kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Kedatangan Aji
Pagi itu, matahari baru saja muncul di balik bukit timur Desa Karangjati. Embun masih menggantung di ujung dedaunan, dan aroma tanah basah menguar pelan setelah semalam diguyur gerimis. Suasana desa sedikit lebih tenang setelah serangkaian kejadian mengerikan yang mengguncang hampir seluruh warga.
Namun, ketenangan itu segera terusik oleh suara motor tua yang meraung pelan di ujung jalan desa. Seorang pemuda gagah mengenakan peci hitam dan baju koko sederhana turun dari motor bebek warna biru pudar. Wajahnya tenang, matanya tajam namun teduh. Ia adalah Aji, anak dari Pak Rahmat—salah satu warga yang dulu merantau dan kini menetap kembali di Karangjati.
Beberapa warga yang sedang duduk-duduk di warung Mak Sumi menoleh.
Pak Min: “Lha, itu sopo? Kayak ora asing…”
Mak Sumi: “Aji, anak Pak Rahmat. Yang mondok niku lo… pulang juga akhirnya.”
Pak Min: “Wah, pas banget. Desa butuh pemuda sekuat batin, sebijak dia.”
Aji menyalami orang-orang yang ditemuinya dengan santun. Setiap jabat tangan disertai senyum ramah, namun dalam matanya tersimpan kewaspadaan. Ia merasakan hawa tak biasa sejak melintasi batas desa.
Di Rumah Pak Rahmat
Pak Rahmat, ayah Aji, menyambutnya dengan mata berkaca-kaca.
Pak Rahmat: “Alhamdulillah, kau pulang juga, Le. Aku ngerasa... ada yang memanggil.”
Aji: “Saya juga merasa begitu, Pak. Bukan sekadar rindu. Tapi seperti ada yang mengajak... untuk kembali.”
Ibu Aji segera menghidangkan teh panas dan pisang goreng. Tak lama, suara ketukan terdengar.
Udin: “Permisi, Pak Rahmat. Aji, eh… Mas Aji, sampeyan pulang, ya?”
Pedot: dari belakang Udin, suara pelan “Alhamdulillah, tolong bantu desa ini, Mas…”
Aji: tersenyum “Aku baru saja sampai, tapi sudah dengar banyak cerita. Tentang nenek bisu... dan sesuatu yang lebih besar.”
Pertemuan dengan Pak Lutfi dan Mbah Tejo
Tak lama setelah kabar kedatangan Aji menyebar, Pak Lutfi datang mengundang Aji untuk sowan ke langgar. Di sana, Mbah Tejo sudah menunggu, duduk bersila seperti biasa dengan wajah serius.
Mbah Tejo: “Jadi ini bocah cilik sing dulu ndableg dan suka main di pemakaman, saiki dadi santri…”
Aji: tersenyum “Saya masih belajar, Mbah. Tapi semoga bisa sedikit membantu.”
Pak Lutfi: “Kami butuh bantuanmu, Aji. Ini bukan gangguan biasa. Ada pusaka yang dicari… ada warisan ilmu hitam yang belum benar-benar padam.”
Mbah Tejo: “Pusaka itu tersegel di wilayah sebelah alas. Dulu dikunci oleh empat penjaga. Tapi dua dari mereka sudah wafat, dan satu menghilang. Penjaga terakhir… barangkali kau.”
Aji terdiam sejenak. Di dalam batinnya, ada desir aneh. Seolah alam pun tengah berbicara padanya.
Malam Hari – Ronda Bersama Udin dan Pedot
Malam harinya, Aji ikut ronda bersama Udin, Pedot, dan beberapa warga. Mereka berkumpul di gardu, membawa senter, kentongan, dan termos kopi.
Udin: “Mas Aji, sampeyan nek diajak ronda ora takut? Biasane, wong pondok kuwi takut hantu, lho…”
Aji: tertawa kecil “Yang takut hantu itu bukan karena pondok atau tidak, Din. Tapi karena hati yang belum yakin siapa pelindungnya.”
Pedot: bisik ke Udin “Lho... pantesan gayane Mas Aji beda. Ngomonge ngademke, yo...”
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di kejauhan. Tapi ketika mereka sorotkan senter, tak ada siapa-siapa. Aji langsung duduk bersila, menunduk sebentar, lalu berdiri.
Aji: pelan “Ada yang mengikuti kita. Tapi jangan panik. Ini baru pengintai.”
Udin: “Lah… pengintai? Lah terus?”
Aji: “Makhluk penjaga wilayah gaib yang terusik. Mungkin karena pusaka itu mulai diburu.”
Penampakan di Pinggir Sungai
Di tengah ronda, mereka melewati pinggiran sungai kecil yang membelah desa. Di sana, samar-samar terlihat sosok seperti nenek-nenek berdiri membelakangi mereka.
Udin: “Astaghfirullah… iku nenek bisu??”
Pedot: “Mataku rabun... tapi rasa takutku terang banget iki…”
Aji: “Tenang. Itu bukan nenek bisu. Tapi sosok yang mengambil rupa beliau. Kita tidak boleh mendekat.”
Aji merogoh kantong kecil berisi garam, kemudian menaburkan sedikit ke tanah dan membaca doa pelindung. Sosok itu perlahan menghilang seperti asap.
Udin: “Masya Allah… iku garam apa garam berkah, Mas?”
Aji: tersenyum “Ilmu bukan di alatnya, tapi di ikhtiarnya.”
Pusaka yang Dicari
Keesokan harinya, Mbah Tejo mengajak Aji melihat peta kuno peninggalan salah satu penjaga pusaka.
Mbah Tejo: “Pusaka ini bukan sekadar keris. Ia penyegel. Kalau jatuh ke tangan dukun dari desa sebrang itu…”
Aji: “Saya tahu siapa yang Mbah maksud. Ia pemilik ilmu hitam warisan. Dulu pernah mengirim jin ke pesantren tempat saya mondok.”
Mata Mbah Tejo membelalak.
Mbah Tejo: “Kau sudah pernah bersentuhan dengannya?”
Aji: “Dan saya rasa... kita akan bertemu lagi. Kali ini... di Karangjati.”
Sore itu, Aji berdiri di pematang sawah, memandangi matahari yang perlahan tenggelam. Angin mengibaskan ujung sarungnya, dan desir suara rumput seperti bisikan gaib yang tak bisa dimengerti.
Aji: dalam hati “Desa ini... bukan hanya rumah masa kecilku. Tapi ladang perjuanganku kini.”
Dan di kejauhan, dari balik hutan, asap hitam mulai muncul. Tanda bahwa malam-malam yang lebih gelap akan segera datang.