Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Penuh Kenangan
Rama keluar dari kamarnya. Menuruni anak tangga dengan menenteng koper kecil. Rencana akan tinggal di Ciamis selama 5 hari. Selain untuk melongok cabang usaha yang sementara berstatus bungsu. Juga untuk melepas rindu terhadap nenek dari ibunya. Rindu suasana alam yang saat kecil pernah bersekolah SD di sana. Menyempatkan berenang bersama teman-teman sepulang sekolah di sungai setiap hari sabtu. Ah, sungguh flashback masa kecil berputar di otaknya. Membuatnya bersemangat ingin segera berangkat pagi ini.
"Jalan sekarang?!" Damar, sahabat sekaligus asistennya menatap kedatangan Rama. Ia bergabung di meja makan bersama orangtua Rama menikmati secangkir kopi hitam. Menolak tawaran sarapan pagi karena sudah sarapan terlebih dahulu di apartemennya.
"Bentar nunggu Cia. Dasar cewek suka lama." Rama mendecak. Menarik kursi untuk duduk dan mengambil 2 lembar roti tawar dan mengolesnya dengan selai sarikaya.
"Den Rama mau kopi atau teh?" Bi Lilis menyapa anak majikan yang sudah diasuhnya sejak umur 5 tahun. Sudah tahu jika permintaan Rama tak melulu kopi, kadah teh tubruk manis atau teh tawar.
"Kopi aja, Bi. Less sugar."
Bi Lilis menganggukkan kepala. Sering kali mendengar istilah-istilah bahasa inggris yang diucapkan Rama, menjadikannya faham karena ia suka bertanya artinya. Langkahnya masih tetap gesit diusia yang sudah tidak muda lagi. Berlalu menuju dapur.
"Kak---- tolongin dong berat!"
Teriakan Cia dari tangga paling atas terdengar nyaring sampai ke ruang makan.
"Biar sama aku aja!" Damar menahan Rama yang akan bangkit. Ia menuju arah tangga. Nampak Cia dengan outfit sporty berdiri dengan koper besar yang didorongnya sejak dari kamar.
"Kamu mau liburan atau pindahan?" Damar menyeringai, lalu menggelengkan kepala melihat barang bawaan milik adiknya Rama itu. Ada koper besar, tas punggung yang sudah digendong, ditambah slingbag. "Padahal sekalian bawa sama lemarinya." ledeknya diiringi kekehan.
Cia memukul bahu Damar. Mendelik sebal. "Cewek emang gini, Kak. Banyak pernak perniknya. Makanya jangan jadi jones terus biar tahu seputar dunia cewek. Tuh kayak Kak Rama yang sering dipusingin sama kemauan Kak Zara." Ujung-ujungnya membicarakan sang kakak yang nampak tak bahagia memiliki tunangan.
"Cih. Gue mah ogah punya pacar kayak si Zara." Damar adalah saksi dimana hampir tiap hari Zara datang ke kantor untuk bertemu Rama. Terkadang meminta diantar ke sini lah, ke situ lah. Kemauan yang harus dituruti. Jika tidak, akan mengadu kepada ayahnya Rama untuk meminta dukungan.
Obrolan berhenti begitu Rama datang mendekati tangga.
"Sampaikan salam sama Enin dan keluarga besar di Ciamis." Papi Krisna berdiri bersama sang istri di samping mobil Pajero Dakar milik Rama. Kedua anaknya sudah siap berangkat. Termasuk dirinya yang juga bersiap akan ke kantor.
"Damar, moga aja ada dapat jodoh mojang Ciamis." Mami Ratna menggoda Damar yang baru memasukkan sepeda lipat milik Cia ke bagasi.
Damar tertawa sumbang. "Aku aminin deh, Tan." Kedua telapak tangannya diusapkan ke muka. Membuat Rama menarik satu sudut bibir ke atas. Mencibir.
"Mami ikut kita aja daripada di rumah kesepian. Toh Papi pulangnya kadang malam." Bujuk Cia dengan tangan menggelayut di lengan maminya.
"Huss, enak aja." Papi Krisna menoyor kening si bungsu. "Papi bakal mogok makan kalau gak ada Mami," sambungnya sembari mengecup kepala yang berbalut hijab, ibu dari anak-anaknya itu. Tangannya merangkum bahu sang istri yang sudah menemaninya melalui pahit manis 32 tahun pernikahan.
"Idih, manja and lebay---" Cia memeletkan lidah melihat sang ayah pamer kemesraan.
"Aku berangkat dulu, Mam." Rama memeluk Mami Ratna. Mencium tangan sembari meminta do'a keselamatan.
Rama beralih berhadapan dengan Papinya dengan wajah datar. "Berangkat, Pi." Memeluknya sekilas. Sejak diputuskan untuk bertunangan dengan Zara, setahun yang lalu, hubungan anak dan ayah itu lama-lama menjadi renggang. Lebih tepatnya Rama yang memberi jarak. Karena selama 4 bulan menyelami kepribadian Zara, sama sekali tidak ada kecocokan. Protesnya yang menolak melanjutkan pertunangan itu tidak digubris oleh sang ayah.
"Zara gadis yang cantik. Anak dari keluarga terpandang. Papi gak nyuruh kamu buru-buru nikah. Jalani aja dulu. Witing tresno jalaran soko kulino."
Karenina.
Rama menggeram. Emosinya tersulut lagi mengingat nama yang pernah melambungkan asa. Namun akhirnya memupus angan masa depan yang sudah sempurna dipersiapkannya. Pekerjaan yang sudah mapan, plus hunian yang sudah dibeli di kawasan Pondok Indah siap diberikan sebagai surprise setelah pernikahan impian nanti terwujud. Telak terciduk oleh mata kepala sendiri sedang berselingkuh. Kepercayaannya menjalani LDR dibayar dengan pengkhianatan.
"Woy, lo denger gak gue ngomong?!"
Keplakan di bahunya membuat Rama tergeragap. Tak menyadari jika dari tadi sedang anteng dengan pikiran yang berkelana meratapi kisah percintaan yang menyedihkan. Bagai menjalani peran dalam sebuah sinetron. Miris.
"Apa, bro?" Rama menoleh ke samping. Balik bertanya pada Damar yang ditugaskan menjadi driver. Tak terasa perjalanan sudah memasuki gerbang tol Cikampek. Sekitar 3 jam lagi sampai di tempat yang dituju.
"Lo kalau kangen Zara kenapa gak diajak aja sih. Bukannya melamun gitu. Kangen ya hari ini belum ketemu?"
Rama meninju bahu Damar sebagai jawaban dari pertanyaan menyebalkan itu. Tahu, jika sahabatnya itu sedang meledeknya. Kemarin ia sudah curhat tentang kelakuan Zara yang tidak punya malu masuk ke dalam kamarnya. Padahal beberapa kali sudah ditegur.
Damar menginjak pedal gas, menaikan kecepatan saat mobil sudah melewati gerbang tol. Lalu lintas di jalanan tol nampak lengang di hari senin ini.
"Gue tadi nanya. Kenapa gak pakai cincin? Jangan bilang pengen nyari mojang Ciamis juga." Ujar Damar diiringi tawa. Fokusnya tetap terjaga tanpa melirik penumpang di sampingnya. Situasi berada di jalan tol membutuhkan konsentrasi penuh.
"Emang---" Rama menjawab asal. Malas meladeni pertanyaan yang sering berulang setiap kali ia melepas cincin jika ada acara hang out dengan kawan-kawan.
"Tenang, Kak. Aku bakal dukung pemberontakan kalau kakak sampai kecantol mojang Ciamis." Cia mulai buka suara setelah melepas headsetnya. "Ogah banget punya kakak ipar kayak Zara," sambungnya. Mengompori sang kakak agar memutuskan hubungan dengan Zara.
Rama mendecak. "Ngapain jadi pada bahas mojang Ciamis segala. Kita ke sana untuk kerja bukan jatuh cinta!"
...***...
"Ciamis, we are coming! Hu hu----! Cia memekik senang saat mobil memasuki fly over Rajapolah. Merupakan jalan nasional menuju perbatasan Tasik - Ciamis utara. Yang ditandai adanya sungai Citanduy sebagai batas perbatasan dua kota itu dan dihubungkan oleh jembatan jalan nasional.
"Stop dulu, Mar!" Rama memberi kode tangan untuk menepi usai mobil melewati jembatan perbatasan. Dengan raut bingung, tak urung Damar menuruti perintah Rama.
Rama melepas sabuk pengaman. Berpindah ke jok tengah dan duduk di samping adiknya. Mobil pun melaju kembali.
Cuaca siang yang teduh begitu mendukung. Rama berdiri dengan berpijak pada jok. Dari sunroof yang sengaja dibuka senyumnya begitu merekah. Dari balik kaca mata hitam, menatap pemandangan gunung sawal yang hijau rimbun membentang dan menjulang sepanjang jalan raya yang dilalui. Pemandangan alam yang tak akan ditemui di ibukota. Membuat beban yang menggelayuti pikiran serasa lepas tertiup angin. Tak mempedulikan tatapan orang-orang yang memperhatikannya sepanjang jalan yang dilalui dengan mobil yang berjalan pelan. Ia melipat tangan di dada memandang hamparan sawah yang hijau. Nun jauh hutan gunung sawal yang tinggi menjulang seolah mengejar laju mobil.
Rumah yang dituju yang berada di kaki gunung sawal nampak terlihat. Bangunan tempo dulu bergaya arsitektur minimalis namun masih kokoh dan mencolok. Gaya arsitektur yang tak lekang oleh waktu, berlaku sepanjang zaman. Menunjukkan pemiliknya merupakan tokoh atau sesepuh ternama di wilayah itu. Berbeda dengan rumah di sekitarnya dengan model sederhana dan ada beberapa bergaya modern mengikuti tren.
Mobil memasuki halaman rumah yang luas dengan taman yang asri terawat. Pintu gerbang dibukakan oleh pegawai kepercayaan pemilik rumah itu.
"Assalamu'alaikum, Enin---" Cia menghambur lebih dulu memeluk sang nenek yang menyambutnya di teras, duduk di kursi goyang. Kemarin sudah mengkonfirmasi akan maksud kedatangan hari ini.
"Enin....aku kangen deh." Cia memeluk sang nenek dengan manja. Ia yang paling sering pulang kampung atau mudik setiap menjelang lebaran. Jadi begitu dekat dengan neneknya yang masih segar bugar itu.
Rama berdiri mematung di depan dua wanita berbeda generasi itu. Yang masih saling melepaskan kangen. Terakhir kali menginjakkan kaki di rumah yang penuh kenangan masa kecil itu, adalah saat anniversary kesatu supermarket RPA cabang Ciamis. Kemudian tidak pernah ikut mudik 3 tahun terakhir ini. Memilih libur lebaran dengan liburan ke luar negeri bersama teman-temannya.
"Mau sampe kapan berdiri terus?" Enin membuyarkan lamunan Rama. "Syukurlah masih ingat sama kampung halaman," sambungnya. Menyindir sang cucu yang sudah lalai tidak mengunjunginya.
"Enin...maafin Rama ya." Rama bersimpuh. Jika dihadapan karyawannya, ia akan bersikap cool dan penuh wibawa. Namun di depan sang nenek, ia merajuk bagaikan anak kecil yang takut kena hukuman. Meskipun suka berkomunikasi lewat telepon, tetap saja menurut sang nenek itu kurang.
Enin memeluk Rama. Kasih seorang nenek tak pupus oleh masa. Selalu penuh mafhum dan memiliki stok maaf seluas samudra.
"Sering-seringlah ke mari, Nak. Nenekmu ini masih hidup. Jangan seperti Papi kamu---"
Rama menganggukkan kepala di balik punggung sang nenek. Meski ucapan terakhir nenek berusia kepala 7 itu serasa ambigu.
"Insyaa Allah, Enin. Mulai sekarang Rama akan sering datang ke Ciamis." Rama berjanji dengan yakin. Akan lebih memperhatikan satu-satunya nenek yang masih ada itu.
"Ini----" Enin menatap Damar. Seperti berusaha mengingat-ngingat wajah yang sedang bersimpuh di belakang Rama.
"Saya Damar. Apakah Enin masih ingat?" Dengan anggukkan sopan, Damar memperkenalkan diri.
Enin terkekeh. "Iya-iya.....ingat sekarang. Kamu yang dulu loncat ke tengah kolam ikan waktu dikejar kerbau yang ngamuk kan?!"
Rama dan Cia tertawa. Apa yang dikatakan Enin benar adanya. Damar hanya tersenyum meringis sembari menggaruk kepala yang tak gatal. Teringat betapa paniknya dulu saat sedang lari pagi malah dikejar kerbau petani yang ngamuk.