Jaka, adalah seorang yang biasa saja, tapi menjalani hidup yang tak biasa.
Banyak hal yang harus dia lalui.
Masalah yang datang silih berganti, terkadang membuatnya putus asa.
Apalagi ketika Jaka memergoki istrinya selingkuh, pertengkaran tak terelakkan, dan semua itu mengantarnya pada sebuah kecelakaan yang semakin mengacaukan hidupnya,
mampukah Jaka bertahan?
mampukah Jaka menjemput " bahagia " dan memilikinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sicuit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasrat
Ibu berdiri, berjalan ke jendela, untuk melihat, mobil siapa. Tapi belum juga Ibu sampai di jendela.
Yunis, buru - buru keluar dari kamar, dengan pakaian baru, dandanannya sedikit menor
"Mau kemana kau, Nis?" tanya Ibu dengan pandangan heran.
"Jalan - jalan, Bu. Mumpung ada yang ajak. Kalau nunggu anakmu itu, biar sampe buyuten, juga kagak kesampean," jawab Yunis seenaknya.
"Jaga bicaramu, Nis. Itu suamimu bukannya diurus malah ditinggal pergi!" tegur Ibu.
"Sudah Bu, aku lagi males debat sama Ibu. Itu juga, Ibu saja yang urus, aku ga cocok kalo untuk urus yang begituan," jawab Yunis, sambil telunjuknya menunjuk pada Jaka yang masih duduk di kursi panjang.
Seakan mendengar dan mengerti, matanya memandang berganti - ganti, pada Ibu, dan Yunis. Tapi Jaka tetap diam. Tak bergerak atau pun bicara.
Yunis melangkah ke pintu.
"Eehh iya Bu, pintu jangan dikunci ya, mungkin aku pulang telat. Da ... da ... Ibu," katanya sambil tersenyum. Tangannya melambai pada Ibu.
Ibu tak mampu bicara lagi. Matanya hanya memandang tajam pada Yunis. Dadanya gemuruh, dan giginya bergemeretak.
Disibaknya kelambu jendela. Dilihat Yunis menghampiri mobil itu, dan duduk begitu saja, dekat seorang laki - laki gagah, tampan, yang mengendarainya.
Kertakkan gigi semakin terdengar. Harga diri Ibu seakan diinjak tanpa sisa.
Setelah menenangkan diri, Ibu menghampiri Jaka.
Dilanjutkannya memberi obat pada luka - luka tadi.
"Hidupmu itu, milikmu Nak. Gimana caramu untuk mengolahnya. Meskipun sulit, tapi kalo kamu bisa nrimo, iya kamu bisa bahagia. Ojo terlalu lihat apa yang ada di sekelilingmu, lihat ke depan, lihat juga ini, di sini, di hatimu," kata Ibu dengan suara bergetar, sambil memegang tangan Jaka dan menaruh di dadanya.
Jaka diam, tapi ada air menggenang di pelupuk matanya. Mulutnya sedikit terbuka, seakan ingin mengucapkan sesuatu.
Kondisi paling menyakitkan. Antara sadar dan alam bawah sadar, saling berebut menguasai hati dan pikiran.
Ibu meninggalkan Jaka duduk sendirian di sana. Dia ke dapur untuk menyiapkan makan.
"Aaaaaahhh .... hhhuuaaaaa...!"
Ibu terkejut mendengar teriakan Jaka yang tiba - tiba. Dia bergegas meninggalkan dapur.
Di pintu dia melihat, sesuatu yang belum pernah ia lihat.
Jaka menangis keras, meraung, sambil memukul dadanya berkali - kali.
"Hhuaaahh ... haaa ... aa aahh!"
Rupanya kesadaran telah mengusainya, mengalahkan alam bawah sadar.
Ibu tertegun, membiarkan Jaka melampiaskan semuanya. Dia pun kembali ke belakang. Duduk di kursi reotnya. Sibuk menghapus air mata.
#########
Mobil itu membawa Yunis meninggalkan rumah. Tanpa beban. Membelah langit yang semakin gelap.
"Gimana tadi, kamu dimarahi ndak sama suamimu, pulang kesorean?" tanya laki - laki itu, yang ternyata Dokter Aldi.
"Iya ndak lah, sapa yang mo marahin aku," jawab Yunis dengan suara dibikin secentil mungkin.
"Tapi kan suamimu lagi sakit, tadi sudah kau tinggal lama, sekarang kau tinggal lagi, sapa yang urus, emang tak apa kah ikut jalan dengan aku?" tanya Dokter Aldi memastikan, karena dia tentu saja tak mau disalahkan.
"Tenang, tak apa kok. Biar Ibunya yang urus, itu kan anaknya, jadi ga salah dong kalo dia yang urus," jawabnya sambil tersenyum.
"Okey ... terus kita mo kemana ini ?"
"Terserah Dokter, pokoknya aku mo ikut, kemana aja."
"Aduuhhh ... jangan panggil Dokter lah ... ini kan bukan di rumah sakit." kata Dokter Aldi.
"Iye wes, Beb."
HAHAHA ... HAHAHA ....
Mereka berputar - putar kota sambil bercanda, tertawa. Hingga bulan semakin tinggi.
Dokter Aldi melirik Yunis sekilas. Otaknya menyimpan rencana yang sulit di tebak.
Dokter Aldi menghentikan mobilnya di sebuah resto, yang tampak redup dari depan. Bangunannya yang bergaya klasik, menambah kesan mewah.
"Kita makan dulu yuk," ajak Dokter Aldi.
Yunis mengangguk. Matanya berbinar.
"Hhuuuaaa ... ini baru hidup namanya, ndak rugi aku pilih Dokter ini. Hmmm ... daripada si Burhan itu, iya jelas mending ini banget lah yaaa ...." kata Yunis dalam hati.
Merasa diri bak ratu, dia berjalan seanggun mungkin.
Memilih tempat yang sedikit terpisah dari keramaian menambah kesan romantis di pikiran Yunis.
"Mau pesan apa?" tanya Dokter Aldi sambil menyerahkan ponselnya.
Dia sudah tergabung dalam klub di situ. Sehingga untuk memesan, tak perlu pakai lembar daftar menu. Hal iti membuat Yunis semakin merasa takjub.
"Saya pilih ini saja Dok," katanya sambil menunjuk salah satu menu.
Dokter Aldi mengangguk dan memesannya.
Tak lama kemudian pramusaji datang dan menghidangkan pesanan.
Menikmati makanan enak dan mahal membuat Yunis serasa terbang. Mau tak mau dia memperlihatkan kelakuannya yang sedikit bar - bar.
Makan tanpa jeda, dengan gerakan cepat, seakan seminggu tak makan.
Dokter Aldi memperhatikan dengan tertawa kecil.
"Pelan - pelan, tak ada yang meminta makananmu," godanya.
Pipi Yunis bersemu merah. Dia mulai mengubah cara makannya dengan lebih manusiawi.
Musik terdengar syahdu, dengan seorang biduan membawakan lagu melow, menambah kesan romantis kala itu.
Setelah selesai dinner, Dokter Aldi mengajaknya ke area samping. Dan masuk ke dalam sebuah tempat yang pencahayaannya lebih redup lagi.
Yunis memegang tangan Dokter Aldi dengan erat. Sedikit takut.
Ternyata sesampai di dalam, terdapat ruangan dengan minim lampu. Beberapa orang duduk berdua atau sendiri - sendiri.
Hanya di sudut ruang terlihat sedikit lebih terang, tempat bartender meramu minumannya.
Dokter Aldi menggandeng tangan Yunis yang memegangnya semakin erat.
Mengajaknya duduk di tempat itu.
Dia memilih minuman. Dan Yunis terperangah menyaksikan bartender itu dengan terampil membuatnya.
"Sudah pernah coba?" tanya Dokter Aldi.
Yunis tak menjawab, lidahnya keluh. Dia hanya menggeleng pelan, sambil menelan saliva.
Minuman sudah tersaji dalam sloki cantik.
"Cobalah pelan - pelan, dikit - dikit" kata Dokter Aldi.
Yunis mengambil sloki itu dan mendekatkannya ke hidungnya. Bau harum minuman itu seperti kopi mocca. Dicicipnya pelan.
"Enak sekali," kata Yunis.
Rasa hangat menyebar ke seluruh badannya. Darahnya berdesir pelan. Membuat pipinya sedikit merona.
Dokter Aldi tersenyum. Dia pun meneguk pelan minuman dalam sloki itu. Rasa hangat memberi kesan yang berbeda. Membangunkan sesuatu yang mulai terasa keras di bagian bawah pusarnya.
Karena merasa enak, Yunis berkali - kali meneguknya.
Sampai dari setengah sloki, Yunis diam. Matanya mulai tak fokus lagi.
Dokter Aldi tahu, waktu yang tepat untuk menghentikan Yunis.
"Sudah, ndak usah dihabiskan, ayo kita istirahat, kamu pasti lelah," ajaknya.
Yunis yang sudah setengah sadar, mengikuti ajakannya. Mereka langsung masuk di salah satu kamar yang sudah dipesan oleh Dokter Aldi.
Ruangan kamar yang remang, dengan wangi aroma terapi yang menenangkan, membuat darah Yunis berdesir pelan.
Kepala Yunis yang semakin terasa pening, membuat langkahnya sempoyongan dan hampir jatuh. Dokter Aldi menangkapnya.
Harum rambut Yunis, membuat sesuatu itu semakin mengeras.
Dokter Aldi membantu Yunis untuk berdiri tegak kembali. Lalu dengan berani, diangkatnya dagu Yunis, dan dilumatnya bibir itu pelan. Membuat Yunis seakan terbang.
Tangan Yunis memegang erat, mencoba menikmati apa yang ada. Dan dia pun terbuai oleh permainan Dokter Aldi.
Perlahan Yunis membalas permainan itu, dia memutar lidahnya membuat Dokter Aldi semakin gemas.
Tangannya mulai turun. Menyentuh sesuatu yang dari kemarin menggodanya.
Yunis menggelinjang, geli. Tangannya juga mulai berani meraba dada Dokter Aldi yang bidang, dalam balutan kaos.
Merasa tak nyaman hanya menyentuh di luar, Dokter Aldi menyusupkan tangannya melewati semua penghalang, bersentuh kulit, pada bukit dan ujungnya yang mengeras.
"Uuuggghh ...."
Yunis melenguh, membuat Dokter Aldi semakin berani.
Dibukanya satu persatu kancing kemeja Yunis. Dilepaskan juga pengait penghalang kenikmatan itu. Semua ditanggalkan.
Dokter Aldi membawa Yunis ke tempat tidur, merebahkan di sana, dan dia bermain di atas bukit - bukit itu. Menjilat, mencecap, dan meremas. Memainkan ujung bukit itu dengan lidahnya membuat Yunis semakin menggelinjang.
Tak berapa lama, mereka pun sudah tanpa selembar benang pun.
Saling menindih, saling merintih, dengan gerakan yang teratur dalam satu kerjasama yang baik.
Hingga tiba - tiba Dokter Aldi mengejang, menekankan tonggak keperkasaannya jauh ke dalam liang kenikmatan Yunis.
"Uuuuggh ... aaaghhh ...."
Dan berakhirlah pergulatan mereka, dengan tanpa tahu, siapa yang jadi pemenangnya. Keringat membasahi keduanya.