Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menantang Singa Tidur
"Bagaimana? Cantik kan? Aku aja yang perempuan, ngiri sama kamu ... Cinn." Komentar tukang makeover Dira.
"Bajunya yang cantik, Kak," ucap Dira dengan nada rendah hati. Meskipun ia sebenarnya juga takjub dengan penampilannya saat ini.
Saat dua orang itu asik berbincang, dengan Dira yang memutar tubuhnya di depan kaca. Tak jauh dari sana ada sepasangan mata yang mulai terpesona.
Mungkin Agam lagi puber ke dua, matanya tak beralih dari pemandangan yang sedap di mata tersebut.
Dira yang biasanya tampil apa adanya saja kadang membuat hatinya senat-senut. Lah sekarang? Lihat gadis itu. Bak seperti Cinderella. Biasanya tampil buluk kini mempesona.
"Sudah selesai?" tanya Agam sembari melangkah ke arah Dira. Tidak ingin larut dalam keterpesonaan, karena waktunya sudah mendesak.
Dira mengangguk.
"Ambil ini!" Agam mengulurkan paper bag dengan gambar icon ponsel.
"Apa ini Mas?"
"Ponsel, sangat merepotkan bila menghubungimu. Sembari tadi menunggu, saya mampir ke outlet electronic.
Dira membuka paper bag warna putih tersebut. Dilihatnya ponsel yang sama persis seperti iklan di TV. Wah pasti mahal, pikirnya.
"Terimakasih, Mas!" ucap Dira dengan tulus. Dan Agam hanya mengangguk, seperti biasa, tanpa ekspresi.
Hotel Shilla, hotel paling mewah di kota ini. Agam dan Dira kini sedang melangkah masuk ke dalam suatu acara yang diselengarakan di sana. Berkat bakat professional Robby, Agam dan Dira dapat keluar masuk tanpa kendala satu apapun.
Bak tamu VIP, mereka dipersilahkan masuk dengan tangan terbuka. Bahkan sebuah karpet merah sudah menunggu untuk menyambut pasangan tersebut.
Setelah masuk ke dalam, dan membaur bersama orang-orang penting di sana. Mata Agam memindai seluruh ruangan, ia sedang mengincar Tuan Sinclair.
Mereka harus bertemu dan menandatangani perjanjian baru. Pokoknya ini sangat penting bagi keberlangsungan Salim Wijaya Group. Bila Agam tak dapat melobi Tuan Sinclair, makan perusahaan keluarganya itu mungkin akan di ambang masalah.
Lama Agam clingak-clinguk seperti mencari sesuatu, begitu terlihat sosok Tuan Sinclair. Pria itu langsung melangkah, mengejar konsultan dari Malaysia tersebut.
"Tunggu di sini, saya nanti kembali!" pesannya pada Dira saat ia akan mengejar Tuan Sinclair.
Dira, gadis yang kini terlihat elegant itu ditinggalkan seorang diri. Seperti orang yang tersesat, Dira binggung di tempat yang asing itu.
"Hai!" sapa seorang pria, membuat Dira terhenyak karena di tempat asing ini ada yang menyapa dirinya.
Dira pun hanya menjawab dengan senyuman kecil, sebab ia tidak tahu siapa itu.
"Sendirian?" tanya pria rambut cepak dengan dasi kupu-kupu di lehernya. Bila dilihat sekilas ia mirip seperti aktor laga yang terkenal di Asia. Hanya saja Dira lupa siapa namanya. Pokoknya ada Lau launya.
"Tidak, sama seseorang." Dira ingin pria itu tak lagi mengajak ia bicara, sebab mulai tidak nyaman.
"Oh ... kekasih?"
Dira mengeleng.
Pria itu pun mengulas senyum.
"Mari duduk di sana, jangan berdiri. Kakimu pasti lelah!" ajak pria itu, ada nada perhatian di setiap kata-katanya.
"Tidak, terimakasih."
"Ayolah! Senang bisa berkenalan dengan gadis secantik kamu," pujinya masih dengan bibir yang tersenyum ke arah Dira. Ganteng sih, dan juga sopan. Hanya saja, Dira gak mau dekat-dekat. Nanti Mas Agam marah.
"Begini saja, tidak apa-apa." Lagi-lagi Dira menolak.
Gemas, pria itu pun menarik lengan Dira. Setelah itu menarik kursi yang ada di sekitar sana. "Duduklah!"
Karena memang lelah, akhirnya Dira pun memilih duduk saja.
"Siapa nanamu? Kenalkan saya Bagaskara, panggil saja Bagas." Pria itu mengulurkan tangan pada Dira.
Tak enak masak cuek saat orang ngajak kenalan, Diran pun menyambut uluran tangan itu.
"Dira."
"Hanya Dira? Pendek sekali."
Dira hanya tersenyum tipis.
"Namamu cantik, seperti orangnya!"
"Terimakasih."
"Ini kartu nama saya, senang berkenalan dengan gadis manis sepertimu."
Dira melirik kartu nama yang ada di atas meja, dibacanya dalam hati.
"Dokter Bagaskara, Spog. Ah, dia dokter? Itu spesialis kandungan kan?" batinnya.
"Bapak seorang dokter?" tanya Dira yang kepo.
"Jangan panggil Bapak lah. Saya masih tiga puluh tiga tahun. Masih cocok dipanggil Mas." Bagas tersenyum lepas.
"Dira!"
Saat dua orang itu nampak bercanda, Agam datang dengan perasaan tidak suka. Genit juga si Dira, baru ditinggal bentar sudah mengaet cowok. Cih! Agam mendesis kesal.
"Ayo ke mari!" Agam menarik paksa Dira dari tempat duduknya.
Bagas hanya memperhatikan tanpa bisa berbuat apa-apa.
"Oh ... simpanan om-om!" batin Bagas.
Di tempat yang berbeda, Agam membuat gadis itu terpojok di tempat sepi. Mereka terhalang meja besar dengan kue yang tinggi di atasnya. Sehingga tak terlihat dari luar.
"Dira ... saya bawa kamu ke sini bukan untuk beramah tamah dengan lawan jenis, saya kira telah salah menyamankanmu dengan ibumu. Tapi sepertinya kalian sama."
Mendengar ucapan Agam, Dira jadi sakit hati. Namun, ia hanya diam saja.
"Apa kurang apa yang aku berikan? Besok aku tambah!" tutur Agam dengan nada sinis.
"Jangan keluarkan air mata buaya itu!" cetusnya saat melirik mata Dira yang sudah mengembun.
Tidak jadi menangis, Dira menahan dadanya yang sesak. Ya sudah, akan ia tahan. Apapun yang Agam katakan, meski itu menyakitkan, akan ia telan.
"Tidak bisahkah kalian setia hanya pada satu pria, Dira?"
Agam terus saja menyingung ibunya, dan menyamakan Dira dengan ibunya yang sebagai wanita penghibur.
Kenyataan bahwa Dira mau dinikahi oleh pria itu asal memberikan banyak uang. Membuat mulut Dira membisu, terkunci rapat. Tidak ada pembenaran atas apa yang ia lakukan. Ia memang menjual diri, ya, tak jauh beda dengan sang ibu.
"Kenapa diam saja, apa setelah bisa melahirkan anak dariku. Kamu akan melakukan hal yang sama pada pria lain di luar sana?"
Sebenarnya Agam cemburu melihat Dira dekat-dekat pria lain, hanya saja. Cara ia mengutarakan rasa cemburunya itu lain dari yang lain. Ia malah memprovokasi Dira, dengan menghina dan mencelanya. Seolah Dira mahluk hina yang tak pantas dipuja.
Kesal, karena Agam terus menyayat hatinya lewat lidah tajamnya itu. Dira akhirnya melawan.
"Kalau iya, kenapa Mas? Selama dia bisa memberi tempat tinggal yang besar dan uang yang banyak!" cetus Dira tanpa pikir panjang.
"Murahan!"
Dira memalingkan wajahnya, ya memang dia wanita murahan. Sejak perjanjian rahim ditandatangani, ia sudah menjadi wanita paling murah sedunia, se-alam raya ini.
"Mari buat Dira hamil, dan kita selesaikan ini!" ucap Dira dengan lantang, meski batinnya menjerit.
"Sepertinya kamu ingin cepat-cepat mencari mangsa baru?" Agam rasanya menyesal karena sudah membuat gadis udik itu jadi sangat cantik.
"Terserah apa kata Mas Agam!"
Dira sudah lelah, karena Agam dari dulu berpikir buruk terus tentang dirinya. Daripada membela diri, Dira memilih Agam terus saja tengelam dalam kesalahanpahaman itu. Dira sudah capek.
Kecewa dengan jawaban Dira, Agam lantas membawa gadis itu keluar.
Mau dibawa ke mana lagi, Dira sudah tak peduli. Hatinya sudah beku, hampa. Agam sudah membuat ia tak mampu merasakan apa-apa lagi.
Sementara itu Agam terus saja menarik tangan Dira, pria itu baru mengendurkan gengamannya saat sudah sampai di sebuah kamar.
Dira beringsut, ia lalu mundur sedikit, ketika Agam mengesek pintu kamar dengan kartu yang ia pegang.
"Kenapa ke kamar hotel? Mengapa tidak pulang ke rumah?" batin gadis tersebut.
"Masuk!" ujar Agam dengan dingin saat melihat Dira diam terpaku.
"Kenapa kita ke sini?"
"Kamu ingin perjanjian cepat selesai, kan?"
Manik mata Dira berpendar, waduh. Sepertinya pria itu benar-benar marah kali ini.
"Untuk apa ke sini? Mending pulang saja!" Dira makin mundur hingga ia menjauh dari pintu masuk.
"Kenapa? Akan aku bayar dua kali lipat!" tawar Agam tanpa perasaan.
Makin hancurlah hati Dira saat itu juga, rupanya Agam benar-benar menganggap ia wanita murahan. Ia kira pria itu memiliki hati, meski sangat kecil. Nyatanya, selama ini ia hanya dianggap barang yang tak ada nilainya. Barang tak bernyawa, tak memiliki perasaan.
"Baiklah! Lakukan sekarang!" Dira yang hatinya terasa mati saat itu juga, langsung masuk kamar. Kemudian menutup pintu dari dalam.
"Lakukan dengan benar, agar kita tidak usah mengulanginya lagi!" tuntutnya lagi dengan penuh emosional.
Agam lantas mendengus kesal, melihat tingkah Dira yang tiba-tiba berani menantang dirinya. Kemasukan setan dari mana tuh bocah, jadi sangat berani seperti itu.
Dira sendiri kini menatap sebal pada Agam. Ini semua karena Agam memandang rendah dirinya.
"Kenapa hanya diam saja? Jangan-jangan Mas Agam yang gak bisa buat mbak Agata hamil!" celetuk Dira yang ingin balas dendam pada suaminya tersebut.
Mendengar Dira yang bicara makin ngawur, Agam langsung menutup mulut gadis itu. Bukan dengan tangan, kain, atau lakban. Tapi dengan bibirnya sendiri.
Bersambung.
Yuk, kenalan sama penulis Rahim Bayaran.
IG : Sept_September2020
Terimakasih.
i