“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
“Makanlah tak perlu banyak pikiran, karena Kamu itu butuh makan agar memiliki energi untuk menjaga kedua baby twins,” ucap pria yang baru dilihat Citra yang menata beberapa piring berisi makanan.
“Tuan Muda terlalu baik kayaknya ada modus dibalik kebaikannya tapi aku nggak peduli akan hal itu kebetulan aku butuh makan nggak sempat menyantap makanan tadi waktu di dapur umum,” sahutnya Citra yang tanpa sungkan dan malu-malu menyantap makanan yang sungguh lezat menggoyang lidahnya.
Citra mencuci bersih tangannya kemudian membaca doa makan setelah duduk di depan Azriel.
Keduanya berbincang santai di balkon kamar baby Jay dan Jia. Hingga pertanyaan seputar kehidupan pribadi dan asmara Citra tak luput dari perhatian dan pertanyaan Azrielvano setelah Azriel memperkenalkan namanya.
“Kamu masih gadis, asal kamu dari Makassar kan?” Tanyanya.
Citra mendongak menatap wajah Azrielvano dengan mulutnya yang penuh makanan.
Naia buru-buru menelan makanannya sebelum berbicara,” aku bukan gadis lagi, Tuan Muda. Aku pernah menikah dan baru sekitar sebulan lebih aku bercerai dengan suamiku. Alhamdulillah aku asli Makassar lahir dan besar di Butta Daeng. Ngemeng-ngemeng kenapa emangnya, Tuan Muda apakah ada masalah?” Tanyanya balik Citra sambil kembali melanjutkan suapannya.
Citra menaik turunkan kedua alisnya yang membuat Azrielvano terkekeh dibuatnya karena wajahnya Citra sangat lucu dan menghibur.
Azriel geleng-geleng kepala karena sikap dan tutur katanya Citra yang berbicara ceplas ceplos apa adanya tanpa menjaga image di depan sang majikan.
“Nggak apa-apa kok hanya saja takutnya aku deketin kamu seperti saat ini ada yang marah nantinya. Kalau nggak ada single aku kan bebas ngajak kamu makan, mungkin nonton dan makan di luar juga boleh kan,” imbuhnya.
Citra tak habis pikir dengan salah satu anak majikannya yang langsung akrab dengannya dan m menawarkan persahabatan, tidak seperti anak majikan orang kaya tajir melintir tujuh turunan tujuh tanjakan tujuh belokan tajam. Tetapi, Azriel berbeda sangat jauh berbeda.
“Kamu memang perempuan kampung, sayangnya sudah jadi janda di usiamu yang masih sangat muda. Tapi, aku sangat heran dengan diriku sendiri yang kebingungan dan pertama melihatmu, aku langsung pengen dekati kamu,” batinnya Azriel.
Tanpa mereka ketahui ada seseorang yang sedari tadi bersembunyi dibalik tembok kamar bayi kembar milik sang duda keren dan hot jeletot itu.
“Kenapa sampai aku harus marah melihat kedekatan mereka,” ketusnya yang keheranan dengan apa yang terjadi kepadanya.
Orang itu meninggalkan kamar tidur baby twins Jaylani dan Jianira dengan kebingungan yang mengambang tak jelas dengan apa yang terjadi kepadanya.
“Seharusnya aku justru marah, kesal dan balas dendam kepadanya karena gara-gara dia aku dipermalukan di depan umum gara-gara kecerobohan dan kesalahannya,” gumamnya kemudian berjalan cepat ke arah kamar pribadinya.
Nyonya Besar Hilda tanpa sengaja melihat apa yang dilakukan oleh kedua putranya yaitu Azrielvano dan Ardhanza.
“Daya tarik perempuan ini sungguh besar sehingga membuat kedua putraku bertingkah aneh. Kalau ada salah satu dari mereka yang ingin melamar Citra, aku pasti akan merestuinya,” ucapnya kemudian berjalan ke arah kamar pribadinya yang berada di ujung.
“Apa mama nggak keberatan kalau salah satu putranya Mama mempersunting perempuan dari kelas rendahan, tidak berpendidikan dan kita sangat jelas berbeda kasta?” Tanyanya Ariestya.
Nyonya besar Hilda melirik ke arah putri pertamanya itu,” kalau Abang dan kakak kamu setuju dan mau kenapa nggak. Meski salah satu dari mereka sudah ada yang bertunangan.”
Ariestya sampai melototkan kedua bola matanya saking terkejutnya mendengar ucapan mamanya itu yang baginya ini sungguh luar angkasa eh tak masuk akal baginya.
“Mama sadar kan waktu ngomong gitu? Apa mama lupa kalau kakak Ardhanza sudah bertunangan dengan wanita ular berkepala tiga itu? Jujur sih kalau mereka gagal menikah itu adalah hal yang sangat baik tapi sayangnya cukup mustahil terjadi,” imbuhnya Ariestya yang berjalan beriringan dengan mamanya.
“Mama sangat sadar dan Mama pengen banget mereka berpisah dan andaikan ada cara memisahkan kakakmu dengan Inara, Mama akan melakukannya apapun itu!” Tegasnya Nyonya Besar Hilda.
Ariestya geleng-geleng kepala mendengarnya tapi hal itu sangat membuatnya bahagia karena dia juga berada di garis keras menentang hubungan Inara dengan Ardhanza.
Tanpa mereka sadari ada yang diam-diam menguping pembicaraan mereka berdua,” brengsek!! Aku harus bertindak cepat agar Tante Hilda menikahkan kami secepatnya, aku nggak mau ada perempuan yang menggantikan posisiku. Apalagi hanya perempuan murahan, genit dan janda gatel yang dari kalangan rendahan.”
Inara berjalan meninggalkan tempat itu dengan niat dan rencana yang disusunnya harus lebih terorganisir dan terencana dengan baik agar dia cepat-cepat menjadi nyonya muda Inara Ardhanza Lee Dewantara.
“Untungnya aku sudah memerintahkan anak buah kepercayaanku untuk memasukkan ramuan dengan dosis yang lebih banyak dari biasanya. Aku yakin mereka pasti akan berubah dan memintaku untuk cepat menikah. Aku yakin itu.”
Keesokan harinya…
Pagi-pagi buta suasana rumah megah itu mendadak ricuh. Hampir seluruh penghuni rumah mulai dari asisten rumah tangga, pengawal, hingga security terlihat panik satu per satu berlarian ke kamar mandi.
Beberapa tampak pucat, sebagian berkeringat dingin sambil memegangi perut mereka. Aroma minyak angin tercium di mana-mana.
Beberapa diantaranya mondar mandir tidak jelas menahan rasa sakit di perutnya.
“Ya Allah… ini rumah atau UGD berjalan?” gumam salah satu pelayan dengan napas terengah.
Di kamar khusus security, Jannah mengetuk pintu yang terbuka sedikit. Ia langsung melihat Dito keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, kaosnya sudah berganti, dan wajahnya benar-benar terlihat lemas.
“Ya ampun apa yang terjadi sama kamu, sayang?” tanya Jannah khawatir, maju mendekat sambil memegang lengannya.
“Kamu sudah lebih dari lima kali masuk kamar mandi. Perutmu masih sakit, ya?” tanyanya.
Dito menatap Jannah dengan mata memohon, seperti ingin mengatakan ia sudah tidak sanggup lagi. Wajahnya pucat, bibirnya kering, dan napasnya memburu.
“Kamu kira aku sengaja, ha!?” gerutunya, tapi nada bicaranya terdengar lebih karena kesakitan, bukan marah.
“Lihat baik-baik wajahku, Na… dari jam empat subuh aku bolak-balik ke kamar mandi. Ini sudah yang kelima bahkan mungkin keenam. Perutku rasanya kayak diremas setelah mengkonsumsi sup yang kamu bawa.” jelasnya.
Ia mengusap perutnya sambil membungkuk sedikit, menahan rasa mules yang datang lagi.
Sontak Jannah terdiam setelah mendengar ejekan kecil dalam nada Dito bukan karena emosi, tapi kelelahan. Ia mendekat lagi mengusap punggung Dito perlahan.
“Astaga… kenapa sampai separah ini? Kamu makan apa semalam?” bisiknya cemas.
Dito menggeleng pelan, masih menahan sakit. “Aku makan sama kaya semua orang. Tapi entahlah tiba-tiba jadi begini.”
“Oh apa karena sup iga yang aku bawa itu kan? Kalau nggak salah aku memintanya dari Melati yang kebetulan katanya membuat khusus untuk Pak Amri,” jawabnya ketika mengingat kejadian semalam.
Sementara itu, di area karyawan…
Lorong menuju kamar mandi sudah penuh antrian. Suara pintu bilik toilet terbuka-tutup tidak berhenti, bercampur dengan keluhan para pekerja yang menahan mules.
“Oh my God! Kalian kenapa semua? Ini kenapa sampai antri begini?” tanya Amelia, yang baru datang untuk shift pagi, tercengang melihat pemandangan chaos di depannya.
Salah satu pekerja perempuan yang berkeringat dingin menyandar ke dinding sambil memegangi perutnya.
“Amel… sumpah, aku nggak ngerti. Semalam masih baik-baik saja. Tapi setelah makan perutku langsung mules banget kayak dipelintir ibu mertua saja,” ujarnya.
“Setelah makan makanan apa?” tanya Amelia, semakin bingung.
“Makanan yang dibawa Jannah semalam itu lho, yang semua karyawan juga ikut cicipi karena dia bilang kebanyakan porsinya,” jawab seorang lagi dari antrian bilik, suaranya lirih dan gelisah.
Suasana mendadak hening sejenak. Amelia terpaku, matanya ikut melebar.
“Serius? Setelah makan itu langsung begini semua?” suaranya pelan, setengah tidak percaya.
“Bukan salah dia ya, jangan salah paham kami juga ikut makan karena kami mau. Tapi setelah itu… ya… ini hasilnya,” jelas yang lain, berusaha membela sekaligus menahan rasa sakit.
Dari dalam toilet terdengar lagi suara pekikan lirih seseorang yang menahan mules.
Amelia menutup mulutnya dengan kedua tangan, panik namun mencoba tidak memperkeruh suasana.
“Aduh, kalau gitu ini pasti ada yang salah sama makanannya. Tapi bukan salah Jannah, ya. Tadi malam dia juga makan, kan?” Tanyanya sambil menutup mulutnya.
Yang lain langsung mengangguk cepat.
“Dia makan juga. Kita semua makan. Jadi bukan dia yang bermaksud macam-macam.” tukasnya yang lain.
“Waduh kenapa bisa sampai begini? Bukannya makanan utama itu khusus untuk Nyonya Besar Hilda dan anak-anaknya kebetulan banyak jadi aku langsung ambil di dalam dapur untuk Abang Amri,” batinnya Melati.
Mereka saling bertatapan antara menahan sakit dan khawatir keadaan semakin kacau, tapi terbersit dalam benak mereka kenapa bisa terjadi kekacauan seperti ini.
“Jangan asal nuduh yah! Aku memang yang bawa makanan itu tapi jujur makanan itu aku minta dari Melati katanya khusus untuk Pak Amri tapi aku lihat Pak Amri nggak mau memakannya dan memberikan kepadaku,” jujur Jannah mengakui kenyataan yang sebenarnya.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.