LANGIT JINGGA
Senja kala itu mentari memancarkan cahaya jingga keemasannya yang begitu memukau bagi netra siapa saja yang menatapnya. Duduk dua orang bocah di sebongkah batang pohon yang tumbang yang memang difungsikan sebagai tempat duduk disitu. Di sebuah danau buatan dekat dengan panti asuhan tempat keduanya bernaung selama ini.
Nama kedua bocah itu adalah LANGIT dan JINGGA. Keduanya sudah akrab sejak kecil. Merasa mempunyai nasib yang tak jauh beda membuat keduanya saling menyayangi. Apalagi dengan beda usia yang terpaut 5 tahun membuat mereka seperti Kakak dan Adik. Langit yang saat ini berusia 13 tahun sedangkan Jingga berusia 8 tahun.
"Kak, lihat langitnya bagus banget warnanya!" tunjuk Jingga ke arah langit di atas sana. Langit ikut melihat ke arah yang ditunjuk Jingga. Dia langsung menganggukkan kepala sebagai jawaban sebelum berkata.
"Kamu tahu tidak? Langit itu seperti Kakak dan warna jingga yang menghiasinya seperti kamu. Karena kamu akan menjadi warna dalam kehidupan Kakak." Jingga hanya menggaruk-garuk kepalanya mendengar ucapan Langit. Sepertinya Jingga belum bisa memahami ucapan Langit. Melihat mimik wajah Jingga yang menggemaskan membuat Langit tertawa sambil mencubit kedua pipi Jingga.
"Kamu lucu, hahaha...!" ucap Langit masih mencubit kedua pipi Jingga dan menggoyangkannya.
"Ah, sakit kak...!" teriak Jingga sambil melepaskan kedua tangan Langit dari pipinya. Kemudian Jingga segera mengusap kedua pipinya yang agak memerah.
"Kakak jahat!" lanjut Jingga masih mengusap kedua pipinya.
"Maaf!" balas Langit.
"Jingga jelek...Jingga cengeng...!" suara dari belakang membuat Langit dan Jingga menoleh ke belakang. Mereka itu adalah teman satu panti juga dengan Langit dan Jingga. Karena sifat Jingga yang cengeng membuat mereka suka sekali menjahili Jingga. Sebenarnya mereka anak - anak yang baik tapi biasalah namanya juga anak kecil jadi suka iseng. Apalagi Jingga yang selalu menanggapi sikap mereka membuat mereka semakin gencar saja menjahili Jingga.
"Kak, lihat mereka! Kenapa sih mereka suka sekali meledek Jingga...?" tunjuk Jingga pada beberapa bocah yang sedang bermain sepeda sambil terus mengejek Jingga.
"Biarkan saja nanti juga bosan sendiri mereka. Nggak usah repot - repot meladeni mereka nanti juga merekanya capek sendiri. Habisnya kamu kalau diledek selalu nanggepin makanya mereka suka apalagi entar ujung-ujungnya nangis, itulah harapan mereka. Besok kalau mereka begitu lagi mending ditinggal pergi aja. Ngerti?"
"Ngerti kak." jawab Jingga.
Sejak tadi Jingga tidak menggubris ejekan mereka seperti biasanya. Hal itu membuat mereka bosan kemudian mengayuh sepeda menjauh dari tempat itu. Jingga yang melihat mereka pergi menjauh langsung tertawa dan bertepuk tangan.
"Kakak benar. Lihat, Kak mereka pergi!"
"Iya, Kakak tahu."
"Ayo kita pulang, udah makin sore sekarang..!" ajak Langit berdiri sambil menggandeng tangan kecil Jingga.
"Tunggu kak, aku ingin main air dulu kesana. Bentar aja...!" pinta Jingga langsung melepas gandengan tangannya dan berlari mendekati danau. Kakinya ia masukkan ke dalam air bergantian.
"Hati-hati disitu licin, Ngga!" teriak Langit dari tempatnya berdiri.
Karena keasyikkan memasukkan kakinya Jingga melupakan kalau tempatnya berpijak licin. Saat dia ingin mengganti kakinya saat itu pula ia terpeleset. Dan salah satu sandalnya terjebur ke dalam danau.
"Aw....!" teriak Jingga membuat Langit segera berlari ke arahnya. Langit segera membantu Jingga berdiri dengan hati-hati.
"Mana yang sakit?" tanya Langit saat dia mendengar suara tangisan yang sudah pecah. Langit sangat takut kalau sampai terjadi apa-apa pada Jingga. Namun tebakannya langsung terbantahkan saat Jingga membuka mulutnya. Dan perkataan Jingga membuat Langit bernapas lega namun tidak dengan Jingga.
"Kak, sandal ku hanyut ...hik..hik..hik...!" ucapan Jingga di tengah-tengah tangisannya. Membuat Langit yang dari tadi mengkhawatirkan keadaan Jingga yang menangis bisa bernapas lega. Karena sebelumnya Langit berpikir kalau Jingga menangis karena kesakitan namun ternyata inilah jawabannya. Dengan sedikit tersenyum Langit menoleh ke arah danau. Ternyata dari tadi sandal itu yang ditangisi Jingga.
Sandal Jingga sudah menjauh. Tidak mungkin dia mengambilnya. Danau itu dalam dan Langit tidak bisa berenang. Tidak ada yang bisa Langit lakukan. Mereka berdua hanya bisa melihat sandal itu bergerak semakin ke tengah. Jingga masih duduk dan menangis di tepi danau. Dan sekarang tugas Langit untuk membujuknya berhenti menangis.
"Sudah jangan nangis lagi. Besok kita beli sandal yang baru."
"Tapi aku suka sandal itu, Kak. Sandal itu hadiah dari Kakak..hik..hik..hik...!" Jingga masih belum terima kehilangan sandalnya.
"Terus mau gimana lagi? lihat sendirikan sandalnya udah hanyut. Ditangisi terus juga nggak bakal kembali. Besok Kakak janji beliin sandal yang lebih bagus dari itu!" Jingga langsung mendongakkan wajahnya yang dari tadi menunduk. Menatap wajah Langit dengan mata berbinar dan senyum yang mengembang. Mata bulatnya yang jernih dengan pupilnya yang berwarna hitam sungguh indah dipandang.
"Kakak janji?" tanya Jingga penuh harap. Langit segera mengangguk.
"Iya kakak janji ." balas Langit.
"Buruan naik biar Kakak gendong di belakang!" perintah Langit yang sudah berjongkok di depan Jingga.
Saat ini mereka menuju jalan pulang ke panti dengan Jingga yang berada di gendongan Langit. Jarak dari danau ke panti tidak begitu jauh karena itu mereka lebih memilih berjalan dari pada naik sepeda. Danau itu merupakan tempat favorit bagi keduanya. Setengah perjalanan telah dilewati. Jingga merasa tidak tega melihat Langit yang dari tadi menggendongnya.
"Kak, turunin Jingga dong. Jingga mau jalan sendiri aja..!" pinta Jingga.
"Udah kamu diem aja, jangan banyak gerak entar jatuh..!"
"Kakak pasti capek. Jingga kan udah besar sekarang, pasti berat. Buruan Kakak turunin Jingga!" Jingga masih ngotot namun Langit tidak mau menurutinya. Dia terus saja melangkahkan kakinya seolah tidak mendengarkan perkataan Jingga.
Akhirnya Jingga lah yang mengalah. Dia menikmati perjalanan pulang dalam gendongan Langit. Keheningan menyelimuti keduanya sebelum akhirnya Jingga membuka mulutnya. Mengudarakan suara cemprengnya itu.
"Kak, seandainya kita punya keluarga pasti akan sangat menyenangkan sekali ya. Kakak tahu tidak, kadang Jingga iri saat melihat teman Jingga diantar jemput oleh orang tuanya di sekolah. Jingga selalu berdoa suatu saat nanti Jingga bisa mempunyai keluarga. Punya Mama dan Papa yang selalu menyayangi Jingga. Tapi mungkinkah itu terjadi, Kak?" Pertanyaan Jingga itu membuat hati Langit terluka. Entah apa yang dia rasakan, dia sendiri tidak tahu. Ada rasa kecewa di dalam hatinya saat membahas keluarga.
"Bukankah kamu sudah memiliki ku yang sangat menyayangi mu. Apa itu masih belum cukup bagi mu?" Langit mencoba memberi pengertian pada Jingga supaya dia tidak terpuruk.
"Maaf, Kak. Bukan maksud ku tidak menganggap mu. Kamu tahu, Kak? Kamu seperti hadiah yang turun dari langit sama seperti nama mu...he..he..he...aku selalu bersyukur pada Tuhan karena telah mengirim mu dalam hidup ku. Aku juga menyayangi mu, Kak." balas Jingga sambil mencium pipi Langit dengan sayang.
Apa aku terlalu serakah, Kak? Aku sadar sudah memiliki kasih sayang mu namun semua itu tetap berbeda. Aku ingin memiliki orang tua dan itu tidak bisa aku dapatkan dari mu, Kak..maaf jika aku menjadi serakah, batin Jingga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Fitria Dafina
Kasih sayang yang tulus walaupun mereka tak punya ikatan darah 😊 Awalnya aja udah suka 😍😍😍😍😍😍
2021-09-01
1
Agustri Gus
nyimak
2021-07-25
0
Fawniah Gussalam Rozak
jingga br berumur 8. thn tp dewasa banget ya bahasanya
2021-07-25
1