terbaring dalam keadaan kritis. Semua ini terjadi karena Reyhan, karena kebenciannya yang tak pernah reda, karena dendam yang membutakan segalanya.
Di sampingnya, Hendi menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu betapa Mira telah melalui banyak hal. Kehancuran bisnis keluarganya, tekanan dari Reyhan, dan kematiannya yang dibuat-buat.
Namun, di antara semua itu, yang paling menyakitkan bagi Hendi adalah kenyataan bahwa Mira masih memikirkan Reyhan, meskipun pria itu telah menghancurkan hidupnya berkali-kali.
“Kamu yakin ingin masuk?” tanya Hendi pelan.
Mira menarik napas dalam, mencoba menguatkan dirinya. “Aku harus menjenguk ayah.”
Hendi menatap wajah Mira yang begitu sendu. Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin menyampaikan semua perasaannya, tapi ia tahu ini bukan waktu yang tepat.
Namun, semakin lama ia menyembunyikan perasaannya, semakin besar rasa takutnya bahwa ia akan kehilangan Mira selamanya.
Saat mereka berjalan menuju ruang ICU, Hendi akhirnya tak bisa menahan diri. Ia meraih tangan Mira, menghentikan langkah wanita itu. Mira menoleh, bingung dengan tatapan serius di wajah Hendi.
"Ada apa, Hen?"
Hendi menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.
"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat," suaranya terdengar berat. "Tapi aku tidak bisa terus menyimpan ini, Mira."
Mira hanya bisa menatapnya dengan penuh rasa bingung ketika ia melanjutkan, suaranya kini terdengar lebih tegas namun juga sarat emosi.
"Aku mencintaimu, Mira. Sejak dulu... sejak lama sekali. Aku selalu mencintaimu. Aku menunggumu, berharap kamu melihatku lebih dari sekadar sahabat atau pengacaramu. Aku ingin kamu melihatku sebagai seseorang yang akan selalu ada untukmu. Seseorang yang ingin menjagamu seumur hidup." Kata-katanya membekas, mengguncang sesuatu dalam hati Mira yang sudah lama terkubur.
Hendi... sahabatnya, tempatnya bersandar ketika segalanya terasa begitu berat. Ia selalu hadir dengan kehangatannya, dengan keyakinannya yang ia kira tulus hanya sebagai seorang teman.
Tapi, apa mungkin Mira membalas perasaannya? Apakah ia mampu menerima cinta yang ia tawarkan, setelah apa yang Reyhan lakukan padanya?
Hendi tersenyum tipis, tapi Mira bisa melihat ada kepedihan di sana, seakan dia sudah tahu jawaban yang tak sanggup keluar dari bibirnya.
"Aku tidak meminta jawaban sekarang, Mira," ujarnya pelan. "Aku hanya ingin kamu tahu, ada seseorang yang mencintaimu tanpa syarat. Seseorang yang tidak akan pernah menyakitimu seperti Reyhan."
Mira menelan ludah, mencoba menahan luapan emosi yang terasa memenuhi dada. Matanya terasa panas, dan tanpa sadar ia menggigit bibirnya sendiri, berusaha mencari kata-kata, namun hanya satu nama yang keluar dari mulut, dengan nada yang nyaris patah.
"Hendi... aku..."
"Tidak apa-apa," potong Hendi lembut. "Aku hanya ingin kamu tahu. Sekarang ayo, ayahmu butuh kamu."
Mira menatap Hendi lama sebelum akhirnya mengangguk. Mereka melanjutkan langkah mereka menuju ruang ICU, tetapi kini hati Mira terasa lebih berat dari sebelumnya.
Karena untuk pertama kalinya, ia sadar bahwa mungkin, ada cinta lain yang lebih tulus menunggunya di sana.
Mira berdiri di ambang pintu ruang ICU, tubuhnya membeku melihat kondisi ayahnya yang terbaring lemah dengan selang dan alat medis mengelilinginya. Wajah Ario Sindu tampak pucat, napasnya tersengal-sengal dalam keheningan ruangan itu.
Hatinya mencelos. Ini semua salah Reyhan. Jika saja pria itu tidak menekan keluarganya begitu keras, jika saja ia tidak pergi begitu saja, mungkin ayahnya tidak akan terbaring seperti ini.
Tapi… ini juga salahnya.
Ia tidak sanggup menghadapi kenyataan ini. Tangan Mira menggenggam erat dadanya yang terasa begitu sesak.
Langkahnya goyah, tubuhnya gemetar, dan tanpa pikir panjang, ia mundur perlahan sebelum akhirnya berbalik dan berlari keluar dari ruangan itu.
“Mira!” panggil Hendi dari belakang, mengejarnya dengan cemas.
Namun, Mira tidak berhenti. Ia terus berjalan cepat menuju parkiran, matanya mulai berkaca-kaca.
Udara malam terasa dingin, seolah menambah beban yang menghimpit dadanya. Ia ingin pergi dari sini. Dari rumah sakit ini. Dari semua kenangan yang membuatnya terluka.
Namun, tepat saat ia dan Hendi hampir sampai di tempat mobil mereka diparkir—
BRAK!!!
Suara benturan keras menggema di area parkiran.
Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, menabrak mereka dengan brutal sebelum sempat menghindar. Tubuh Mira dan Hendi terlempar ke aspal, darah mengalir dari pelipis dan tangan mereka yang bergesekan dengan permukaan kasar jalanan.
Hendi merasakan sakit luar biasa menjalar ke sekujur tubuhnya, tetapi yang pertama kali ia pikirkan adalah Mira. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha merangkak ke arah wanita itu.
“Mira…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.
Mira tergeletak di tanah, matanya setengah terbuka, bibirnya berdarah, dan tubuhnya terasa begitu dingin.
“H-Hen…” gumamnya lemah.
Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi napasnya terlalu berat. Pandangannya mulai kabur, suara sirene ambulans yang mulai terdengar semakin menjauh di telinganya.
Sebelum kesadarannya menghilang, hanya satu hal yang terlintas dalam pikirannya.
Apakah ini hukuman dari Tuhan… karena mencintai pria yang salah?
Bersambung...