Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Pangeran Riana berjalan di depan jendela besar yang menghadap ke halaman kuil, cahaya remang senja membentuk siluetnya yang kokoh dan berwibawa. Matanya yang berwarna emas bersinar dalam kegelapan ruangan, sorotnya tajam dan penuh perhitungan.
Di belakangnya, Dokter Aurelian masih berdiri dengan wajah tegang. Pembicaraan mereka barusan masih menggantung di udara, membawa ketegangan yang sulit diabaikan.
Pangeran Riana mengepalkan tangannya, merasakan kemarahan yang begitu dingin merambat di nadinya. Dia tahu, meskipun Yuki tidak mengingat Sera sekarang, pada akhirnya Yuki akan menginginkan anak itu. Dia pasti akan mempertahankannya.
Seharusnya ini tidak terjadi.
Dia sudah memperingatkan Yuki sebelumnya bahwa dia tidak membutuhkan anak ketiga dan keempat, seperti yang telah diramalkan oleh putri duyung. Yuki hanya bisa melahirkan tiga anak, dan jika dia memaksakan kelahiran keempat, itu akan membahayakan tubuhnya.
Pangeran Riana sangat tidak ingin itu terjadi.
Dia tidak ingin kehilangan Yuki.
Karena itu, dia telah memastikan Yuki tidak akan hamil lagi. Dia telah melakukan segalanya untuk mencegahnya. Tapi pada akhirnya, Yuki malah mengandung anak dari pria lain. Dari Sera.
Dari pria yang bahkan kini telah mati.
Pangeran Riana menarik napas panjang, menekan emosi yang menggelegak dalam dirinya. Ini tidak bisa dibiarkan.
Perlahan, dia berbalik menghadap Dokter Aurelian. Suaranya rendah namun penuh ketegasan.
“Jaga rahasia ini baik-baik.”
Dokter Aurelian menelan ludah, tampak ragu sejenak.
“Yuki tidak boleh tahu.”
Perintah itu keluar dengan suara rendah dan dingin, seperti ancaman kematian yang terselubung dalam ketenangan.
Dokter Aurelian menggigit bibirnya. “Tapi—”
Pangeran Riana berdiri perlahan, mendekatkan dirinya pada dokter istana hingga pria itu bisa merasakan hawa dingin yang menguar darinya.
Jangan beritahu Yuki,” ulangnya, lebih tajam kali ini. “Jangan biarkan dia tahu bahwa dia sedang mengandung anak pria lain.”
Dokter Aurelian mengepalkan tangannya. “Pangeran, ini bukan keputusan yang bijak. Bagaimanapun, ini adalah—”
“Aku yang akan menentukan apa yang terbaik untuk Yuki.”
Tatapan mereka bertemu, satu penuh ketegasan, satu penuh peringatan.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, Dokter Aurelian mengalihkan pandangannya, menghela napas. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan merahasiakan ini untuk sementara.”
Pangeran Riana kembali mengalihkan pandangannya keluar jendela, di mana bayangan rombongan Argueda yang membawa peti mati Sera perlahan menghilang di kejauhan. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya—sesuatu yang asing, hampir seperti penghormatan terhadap musuh yang telah mati.
Sera telah menyerahkan nyawanya untuk Yuki.
Dan kini, darah Sera mengalir dalam rahim Yuki.
Meskipun kemarahan menguasai dirinya, Riana tahu bahwa dia tidak bisa mengambil nyawa anak itu. Setidaknya, dia masih memiliki kehormatan untuk membayar hutang nyawa yang telah diberikan Sera.
Namun, bukan berarti dia akan membiarkan siapa pun mengambil anak itu darinya.
“Kerajaan Argueda berhak mengetahui status anak itu,” suara Dokter Aurelian kembali terdengar, meskipun lebih pelan, hampir seolah dia takut menantang keputusan Riana. “Mereka membutuhkan seorang penerus setelah kematian Sera.”
Riana tertawa kecil, suara yang sarat dengan bahaya. Dia melangkah mendekati Dokter Aurelian, menepuk bahunya dengan gerakan ringan namun penuh tekanan.
“Argueda kehilangan Sera, dan itu adalah urusan mereka,” katanya pelan. “Tapi anak ini adalah urusanku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutnya dari Yuki.”
Dokter Aurelian hanya bisa diam, menyadari bahwa perintah itu mutlak.
Tak ada yang bisa menandingi kekuasaan Riana.
Tak ada yang bisa melawan kehendaknya.
Anak itu akan lahir sebagai anak Riana. Bukan anak Sera.
Dan jika dunia berani menentangnya—maka dia akan melawan dunia itu sendiri.
...****************...
Dalam mimpi itu, Yuki terus berlari, tangannya terulur, mencoba meraih sosok pria di depannya. Cahaya putih di belakangnya semakin terang, menyilaukan, seolah hendak menelan sosok itu sepenuhnya.
“Sera! Jangan, kembali !!!” teriak Yuki, suaranya dipenuhi kepanikan dan kesedihan yang begitu mendalam.
Namun, sekuat apa pun ia berusaha melawan tarikan cahaya itu, tubuhnya terasa begitu lemah, begitu tak berdaya. Tangannya hanya menembus udara kosong setiap kali ia mencoba meraih Pangeran Sera.
Pangeran Sera masih tersenyum, penuh kelembutan, tetapi ada kesedihan di matanya.
“Kau harus melanjutkan hidupmu, Yuki…”
“Tidak! Aku tidak bisa tanpa—”
Sebelum Yuki bisa menyelesaikan kata-katanya, cahaya itu meledak semakin besar, menyelimuti tubuh Pangeran Sera sepenuhnya.
“SERA!!” Yuki menjerit, tubuhnya terdorong ke belakang oleh kekuatan yang tak terlihat.
Saat cahaya itu menghilang, yang tersisa hanyalah kehampaan. Sera telah pergi.
Yuki terbangun, napasnya tersengal, air matanya jatuh tanpa henti.
...****************...
Pangeran Riana membuka matanya perlahan, tatapannya langsung tertuju pada Yuki yang terbangun dengan napas tersengal dan wajah dipenuhi air mata. Ia segera bangkit, merengkuh wajah Yuki dengan kedua tangannya.
“Yuki, kau bermimpi buruk?” tanyanya, suaranya dalam dan penuh kewaspadaan.
Yuki menggigit bibirnya, tubuhnya masih gemetar. Dadanya naik turun tak teratur. Ia tidak bisa menjawab, hanya bisa menatap Pangeran Riana dengan mata yang berkaca-kaca. Gambaran Pria yang menghilang dalam cahayanya masih begitu nyata dalam benaknya.
Pangeran Riana menghela napas, lalu menarik Yuki dalam pelukannya. Ia mendekapnya erat, tangannya mengusap punggung Yuki dengan lembut, berusaha menenangkan tubuh yang masih gemetar dalam dekapannya.
“Sudah cukup,” bisiknya di telinga Yuki. “Kau aman. Aku ada di sini.”
Tapi bagi Yuki, kata-kata itu justru membuat dadanya semakin sesak. Aman? Tidak. Hatiku hancur, ingin Yuki berteriak. Namun, ia bahkan tidak tahu kenapa. Ia hanya tahu ada sesuatu yang hilang darinya—sesuatu yang begitu berharga, sesuatu yang tidak bisa ia dapatkan kembali.
“Siapa Sera ?” Tanya Yuki akhirnya. “Apakah Kau tahu sesuatu ?”
Pangeran Riana memeluk Yuki mencoba menenangkan.
“Kau hanya butuh istirahat. Jangan memikirkan apapun”
Yuki menggigit bibirnya, rasa gelisah di dadanya semakin menjadi. Ia tahu Pangeran Riana menyembunyikan sesuatu, tapi tatapan tegas pria itu membuatnya sulit menekan lebih jauh.
“Pangeran Riana…” suara Yuki melemah, penuh kebingungan. “Aku merasa… ada seseorang yang sangat penting bagiku, tapi aku tidak bisa mengingatnya.”
Pangeran Riana mengeratkan pelukannya, jari-jarinya menyusuri rambut Yuki dengan lembut. “Kau hanya perlu fokus untuk pulih,” katanya dengan suara yang dalam, nyaris seperti bisikan. “Aku akan menjagamu. Itu sudah cukup.”
Tapi Yuki tidak merasa cukup. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat hatinya terasa kosong. Dan setiap kali ia mencoba mengingat, hanya kepedihan mendalam yang muncul tanpa alasan.
Dalam pelukan Pangeran Riana, Yuki mengusap cincin di jarinya dengan jemarinya yang gemetar. Perasaan aneh menyelimutinya—ia bisa menerima bahwa Pangeran Riana adalah suaminya, meskipun ia tidak mengingatnya dengan jelas. Sentuhan pria itu, suaranya, bahkan ketakutannya sendiri saat berada di dekatnya terasa seperti sesuatu yang telah lama tertanam dalam dirinya.
Namun, cincin ini…
Yuki menatapnya lama, tapi tidak ada rasa familiar yang muncul. Tidak seperti saat ia melihat foto anak-anaknya—Leon, Xavier, dan Ferlay—yang secara instan membangkitkan sesuatu dalam hatinya. Cincin ini terasa asing, seolah bukan bagiannya.
Jari-jarinya meremas cincin itu perlahan, napasnya berat. Jika memang Pangeran Riana adalah suaminya, mengapa hatinya menolak untuk mengenali simbol pernikahan mereka?
...****************...
Surat dari Kerajaan Argueda tiba dengan segel resmi dan dihantarkan langsung oleh seorang utusan. Surat itu ditujukan kepada Pendeta Suci, memohon agar Yuki ikut serta dalam perjalanan ke Argueda untuk menghadiri pemakaman Pangeran Sera.
“Bagaimanapun juga, Yuki adalah istri sah Pangeran Sera. Sebagai bagian dari keluarga kerajaan Argueda, dia memiliki kewajiban untuk memberi penghormatan terakhir kepada suaminya,” begitu bunyi salah satu bagian dalam surat tersebut.
Pangeran Riana membaca surat itu dengan ekspresi gelap. Rahangnya mengeras, dan surat itu diremas di tangannya sebelum akhirnya dilempar ke atas meja.
“Tidak,” katanya tegas. “Aku tidak akan mengizinkannya.”
Pendeta Suci yang duduk di hadapannya menghela napas berat. “Pangeran Riana, ini bukan hanya tentang keinginanmu. Ini adalah urusan resmi antara kerajaan. Argueda menuntut Yuki kembali sebagai bagian dari keluarga mereka.”
“Yuki bukan bagian dari mereka,” Pangeran Riana membalas dingin. “Dia milikku. Dan saat ini dia dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.”
“Tapi—”
“Mereka ingin dia datang sendiri?” Pangeran Riana menyipitkan mata. “Sebagai apa? Seorang janda? Seorang wanita tanpa perlindungan?”
Pendeta Suci terdiam. Sebenarnya, ada kekuatan politik yang bermain di balik permintaan ini. Dengan ketiadaan Pangeran Sera, Argueda kehilangan pemimpin masa depan. Yuki, sebagai istri sah dan—yang lebih penting—karena kehamilannya, bisa saja menjadi simbol harapan bagi kerajaan itu.
Pangeran Riana berdiri perlahan dari kursinya, sorot matanya tajam, penuh amarah yang ditahan. Rahangnya mengeras saat jemarinya mengepal di sisi tubuhnya.
“Sampaikan pada mereka,” suaranya rendah, namun penuh tekanan. “Yuki tidak akan pergi sendiri ke sana. Garduete akan mengawalnya karena Yuki adalah istriku, wanitaku, dan berada di bawah perlindunganku.”