Bintang, CEO muda dan sukses, mengajukan kontrak nikah, pada gadis yang dijodohkan padanya. Gadis yang masih berstatus mahasiswa dengan sifat penurut, lembut dan anggun, dimata kedua orang tuanya.
Namun, siapa sangka, kelinci penurut yang selalu menggunakan pakaian feminim, ternyata seorang pemberontak kecil, yang membuat Bintang pusing tujuh keliling.
Bagaimana Bintang menanganinya? Dengan pernikahan, yang ternyata jauh dari ekspektasi yang ia bayangan.
Penuh komedi dan keromantisan, ikuti kisah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5.
"Ma, apa bisa pernikahan Sera, sederhana saja? Cukup keluarga dan kerabat dekat," bujuk Sera.
"Kenapa?"
"Sera, masih kuliah, Ma. Aku tidak mau, teman-teman Sera, tahu."
"Kamu ini, gimana sih. Justru teman-teman kamu harus tahu, supaya tidak ada yang menggoda kamu. Lagipula, kamu anak Mama satu-satunya."
"Please, Ma. Sekali ini saja, tolong turuti Sera, Ma."
"Apa-apaan sih. Udah deh, Mama tidak mau. Kamu sebaiknya mandi."
Percuma! Sekalipun, Sera memohon. Keputusan sang ibu, tidak akan berubah. Lalu, kemana ia harus mengadu.
Papa?
Ah, percuma. Ayah dan ibunya adalah satu paket. Lalu, siapa?
Sera menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang. Pikirannya menerawang jauh. Ia pikir semua masalah sudah beres, ternyata muncul masalah baru.
Saat makan malam, sang ibu menceritakan kejadian sore tadi, saat sang calon menantu mengantar putri mereka. Ia bahkan menambahkan beberapa cerita, yang tidak ada dalam kejadian sebenarnya.
Melihat situasi yang lumayan bagus dan suasana hati orang tuanya sedang baik. Sera memberanikan diri untuk bersuara. Ini adalah masalah reputasi yang harus ia jaga dan pertahankan.
"Pa,"
"Kenapa, sayang?"
"Sera ingin pesta pernikahan nanti, cukup sederhana saja. Boleh, kan?"
"Sera," sela sang ibu, "Mama kan, sudah bilang, tidak."
"Kamu anak satu-satunya yang kami miliki. Papa dan Mama punya banyak kerabat, relasi dan teman kerja. Mustahil, kami tidak mengadakan pesta besar. Lagipula, calon suamimu juga bukan orang sembarangan. Mereka pasti menginginkan pesta besar, untuk putra semata wayang mereka."
Pupus sudah, harapan Sera. Ia langsung membisu, saat sang ayah memberikan jawaban. Ternyata, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima. Ia sudah tahu, ayah dan ibunya adalah satu paket. Tapi, masih juga mengharapkan keajaiban.
Sudah larut, Sera masih terjaga. Ia berguling-guling diatas kasur, sembari mengoceh. Kenapa tidak ada satu pun, solusi yang terlintas dalam otaknya. Lelah sendiri, ia tertidur tanpa menggunakan selimut.
🍓🍓🍓
"Kalian mau ketemu hari ini?" tanya Bella, yang mengantar Sera hingga depan pintu mobil yang terparkir dihalaman.
"Tidak tahu, Ma. Nanti aku telpon."
"Wita?" Bella menatap asisten sang anak.
"Saya mengerti, Bu."
Mobil melaju perlahan, keluar pagar. Wita sudah mengambil posisi, untuk menghapus riasan di wajah Sera. Padahal, riasan yang digunakan cukup natural. Namun, Sera tetap bersikeras untuk menghapusnya.
"Pak, turunnya depan rumah makan mie ayam."
"Baik, Non."
Hari ini, Sera hanya ada kelas siang. Pagi ini, ia hanya ingin bersantai dikantin dan mungkin diruang sekretariat. Ia ingin mencari ketenangan, dengan begitu kemungkinan akan ada sesuatu yang terlintas dalam pikirannya.
Sera berjalan kaki, seperti biasa dengan pakaian yang berbeda. Jeans hitam yang kelihatan pudar, kemeja kotak yang longgar dan sepatu kets putih. Jangan lupakan, tas ransel leluhurnya, yang seharusnya sudah diganti dengan yang baru.
Sera duduk sendirian di kantin, mengaduk-aduk mie rebus pedas. Sesekali menghela napas dengan berat, seolah hidupnya begitu sulit dan cobaannya begitu banyak.
"Lu, kenapa?" tegur Renata, sembari mengambil posisi duduk diseberang meja.
"Kepala gue mau pecah," jawab Sera dengan lemas.
"Kenapa? Lu, belum bayar kontrakan atau bapak lu, dimarahin mandor?"
Sera menatap Renata, dengan wajah penuh keputusasaan. Wajah yang seolah punya beban hidup tak terkira dan seolah paling menderita dimuka bumi.
Padahal, dalam hati sedang mengomel. Semua terjadi, karena kesalahannya. Mulutnya yang lancang, telah berbohong. Begitu ingin, terlihat paling menyedihkan, hingga mendapat perhatian. Ia juga bingung, kenapa hari pertama menginjakkan kaki dikampus. Ide sialan itu terlintas dan bodohnya lagi, otak pas-pasannya mendukung hal itu.
Padahal, berpakaian seperti sekarang sudah cukup. Tapi, entah kenapa ia menambahkan kisahnya, yang terlihat butuh didonasi.
Bayangkan saja, untuk meyakinkan kehidupannya yang menyedihkan. Sera sampai mengontrak rumah dalam gang sempit. Disana, ia menyimpan semua pakaiannya. Untuk mengambil, tentu saja si asisten, yang melakukan.
Jika tiba-tiba saja, ia muncul sebagai pengantin dengan latar belakang yang sebenarnya. Hancur sudah, kisah tragisnya. Ia sudah membayangkan, bagaimana teman-temannya akan shock. Padahal, hampir setiap hari, ia mendapatkan donasi. Mulai dari tumpangan gratis, makan gratis, bahkan kadang uang, yang katanya untuk bayar kontrakan rumah.
"Lebih parah, Ren."
"Apa?" tanya Renata, yang kini penasaran, "Kasitau gue, Ser. Kita bisa bantu."
"Ini masalah keluarga, Ren. Nanti aja, gue cerita."
Sera menikmati mie rebus, yang tampak sudah hampir dingin. Otak kecilnya, masih terus berpikir keras, mencari solusi.
Pukul 4 sore, kuliah Sera, sudah selesai. Ia berjalan lesu bersama teman-temannya. Kenapa? Kenapa hampir 24 jam, ia tidak terpikirkan apapun?
"Ser, gue antar," tawar Rio.
"Tidak usah, gue jalan kaki aja."
"Hello, kontrakan lu, jauh banget. Gue antar deh."
"Nggak usah. Gue mau, mampir ke pasar dulu. Sudah sore, gue mau bantu emak gue bawa dagangan."
Sialan, ni mulut. Lancar banget, bohongnya. Kenapa nggak diem aja sih?
"Kita bantu deh, Ser. Udah lama loh, kita nggak ke rumah kamu. Kalau nggak salah, cuman saat semester pertama, iya kan." Renata ikut bersuara.
"Iya, iya," imbuh yang lain.
"Lain kali, aja. Nih udah malam, ngapain ke rumah gue."
"Benar juga." Renata menatap langit yang mulai senja.
"Ya, udah. Gue, anterin sampe pasar."
Sera akhirnya menerima ajakan Rio. Jarak antara pasar dan kampus, tidak terlalu jauh. Dan seperti biasa, Sera meminta turun didepan toko sembako, tepat didepan pintu masuk pasar.
"Ser."
"Hmm."
"Kalau, lu butuh sesuatu. Jangan sungkan, untuk minta tolong ke kita."
"Renata, yang bilang, kalau gue lagi ada masalah?"
"Iya dan juga, wajah lu, menunjukkan semuanya."
"Nanti gue cerita,"
Gue masih harus mencari alasan.
"Ya, udah. Gue balik, dulu."
"Oke, makasih."
Sera kembali berjalan kaki, menuju minimarket, yang tidak jauh dari tempatnya saat ini. Disana, sudah ada pak Herman dan Wita menunggu dalam mobil.
Dengan cepat, ia segera masuk dalam mobil. Sementara Wita, sudah mengambil posisi seperti biasa. Begitu juga, pak Herman yang duduk merokok didepan minimarket.
"Non, ponselnya berdering."
"Coba lihat, siapa?" ujar, Sera. yang kedua matanya sedang terpejam.
"Donatur," baca Wita.
Sera langsung menyambar ponselnya.
"Halo, Kak."
"Temui aku, ditempat kemarin."
Sambungan langsung terputus. Sera menatap ponselnya, sembari mengumpat. Enak saja, dia nyuruh-nyuruh. Emang lu siapa? Begitulah kira-kira.
"Siapa, Non?"
"Mahluk gaib," ketus Sera, "Cepat deh, jangan kelamaan."
"Udah selesai, Non. Dikit lagi. Rambutnya, nggak usah di catok, udah seharian, nggak mungkin rapi terus."
"Hmm. Bajunya mana?"
Sera sudah berganti pakaian, make up natural yang hampir luntur dan rambut tergerai, hanya disisir seadanya.
Disana, pangeran mahluk gaib, sudah menunggu. Duduk manis, bersama asistennya. Sera berjalan masuk cafe dengan langkah anggun, bak model.
"Sore, Kak. Maaf telat."
"Duduk," perintah Bintang, "Dua minggu lagi, kita menikah!"
🍓🍓🍓
ceritanya bagus, jadi ga sabar nunggu up