Tepat di hari pernikahan, Ayana baru mengetahui jika calon suaminya ternyata telah memiliki istri lain.
Dibantu oleh seorang pemuda asing, Ayana pun memutuskan untuk kabur dari pesta.
Namun, kaburnya Ayana bersama seorang pria membuat sang ayah salah paham dan akhirnya menikahkan Ayana dengan pria asing yang membantunya kabur.
Siapakah pria itu?
Sungguh Ayana sangat syok saat di hari pertama dia mengajar sebagai guru olahraga, pria yang berstatus menjadi suami berada di antara barisan murid didiknya.
Dan masih ada satu rahasia yang belum Ayana tahu dari sang suami. Rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tria Sulistia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Tidak Akan Menolak
"Kami bukan menculik tapi mengantarkan Nona Ayana pada Tuan Bram."
"Ah, sudahlah. Jangan banyak alasan! Sekarang lepaskan Ayana dan bilang pada Daddy, aku yang menyuruh kalian!"
Sesaat Asep dan Slamet saling pandang bimbang harus menuruti perintah siapa. Elang atau Tuan Bram.
Dan keraguan mereka terbaca oleh Elang yang langsung menghela nafas dan melipat tangan di depan dada.
"Kalian tidak perlu takut. Kalian tidak akan dipecat, bahkan kalian akan mendapatkan bayaran dua kali lipat dariku jika kalian melepaskan Ayana. Bagaimana?"
"B-baik deh, kalau begitu. Tapi Tuan Muda nggak bohong kan?" kata Asep tersenyum lebar.
"Iya, dan kita nggak bakal di pecat kan, Tuan?" imbuh Slamet.
"Memangnya kapan aku berbohong? Apalagi sama kalian yang sudah setia bekerja kepada Daddy."
Asep dan Slamet mengangguk setuju. Lantas mereka pun menggeserkan badan untuk mempersilahkan Elang berjalan ke dalam mobil.
Namun baru dua langkah, mendadak Elang berhenti.
"Sepertinya kurang asyik kalau aku mengambil Ayana dengan sangat mudah."
Elang melirik Asep dan Slamet bergantian. Lalu dia berkata, "Bagaimana kalau kita berkelahi dulu?"
"Berkelahi?" tanya Asep terperanjat. "Tuan Muda serius?"
"Serius lah," Elang memasang sikap kuda-kuda. "Ayo cepat! Pukul aku!"
Bugh.
"Agrh," Elang meringis sambil mengusap ujung hidungnya yang berdarah. "Pak Slamet, jangan pukul beneran dong! Kita cuma pura-pura berkelahi, supaya Ayana terkesan sama aku."
"Ooh, begitu. Ya ya. Maaf Tuan," ucap Slamet.
Bugh. Bugh. Bugh.
Elang terlibat aksi pukul memukul dengan dua pria dewasa yang sudah disiasati supaya pukulan yang mengenai Elang tidak terlalu sakit.
Namun, Ayana yang melihat kejadian itu menjadi semakin panik dan meronta di dalam mobil, sekalipun usahanya tak membuahkan hasil apapun.
Elang meninju perut Slamet lalu secepat kilat memutar badan untuk menendang burung Asep.
Tentu saja, Asep dan Slamet berpura-pura menjerit kesakitan dan terkapar di atas jalanan aspal.
Elang tertawa puas saat sandiwaranya terlihat sangat natural dan menyakinkan. Kemudian dia berlari ke arah mobil dan segera membuka pintu belakang.
"Ayana!"
Elang langsung membuka ikatan kain yang membekap mulut Ayana. Berlanjut dengan melepaskan tali di tangan serta kaki.
"Elang."
Ayana segera memeluk erat Elang setelah tangannya terbebas.
"Kamu nggak apa-apa kan, Ay? Ada yang luka nggak? Ada yang sakit?"
Elang mencecar pertanyaan sembari manik matanya menelisik setiap inci tubuh Ayana. Memastikan wanitanya tidak terluka sedikitpun.
Ayana menjawab dengan gelengan kepala. Dia masih sangat takut sampai tidak bisa berbicara dengan jelas.
Ayana menangis di dalam pelukan Elang yang kini mengusap lembut rambutnya.
"Nggak perlu takut, Ay. Dua penculik itu sudah K.O. di tanganku kok."
Ayana mengurai pelukan, mendongak menatap wajah Elang dan jarinya mengusap ujung hidung Elang yang masih ada sisa darah.
"Hidung kamu berdarah, Lang."
Elang mengulum senyum. "Nggak apa-apa. Yang penting bukan kamu yang terluka, Ay."
Elang menuntun Ayana untuk keluar dari mobil. Mereka berjalan melewati tubuh anak buah Bram yang tergeletak di atas jalan aspal.
Kemudian mereka pun naik ke atas motor dan secepatnya pergi dari tempat itu.
"Lang, apa sebaiknya kita telepon polisi ya?" Ayana bertanya sambil menengok ke belakang, memastikan dua penculik tadi tidak mengejar mereka.
"Nggak usah, Ay. Mereka sudah janji bakal tobat, makanya aku lepasin mereka."
Ayana mengangguk percaya saja. Lalu dia kembali menatap ke depan, meletakan dagunya di pundak Elang dengan tangannya melingkar erat di perut Elang.
Ayana menutup mata dan menarik nafas dalam merasakan terpaan angin yang mengenai wajahnya.
Tiba-tiba satu tetes air menimpa pipi Ayana. Disusul dengan tetesan yang lain. Membuat Ayana membuka mata, mendongak ke atas langit berwarna kelabu.
Tetesan air hujan semakin deras seiring dengan laju motor yang semakin kencang.
"Ay, hujan nih. Mau berteduh atau terobos saja?" Elang bertanya tanpa menoleh ke belakang.
"Terobos saja deh, Lang. Tanggung sudah mau sampai rumah."
"Oke."
Meskipun Elang sudah berusaha melajukan motornya sekencang mungkin, namun tetap saja mereka berdua terguyur air hujan yang mendadak menjadi sangat deras.
Sampai di rumah, tubuh Elang dan Ayana basah kuyup.
"Ay, kamu langsung mandi dulu gih. Biar nggak masuk angin," perintah Elang saat mereka berdua sama-sama mengambil handuk.
"Lalu kamu?"
"Gampang. Aku bisa mandi setelah kamu."
Ayana menganggukan kepala. Lalu dia lebih dulu masuk ke kamar mandi.
Ketika tangan Ayana hendak menutup pintu, mendadak raut muka Ayana berubah ragu. Tampak seperti ingin mengatakan sesuatu.
"Elang, makasih ya?"
Dahi Elang mengerut heran. "Makasih buat…"
"Karena sudah menolong aku dari penculik tadi."
Sontak Elang tergelak dan mencubit hidung Ayana. "Nggak perlu makasih. Itu kan sudah jadi tugas aku sebagai suami, Ay."
"Elang."
"Hum."
Ayana menelan salivanya dan terlihat pipinya perlahan bersemu merah.
"Mulai saat ini aku nggak akan nolak jika kamu minta jatah dariku."
Kedua mata Elang membelalak saking terkejutnya dia mendengar ucapan Ayana. Bibir Elang melengkungkan senyuman dengan raut muka tak percaya.
"Kamu serius, Ay?"
Kepala Ayana menganggukan meski pandangan matanya tertunduk ke bawah. Pipi Ayana pun semakin merah dibuatnya.
"Kapanpun dan dimanapun aku nggak akan nolak, jika kamu yang minta."
Seketika itu Elang seperti terkena serangan jantung. Dia memegang dada sebelah kiri yang kini berdetak sangat kencang.
"Kalau begitu aku minta sekarang, Ay," ucap Elang sumringah.
"Mau di sini?" Ayana balik bertanya.
Elang berpikir sejenak. Lalu dia menggelangkan kepala.
"Masa di kamar mandi sih? Mending di kamar kamu saja, Ay. Sama aku juga perlu siap-siap dulu."
Ayana mengangguk mengiyakan. Lantas dia pun menutup pintu kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu.
Sementara itu, di depan pintu Elang bersorak dalam hati. Dia masih tak menyangka apa yang dia nantikan akan segera terwujud dalam beberapa menit lagi.
Elang menarik nafas dan menghembuskannya lewat mulut untuk menenangkan perasaan yang membuncah.
Dapat Elang rasakan jantung yang berdebar-debar.
Bledag… Bledag… Bledag…
*
*
*
Di tempat lain, di sebuah kamar luas nan mewah, seorang pria yang telah menginjak kepala enam terbaring di atas ranjang ukuran king size. Sambil menatap langit-langit, dia dengarkan penuturan dua anak buahnya.
Lalu pria itu menghela nafas setelah anak buahnya selesai bercerita.
"Kenapa kalian malah mengikat Ayana? Aku kan sudah bilang, bujuk dia secara baik-baik tanpa ketahuan sama Raynar," protes Bram melirik tajam pada Asep dan Slamet.
"Maaf, Tuan. Kami terpaksa sebab Nona Ayana meneriaki kami penculik."
Bram kembali menghela nafas. "Kalian itu, seperti tidak pernah melakukan tugas-tugas berbahaya saja. Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik aku minta bantuan Trisno saja."
Asep dan Slamet serempak menundukan kepala merasa menyesal dan saat itu juga Bram mencengkram dada sebelah kiri yang mendadak terasa sakit.
"Maaf, Tuan. Lalu apa yang harus kami lakukan selanjutnya?"
"Kalian telepon Dokter Griffin! Sepertinya malam ini aku harus minum obat penenang."