Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ban 23
Siang itu, Lily meminta kamar mereka disatukan menjadi suite dengan kolam tenang pribadi. Seorang staf datang membantu, dan mereka pun memindahkan koper Lily ke kamar Andre yang kini menjadi milik mereka berdua.
Setelah semuanya selesai, Lily menikmati kamar itu dengan bekerja sambil melihat sunset di pinggir kolam. Lalu menatap langit Bali yang berbintang. Andre kembali dari acaranya, melihat Lily yang masuh terduduk di pinggir kolam. “Aku kembali.” Sahut Andre lalu Ia duduk di sofa, membuka laptopnya—masih ada revisi presentasi untuk forum Himpunan Pengusaha Muda Konstruksi Indonesia esok hari. Tapi kali ini, pikirannya tidak sekelam sebelumnya. Ada Lily di sisi lain ruangan. Ada kehangatan yang baru.
“Kamu ngapain?” tanya Lily, melihat layar laptop yang penuh grafik.
“Finalisasi slide buat presentasi besok,” jawab Andre. “Ada calon investor juga yang bakal hadir.”
“Topiknya?”
“Pembangunan Ciledug City. Kita mau rebranding kawasan lama jadi kawasan teknologi dan urban living. Tapi ada isu korupsi internal yang harus aku tangani dulu.”
Lily bangkit, mendekat, duduk di sebelah Andre sambil melihat layar. “Boleh aku lihat? Aku jago loh baca laporan. Dulu kerjaanku tiap hari kayak gini sebelum buka restoran.”
Andre menyerahkan laptopnya, lalu menatap Lily yang begitu fokus.
“Bagian ini perlu kamu benerin,” katanya sambil menunjuk salah satu tabel. “Laporan keuangannya nggak sinkron sama growth projection kamu. Kalau presentasi di depan orang kayak Pak William atau Bu Harumi, bisa dicela mentah-mentah.”
Andre mengangguk, tersenyum. “Thanks. Kamu bener.”
Lily menyandarkan tubuh ke bahu Andre. “Mulai sekarang, biar aku bantu. Kita ini partner, ya?”
Andre memeluk bahunya. “Ya. Kita partner.”
Andre menyelesaikan slidenya saat Lily mandi, di dalam kamar suite yang kini menyatu, suasana malam terasa lebih damai. Lampu redup menyinari ruang tamu, dan angin laut dari balkon membawa aroma asin yang samar. Andre masih duduk di sofa, namun laptopnya sudah mati. masih mengenakan celana panjang dan kemeja kasual yang atasannya sudah dilepas satu kancing. Lily muncul dari kamar mandi.
Dengan rambut setengah basah dan piyama satin yang jatuh longgar di tubuh rampingnya, Lily terlihat lebih ringan malam itu. Ia membawa dua gelas wine dan menyodorkan satu ke Andre.
“Terima kasih,” gumam Andre sambil menerimanya. Matanya menatap Lily dengan senyum samar.
“Gimana rasanya dua malam sendirian di hotel butik Bali tanpa aku?” tanya Lily santai, duduk di samping Andre.
Andre terkekeh, menatap gelasnya. “Kosong. Hotelnya mewah, tapi nggak ada kamu.”
Lily tersenyum, kemudian menatap Andre. “Kamu tanya aku ngapain selama kamu hilang?”
Andre mengangguk, lebih serius. “Iya. Apa yang kamu lakukan? Sehatin tanpa aku?”
Lily memainkan pinggiran gelasnya, suaranya agak menggoda. “Aku meeting. Mengurus perpindahan manager restoran. Mengurus akuntan baru. Dan—” ia menoleh, matanya tajam tapi main-main, “mikirin kamu. Lumayan sering.”
Andre mengangkat alis, geli. “Mikirin aku?”
“Yup,” jawab Lily sambil menyandarkan bahunya ke lengan Andre. “Mikirin kamu bakal balik atau enggak. Dan kalau balik… tidur di kamar yang mana.”
Andre terkekeh kecil, lalu menatap wajah Lily yang kini begitu dekat.
“Kenapa?” tanya Lily pelan.
Andre menggeleng pelan. “Aku cuma lagi nyari keberanian buat bilang… aku kangen kamu.”
Lily diam sebentar, menatapnya. Lalu, tanpa peringatan, ia bergeser naik ke pangkuan Andre, duduk menghadapnya.
Tubuh Lily bergerak perlahan di atas pangkuan Andre, napasnya semakin berat, dadanya naik turun seiring hasrat yang tak lagi bisa dibendung. Mereka saling menggenggam, saling memanggil dalam bisu, dalam desah yang hanya bisa dimengerti oleh tubuh mereka sendiri.
Saat bibir Andre kembali mencumbu leher Lily, tubuh wanita itu menggigil dalam pelukannya. Ia tak lagi malu. Tak lagi menahan. Tangannya menuntun Andre, membiarkannya menyatu sepenuhnya dengannya di atas sofa sempit itu—tanpa melepas seluruh pakaian, namun cukup untuk menyatukan mereka dengan sempurna.
Desahan Lily pecah tertahan, tubuhnya meliuk dalam irama yang tak mereka atur, tapi seolah telah ditulis oleh rasa yang tak terbendung.
“Andre…” bisiknya di antara ciuman.
Andre hanya menjawab dengan gerakan yang lebih dalam, lebih lembut, lalu perlahan lebih menggila. Mereka saling mencari, saling memenuhi. Di tengah kekacauan dunia, hanya ada satu kejelasan malam itu: mereka milik satu sama lain. Bukan hanya tubuh—tetapi hati, keraguan, dan kerinduan yang selama ini tersembunyi.
Sofa itu berderit pelan, napas mereka bertabrakan, dan Lily menengadah dengan mata terpejam ketika tubuhnya mencapai puncak gelombang. Ia melenguh pelan, menggigit bibirnya, dan jatuh dalam pelukan Andre saat semuanya usai.
Andre mengecup keningnya, masih terengah, masih memeluknya seolah tak ingin kehilangan detik pun dari kebersamaan ini.
Mereka tak bicara. Tak perlu.
Tubuh mereka yang saling bersandar, kulit yang masih panas, dan napas yang tersisa… telah mengatakan segalanya.
Mereka menyatu malam itu. Tidak dengan kemarahan, tidak dengan mabuk, tidak dengan rasa takut ditinggalkan. Tapi dengan pilihan yang sadar. Dengan rindu. Dengan keinginan yang matang dan lembut.
Di sofa, di bawah lampu temaram, mereka melampaui batas-batas yang sebelumnya mereka buat sendiri. Dengan pakaian setengah terbuka, dengan hati yang lebih telanjang dari tubuh mereka.
Dan saat Lily tertidur di pelukan Andre, napasnya stabil, tubuhnya tenang… Andre menyadari satu hal:
Malam ini bukan hanya tentang hasrat.
Tapi tentang penerimaan.
Dan keberanian untuk tidak lari lagi.