Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Tidak Pernah di Hargai
"Istri mu itu benar-benar tidak sopan, diajak bicara malah pergi. Menantu tidak tahu diri, di beri saran bagus malah tidak suka" ucap ibunya.
"Biar nanti Alif bicara padanya, mungkin dia lelah karena berjualan, Bu," bela Alif.
"Justru itu makanya ibu menyuruhnya bekerja kantoran lagi, tidak capek duitnya juga banyak. Sedangkan kalau jual gorengan, sudah capek dapatnya tidak seberapa," imbuh ibunya.
"Nanti aku coba bicara dengannya lagi, Ibu tenang saja,"
"Apa uang belanja yang kamu kasih kurang? Mengapa penampilan istri mu seperti itu?"
Alif bingung untuk menjawabnya, ia tidak ingin ibunya tahu tentang masalah dalam rumah tangganya. Ia tidak ingin terlihat gagal menjadi seorang kepala keluarga di hadapan ibunya. Ia takut ibunya bersedih atau justru marah kepadanya, baginya perasaan ibunya sangat penting melebihi yang lain.
"Semua sudah aku serahkan kepada Rania untuk mengurus kebutuhan rumah tangga, tapi mungkin belum cukup untuk membeli kebutuhannya, Bu," jawab Alif.
"Itu berarti istri mu tidak pandai mengatur keuangan, titlenya saja sarjana ekonomi tapi mengurus uang suami saja tidak becus,"
Rania mendengar semua obrolan mereka, yang lain juga pasti mendengarnya karena rumah itu tidak terlalu luas. Alif terlihat diam saja, tidak ada usaha lagi membela istrinya. Padahal selama ini suaminya tidak pernah menafkahinya dengan layak, contohnya jika pengeluaran mereka sebulan di angka 2 juta rupiah, maka Alif hanya akan memberinya 500 ribu rupiah. Sisanya Rania yang akan mati-matian menutupinya.
"Sabar ya Rania, memang begitulah mulut mertua mu. Semua orang tidak ada yang benar di matanya, lebih baik tidak perlu terlalu sering kemari agar tidak sakit hati. Kasihan anak-anak mu jika sampai rumah tangga kalian bermasalah karena mendengar ocehannya,"
Nenek suaminya berkata dengan lirih sembari mengusap punggung Rania dengan lembut. Rasanya ia tidak sanggup berada di sini lebih lama lagi, tapi rasanya tidak enak dengan saudara suaminya yang lain jika pulang terlalu cepat.
Sebenarnya bukannya Rania tidak ingin bekerja kantoran lagi, hanya saja di mana perusahaan yang mau menerima wanita berusia 36 tahun dengan posisi yang bagus sementara yang masih muda saja banyak yang menganggur? Rania sadar diri, walaupun dia wanita yang cukup pintar dalam hal akademik namun faktor usia sangat berpengaruh. Setiap lowongan kerja yang ia baca rata-rata memberi syarat usia maksimal 30 tahun. Lalu untuk apa membuang-buang waktu untuk suatu hal yang tidak pasti, sedangkan yang pasti sudah ada jalannya di depan mata?
"Tapi aku tidak tahan mendengarnya Nek, seolah-olah semua adalah kesalahan ku. Aku sudah lelah, 11 tahun bukan waktu yang sebentar untuk berkorban. Sakit rasanya jika semua yang kita lakukan tidak pernah dihargai,"
Rania tidak sanggup lagi menahan air matanya, rasa sakit yang terpendam begitu lama luruh bersama derasnya air mata yang terjun bebas di pipinya. Pelukan wanita tua itu bahkan tidak mampu memupus kegundahan di dalam dadanya. Jika bunuh diri itu tidak dosa, mungkin sudah lama ia melakukannya. Terkadang ia merasa Tuhan tidak adil kepadanya, diberi penderitaan yang tidak pernah ada ujung pangkalnya. Namun saat ia mulai menghujat, seketika Tuhan akan memberinya kebahagiaan tanpa bisa ia sangka. Dan akhirnya dia hanya bisa pasrah.
"Alif," panggil neneknya.
"Ya Nek, ada apa?" tanya Alif, menghampiri mereka.
"Ini sudah malam, besok anak mu sekolah dan istri mu berjualan. Lebih baik kalian segera pulang, rumah kalian juga sangat jauh, kasihan Bintang," suruh neneknya.
"Mereka baru saja datang, kenapa Ibu suruh pulang? Alif itu putra ku, bukan hanya suami Rania. Ibu jangan terlalu mendengarkan si ratu drama itu, apa-apa di buat seperti sinetron"
Belum juga Alif menjawab, ibunya sudah menyahuti dengan ketus. Suasana menjadi semakin panas, semua hanya bisa menyimak tanpa berusaha menengahi.
"Sudahlah Sayang, kamu jangan berkata begitu. Rania itu juga punya perasaan, jangan berkata yang terlalu menyakitkan. Bayangkan jika putri mu yang di perlakukan begitu," kali ini ayah mertuanya mencoba membelanya, sedangkan suami yang di harapkannya hanya diam membisu.
"Aku hanya bicara kenyataan, memang dia begitu kok," ucapnya sembari mencebikkan mulutnya.
Rania memandang tajam ke arah suaminya, Alif merasakan kode dari istrinya yang sedang marah. Ia kini berada di posisi yang sulit, bagaikan makan buah simalakama, pilihan apapun yang ia pilih sama-sama beresiko. Namun cintanya kepada Rania mampu membuatnya mengambil keputusan, ia masih ingin membina rumah tangga dengannya.
"Kami pamit pulang duluan ya, ucapan nenek tadi benar. Jika ada waktu kita akan kemari lagi,"
Melihat putranya lebih menuruti istrinya timbul rasa iri di hati ibunya. Wanita itu begitu tidak senang, dia yang susah payah merawatnya sedari kecil kini rasa sayangnya lebih besar kepada wanita yang baru sekian tahun mendampinginya.
Mereka segera berpamitan kepada semua orang. Rania tetap menyalami ibu mertuanya walaupun wanita itu menepisnya. Wanita itu seolah mengajak perang Rania, namun ia malas untuk menanggapinya. Ia merasa kehidupannya sudah sangat sulit, untuk apa menabuh genderang perang hanya untuk menuruti ego semata.
Kendaraan roda dua mereka mulai melaju membelah jalanan ibu kota Surabaya. motor yang sudah sempit menampung mereka berempat, semakin penuh sesak tatkala Rania menjaga jarak dengan suaminya. Dia masih merasa kesal kepada suaminya, sikap diamnya membuat posisi Rania semakin terpojok di mata keluarga suaminya.
"Dek, pegangan nanti jatuh," ucap Alif.
Rania tidak mengindahkannya, sampai di rumah pun dia memilih diam. Setelah berganti pakaian ia segera menemani anak-anaknya tidur. Rasa kesal dan lelah yang bersatu membuatnya segera di lenakan buaian angin malam.
'Maafkan aku Nia, aku tahu kamu sakit hati dengan ucapan ibu. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak sanggup melihat ibu menangis. Aku tidak mau menjadi anak durhaka.' Alif hanya bisa membatin manakala melihat istrinya tertidur dengan mata sembab.
Udara dingin membuat naluri kejantanan Alif bangkit, apalagi ketika melihat daster istrinya tersingkap sebatas paha, memperlihatkan sesuatu yang sangat membangkitkan syahwat. Ia mulai m*nc*mbu istrinya yang sedang terlelap. Awalnya Rania hanya diam, namun r*ngs*ngan demi r*ngs*ngan yang suaminya berikan mampu membangunkannya dari alam mimpi.
"Mas, aku mengantuk," ucap Rania dengan mata terpejam.
"Tapi aku merindukan tubuh mu, Sayang," rayu Alif.
"Apa tidak bisa besok saja?"
"Sebentar saja, biar aku yang membuat mu puas,"
Rania hanya bisa pasrah. Pernikahan mereka yang cukup lama membuat Alif hapal betul kelemahan istrinya. Gairah mereka tidak pernah padam jika menyangkut hubungan suami istri. Komunikasi yang baik untuk saling memuaskan membuat mereka mengerti satu sama lain. Namun sayang ini sangat berbanding terbalik dengan masalah perekonomian mereka yang masih saja suram.