Kisah cinta mama dan papa cukup membuatku percaya bahwa luka terkadang membawa hal manis, bagaimana mama pergi agar papa baik-baik saja, tanpa mama tahu, papa jauh lebih terluka sepeninggalnya.
Begitu juga dengan Tante Tania dan Appa Joon, tidak ada perpisahan yang baik-baik saja, tidak ada perpisahan yang benar-benar ikhlas. Bedanya mereka berakhir bersama, tidak seperti mama dan papaku yang harus berpisah oleh maut.
kukira kisah mereka sudah cukup untuk aku jadikan pelajaran, tapi tetap saja, aku penerus mereka dan semua ketololannya.
Aku, Davina David.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon timio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tarik Kembali Ucapan Ku
Pov Davina :
Aku tahu tanteku terluka lebih dari siapapun, papa ku dokter, ia paham tujuanku, meski sebenarnya aku tahu dia keberatan tapi dia mendukungku. Aku tidak ingin tante Tania berubah pikirannya, dan memutuskan pergi lebih awal dari rumah, menunggu rombongan ku di bandara ber jam-jam lamanya.
Hingga akhirnya pesawat akan lepas landas, aku menarik napasku dalam-dalam seolah ini adalah penerbangan pertamaku. Benar, ini pertama kalinya aku melebarkan sayapku sendiri, tanpa papa dan appa, dan image ku sebagai putri berharga mereka. Ahh kedua ayahku itu, aset berharga dari Tuhan yang benar-benar luar biasa, menjaga, melindungi, mendidik ku, memanjakan ku, Papa, I love you, Appa, saranghaeyo, begitu ucapku kala menggombali keduanya.
Aku sudah merindukan mereka sekarang, padahal aku baru saja berada di awang-awang. Aku melihat hamparan hutan dan laut yang begitu luas, aku benar-benar merasa jauh dari Seleste Ville sekarang, ada rasa senang, tegang, dan sedih di dalam hatiku, bercampur jadi satu.
Apakah begini rasanya keluar dari zona aman? Apakah begini rasanya menguji diri sendiri? Dimana ku lakukan ketika sudah berusia 23 tahun. Baiklah, mari kita mulai, dokter Davina Hope David, siap bertugas.
🍁🍁
Davina mengerjapkan matanya ketika merasakan benturan, tidak terlalu kuat namun cukup mengganggu. Ia tahu saat ini roda sedang dikeluarkan di landasan dan mereka sudah mendarat.
Dari jendela kecil itu ia melihat bandara Pandora Town, masih kokoh, tidak ada tanda-tanda kerusakan apapun disini. Tentu saja karena ia diletakkan di pelosok Pandora. Ia kemudian mengikuti rombongannya, mereka semua di kumpulkan ruang tunggu bandara yang luas. Davina agak takjub ternyata dokter relawannya lumayan banyak juga, sepertinya ada perawat juga.
"Terima kasih para dokter hebat yang sudah berkumpul di Pandora Town tercinta ini. Perkenalkan saya perwakilan langsung dari tim medis Pandora, saya merasa sangat bersyukur, teman-teman sekalian mau mengulurkan tangan pada kami atas bencana yang sudah meratakan tanah kami.
Meskipun sudah di landa gempa syukurnya asrama rumah sakit masih berdiri kokoh, masih bisa kita gunakan, dan cukup kamar yang bersih dan nyaman untuk kita tinggali bersama. Kami sudah membuat daftar dan tim dokter yang akan bekerja sama sesuai dengan spesialisasinya, beruntung sekali, kali ini kita punya dokter bedah anak, bisa lambaikan tangannya para dokter anak?".
Davina melambaikan tangannya dan seseorang yang lain juga, bedanya Davina tersenyum senang sementara yang satunya kelihatan judes sekali, dingin, dan menyebalkan. Ia tahu karena sekilas ia melirik ke arah orang itu, pria itu.
"Galak amat mukanya." Batin Davina.
🍁🍁
Lalu mereka semua di angkut dengan truk besar, dan dibawa ke lokasi rumah sakit Pandora Town sebagai pusat pengobatan bencana. Bukan hanya didalam gedung bahkan di luar gedung sudah banyak didirikan tenda-tenda darurat, sepertinya didalam gedung sudah tidak muat lagi.
Bahkan sebulir air bening mengalir di pipi mulus gadis bermata hazel itu, melihat kantong jenazah yang sudah berderet di sisi lain area rumah sakit itu. Ia ingat mamanya.
"Vin... ", tepukan mendarat di pundaknya.
"Ha? Ahhh hmmm? Apa? ".
"Kamu kenapa? Baru tiba kok udah nangis?", tanya Claren, gadis berparas bule tapi medok. Ia adalah sahabat Davina dari departemen Ortopedi.
"Ah... Heheh... Ngga... ", serunya terkekeh kecil sambil menghapus air matanya.
"Ayo beb, kita bakal pisah kayanya ini. Aku pasti sama dokter tulang lainnya." Keluh Claren dengan aksen jawanya.
"Ntar makan malem kita bareng ya, Claire."
"Jenengku itu Claren bukan Claire... ", kesalnya.
Bukan kali pertama Claren protes karena Davina selalu memanggilnya Claire, karena katanya Claire lebih mudah diucapkan ketimbang Claren malah sering ia pelesetkan menjadi kelereng.
"Davina David?", seru seorang pria dibelakang nya dan membuat Davina segera berbalik.
Ah cowo yang tadi.
"Rupanya kamu disini, saya sudah cari ke mana-mana. Saya Kai Joseph, dokter bedah anak."
"Iya dok, ada apa cari saya? ".
"Kita satu tim. Saya dipasangkan dengan kamu karena bidang kita sama."
"Ah iya, baik dok."
"Panggil Kai saja, kita seumuran."
"Iya K-kai. Aku juga cukup panggil Vina, ngga usah saya-sayaan, formalnya didepan pasien aja." Gugup Vina, pasalnya setelah tersenyum ternyata lelaki ini manis juga.
"Hahaha... Iya kamu bener. Nanti malam kita ketemu di kantin aja pas makan malam, baru kita ngomong soal kerja sama tim nya. Duluan ya." seru Kai dengan senyum lebarnya dan berlalu.
"Woahhh... Cakep puooll Vin... ", jerit Claren.
"Dih ganjeng bener."
🍁🍁
Mulai hari ini Davina menerima takdirnya dan semua yang akan terjadi di sini, di rumah sakit ini, atau di sudut manapun Pandora Town yang diinjaknya ini. Ia siap. Benar saja, malam harinya dokter Kai mendatanginya ketika sedang makan malam dengan Claren. Percakapan mereka ringan, seputar apa yang akan mereka lakukan nanti, sebatas briefing disegala keadaan nanti, tergantung tingkat yang slalu diperlukan.
"Kamu pernah jadi relawan sebelumnya?", tanya Kai sambil menyendok nasinya.
"Belum, ini kali pertamaku."
"Kaget?".
"Sedikit. Cuma di bagian ngeliat kantong jenazah yang di jejerin."
"Untuk selanjutnya kamu harus udah siap mental dengan kondisi terburuk, Vin."
Davina mengangguk dan tersenyum, ternyata pria yang tadi kelihatannya galak dan dingin ini tidak separah itu.
Apa ku bilang? Tidak separah itu? AKU TARIK KEMBALI KATA-KATAKU. AKU TARIK, PAHAM KALIAN?! AKU TARIK.
🍁🍁
6 Bulan Kemudian...
Waktu enam bulan rasanya bertahun-tahun bagi Davina, tidak ada yang mudah menurutnya. Tidak ada yang instan seperti adegan di film-film. Kai Joseph hanya baik di hari pertama mereka berkenalan.
Hari kedua, Davina merasa ia menghadapi orang yang berbeda, sama sekali berbeda. Ia dibentak-bentak oleh Kai didepan pasien dan dokter lainnya karena salah membawa ukuran kain kasa.
"Kan masih bisa dipakai juga dok."
"APA? MASIH BISA KAMU BILANG? MASIH BISA? BEDA UKURAN BEDA EFISIENSI WAKTU PEMASANGAN DAN PENYEMBUHANNYA DOKTER DAVINA...! KAMU MAU MENOLONG ATAU CUMA MAU PAMER DISINI?!!".
Bagaimana gema suaranya, intonasinya, raut wajahnya gemeretak gigi Kai, semuanya terekam jelas di memorinya. Ia marah tapi ia bisa apa?
"Dokter Kai, tolong ini partnernya bisa di push untuk lebih cepat sedikit bisa tidak? Gara-gara dia lama kita jadi kehilangan satu nyawa lagi, jalannya membawa peralatan lama sekali."
Komplain kedua yang diterima Kai di bulan ke 3 satu tim dengan Davina.
"Vina, kamu kayaknya emang mau lari dari rumah sakit aja kayaknya makanya bisa sampai kesini. Gara-gara kamu jalannya lelet banget, pasien yang kemarin tertimpa reruntuhan gempa susulan ngga ke tolong. Kamu niat nolong ngga sih Vin, kamu bikin aku malu."
Sungguh hati Davina mencelos sekali mendengar kata-kata tajam dari Kai. Ia hanya menunduk dan meminta maaf, tidak ada perlawanan dan pembelaan yang ia buat atas dirinya, ia telan semua cemoohan yang di lontarkan Kai kepadanya.
"Setidaknya dukungan mereka buat aku lebih kuat, ada topangan yang kokoh banget buat aku." Batinnya menatap layar ponsel.
Tak
Kopi kalengan dari mesin minuman rumah sakit mendarat didepannya.
"Cantik-cantik kok murung... "
.
.
.
TBC... 🍁