🥀 sad ending🥀
Semua orang memiliki takdirnya sendiri. Dan dalam setiap takdir memiliki masa dengan cerita yang berbeda.
Seperti dua bocah ini yang ditakdirkan untuk bertemu, saling mengenal, dan menyayangi. Mereka itu Langit dan Jingga.
Namun sebuah keadaan memaksa mereka untuk berpisah dan justru menyisakan sebuah kesalahpahaman bagi Langit.
Setelah belasan tahun berpisah. Sebuah takdir kembali mempertemukan keduanya. Tapi kali dalam situasi yang berbeda. Mereka tidak saling mengenal satu sama lain.
Hingga tumbuhlah benih -benih cinta di hati keduanya. Namun ada sebuah ikatan yang sudah terjalin sebelumnya. Dan ikatan itu tidak bisa putus begitu saja.
Disinilah semua akan diuji. Baik oleh ikatan cinta maupun ikatan persahabatan. Karena tanpa Jingga ketahui, sababatnya memendam sebuah rasa untuk tunangannya. Rasa yang disebut cinta.
Akankah kali ini takdir akan menyatukan keduanya. Langit dan Jingga. Atau takdir memiliki ketentuannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembalinya Johan
Ciiiitttt..... bunyi suara rem yang diinjak secara mendadak memekakan telinga.
Pengemudi mobil itu segera keluar dan langsung berlari melihat keadaan orang yang hampir saja ditabraknya. Di lihatnya seorang wanita yang berjongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan tepat di depan mobilnya.
Tubuh wanita itu gemetaran. Si pengemudi segera mendekat dan berusaha menyentuh bahu wanita itu.
"Nona, Mbak, Ibu, Nyonya....ah aku harus manggil dia apa?" gumam pengemudi itu frustasi sendiri hanya karena sebuah nama. Mungkin efek kepanikan juga.
"Ibu, baik-baik saja?" Akhirnya sebutan itulah yang dia pilih. Pengemudi itu sudah berada di depan wanita itu dan menyentuh bahu wanita yang masih menyembunyikan wajahnya itu.
"Akh...pergi kau! Menjauhlah dariku! Jangan berani menyentuhku!" Teriak histeris wanita itu sambil menepis tangan yang sudah berani memegang bahunya. Membuat pengemudi itu menjauhkan dirinya.
Pengemudi itu menjadi bingung atas respon yang diberikan wanita di depannya itu. Warga yang berada di sekitar lokasi kejadian kini sudah berdiri mengerumuni mereka berdua.
"Bagaimana, Pak? Apa Ibu itu terluka?" Tanya salah satu warga yang melihat kronologi kejadian yang sebenarnya.
"Saya juga tidak tahu, Pak. Ibu itu menjerit histeris saat saya dekati. Saya jadi bingung!"
Pengemudi itu menelisik penampilan sang wanita yang tak biasa. Dia tampak gelisah dan ketakutan.
Mungkinkah karena dia masih syok tapi sepertinya ada hal yang lainnya juga. Tapi apa, pikir si pengemudi itu.
Hingga suara seseorang membuyarkan kerumunan disana.
"Permisi, mas, mbak, saya ingin melihat wanita yang hampir tertabrak itu!" Ucap seseorang gadis muda yang memakai seragam perawatnya. Dia membelah kerumunan orang agar bisa mendekat.
"Ah, iya benar!" Seru perawat itu. "Pak, ini benar Bu Hesti. Cepat kemari!" Panggil perawat ini pada rekannya.
"Maaf Pak, dia salah satu pasien kami. Tadi beliau berusaha kabur dari rumah sakit!" Jelas perawat itu.
Yang dipanggil Pak tadi pun datang dan berusaha menolong. Namun Bu Hesti, pasien yang kabur itu justru melakukan perlawanan hingga membuat keduanya kewalahan.
"Bisakah Bapak membantu saya memegangi tubuh Ibu ini? Saya akan memberinya suntikkan penenang?" Ucap perawat itu pada si pengemudi.
Pengemudi itu mengangguk dan segera memposisikan tubuhnya mendekati wanita itu. Dia segera mendekap tubuh wanita itu walau selalu mendapat penolakan darinya.
Wanita itu terus meronta dalam dekapan si pengemudi. Sang perawat segera memberi suntikkan di lengan Ibu itu dibantu rekannya tadi. Setelah menunggu beberapa menit, efek obatnya pun sudah mulai bereaksi. Tubuh itu sudah lemah dan hampir kehilangan kesadarannya.
"Lepaskan saya, saya mohon. Jangan sentuh saya!" Lirih wanita itu yang masih bisa didengar oleh si pengemudi hingga akhirnya dia tidak sadarkan diri.
Karena terus meronta, membuat rambut panjang wanita itu menutupi wajahnya. Dengan telaten, si pengemudi menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah itu. Wajah cantik dan pucat ini, tak ada polesan di dalamnya. Semuanya alami tanpa ada yang dibuat-buat. Apa adanya.
Deg...deg...deg....jantung si pengemudi entah kenapa begitu menggila melihat wajah tak berdaya yang saat ini berada dalam dekapannya. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Sepertinya Bu Hesti sudah tidak sadarkan diri. Dimana ambulannya, Pak? Kita harus segera membawa Bu Hesti kembali!"
"Sebentar lagi datang, kita tunggu dulu!"
Setelah mengatakan itu. Ponselnya berbunyi dan...
"Ada apa, Pak?"
"Bannya bocor. Sebaiknya kita cari taksi saja daripada menunggu...." Ucapan Bapak itu terhenti saat dilihatnya si pengemudi sudah membopong tubuh wanita itu menuju mobilnya.
"Tolong, bukakan pintu belakang mobil saya, Sus!"
"Ah...iya, baik!"
"Anda masuk duluan!" Pinta pengemudi itu dan perawat itu langsung masuk dan membantu si pengemudi memasukkan tubuh Bu Hesti.
"Saya yang akan mengantarkan kalian!" Ucap si pengemudi setelah meletakkan tubuh Bu Hesti dan segera berlari nenuju balik kemudi. Diikuti oleh Bapak perawat yang duduk di samping kursi kemudi.
"Ini kemana?" Tanya pengemudi yang tidak mengetahui rumah sakit mana yang akan menjadi tujuannya.
"Bapak lurus saja, nanti saya akan memberikan petunjuk!" Jawab pria di sebelahnya.
Tak butuh waktu lama, mereka pun tiba di rumah sakit tempat Bu Hesti dirawat.
Rumah sakit jiwa, batin si pengemudi.
"Ini benar rumah sakitnya, Pak?" Tanya si pengemudi ingin meyakinkan.
"Iya benar, Pak. Ibu ini salah satu pasien di RSJ Daerah ini!"
Deg...apa-apaan ini. Si pengemudi merasa tak percaya bahwa wanita yang telah membuat detak jantungnya menggila adalah salah satu penghuni rumah sakit jiwa.
Setelah mengucapkan terima kasih. Kedua perawat rumah sakit pun pergi membawa Bu Hesti kembali ke ruangannya.
Si pengemudi masih duduk terpaku di balik kemudinya. Mengamati mereka yang baru saja keluar dari mobilnya itu menjauh dan lenyap.
Masih diingatnya dengan jelas wajah wanita yang berada dalam dekapannya tadi.
Sial...jangan sampai aku jatuh cinta pada wanita gila itu. Akhhh...., umpat si pengemudi.
***
Di perusahaan Dirgantara, baru saja ada rapat direksi darurat. Kabar tentang pembatalan kontrak kerjasama dengan Pak Broto, langsung merebak dan menjadi bahan utama dalam rapat ini.
Mereka yang memang ingin menggantikan Lesmana menjadi presdir menjadikan hal ini untuk bisa menjatuhkan Dirga. Namun jangan harap Dirga akan jatuh begitu mudah.
Di dalam rapat, Dirga mengutarakan alasannya kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Ada yang membenarkan tindakkan Dirga tapi tidak bagi mereka yang mengukur segalanya dengan uang.
Karena hal inilah, Lesmana membatalkan perjalanannya dengan sang istri ke Singapura sore ini. Ya, kemarin siang saat Pak Broto datang, Lesmana lah yang menelpon Dirga. Tidak lupa setelah dia mendapat kabar tentang kejadian itu, Lesmana segera menghubungi Johan, tangan kanannya, untuk kembali. Karena Lesmana tahu akan ada banyak pihak yang akan memojokkan Dirga setelah kejadian ini. Dan hanya Johan lah yang ia percaya untuk bisa mendampingi putranya.
Saat ini Dirga masih berdiri di depan ruangannya. Baru saja dia dan Jingga keluar dari ruang meeting dan sekarang dia ingin kembali ke ruangannya.
Tok..tok..tok... suara sepatu menggema. Semakin lama semakin mendekat. Membuat Dirga yang sudah memegang kenop pintu menolehkan kepalanya menuju sumber suara.
"Paman!" Pekik bahagia Dirga melihat seseorang yang selalu menemaninya.
Dirga segera berhambur memeluk Johan. Dirga sangat merindukan sosok ini.
"Akhirnya Paman kembali. Aku merindukanmu, Paman!" Ucap Dirga melepas pelukannya sesaat tapi setelah itu dia memeluk Johan kembali. Seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu.
Jingga mengernyitkan kedua alisnya melihat pemandangan langka di depannya itu.
Pak Dirga dan Pak Johan, ada apa ini sebenarnya. Mereka berdua seperti....,ah tidak mungkin, pikir Jingga sambil menggelengkan kepalanya.
"Se‐selamat siang, Pak Johan. Senang melihat anda sudah kembali!" Sapa Jingga.
"Iya, selamat siang Jingga!"
"Ayo paman, kita masuk! Banyak yang ingin aku tanyakan."
***
"Kenapa Paman lama sekali? Apa sakit Nenek parah?" Tanya Dirga khawatir.
"Sakitnya tidak parah tapi kelakuan Nenekmu itu yang semakin hari semakin parah. Paman hampir saja gila kalau masih berada di sana. Untung saja Tuan Lesmana menelponku dan memintaku kembali semalam. Ternyata ulahmu kali ini merupakan berkah untuk Paman. Hahaha....!" Tawa Johan. Rasanya sudah lama dia tidak merasakan tertawa senyaman ini. Beberapa waktu lalu hidupnya begitu tertekan.
"Artinya Paman suka melihatku susah begini?"
"Bukan begitu. Tapi setidaknya Paman bisa terlepas dari tututan Nenekmu itu yang terus saja memaksa Paman untuk menikah. Kamu tahu, hampir setiap malam Paman harus menemui satu per satu anak dari teman Nenekmu itu yang akan dijodohkan dengan Paman. Sangat melelahkan baik jiwa dan raga."
"Dan sepertinya tidak ada satupun yang cocok. Iya kan?" Itu karena Dirga melihat tampang lesu Pamannya. Johan pun mengangguk.
"Memangnya wanita seperti apa yang Paman inginkan?"
"Hum...wanita yang bisa membuat jantung Paman menggila saat melihatnya!"
Deg,....dan wajah wanita gila itu yang langsung terbayang di kepalanya.
Ah, sepertinya aku ikutan jadi gila sekarang, batin Johan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Paman sakit?"
"Sepertinya."
Itulah kedekatan Dirga dan Johan. Dirga juga sudah menganggap Ibu dari Johan sebagai Neneknya.
Ibu Johan adalah sahabat dari Neneknya Dirga, Ibunya Lesmana. Mereka juga bertetangga. Jadi, selama ini Dirga sudah terbiasa dengan Ibunya Paman Johan dan menganggapnya sebagai Neneknya sendiri.
Sebenarnya bukan kali ini saja Nenek berusaha mengenalkan seorang wanita kepada Paman Johan. Namun itu sudah berlangsung lama. Bahkan Dirga pun sempat ambil bagian dalam misi itu. Tapi hasilnya tetap saja gagal.
Sering kali bahkan Paman Johan menyambangi kampus Dirga untuk meloloskan diri kencan yang dibuat oleh Ibunya sendiri. Dan hal inilah yang akhirnya merubah image keduanya di mata teman-teman kampus Dirga.
Bukan gk menghargai cerita othor tp kehidupan mereka berdua di awal saja sudah susah eh malah ko'it peran utamanya. Hadeh...
Kalau mau bikin cerita sedih bilang di awal kak, biar pembaca gk kecewa.