perjalanan seorang anak yatim menggapai cita cita nya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bang deni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebebasan Rara
Hadi berlutut di depannya, mengusap punggung gadis itu dengan canggung. Ia tidak tahu harus berkata apa, jadi ia hanya membiarkannya menangis.
Setelah beberapa menit, Rara mengangkat wajahnya yang basah kuyup.
“Mas…” bisiknya. “ apa dia… dia benar-benar tertangkap?”
“Iya. Polisi datang. Bukan cuma polisi biasa, tapi kayaknya mereka memang sudah mengincarnya. Dengar, dia dituduh pengedar narkotika. Bukan cuma preman biasa,” jelas Hadi.
Tiba-tiba, Rara kembali menangis, kali ini diiringi tawa histeris. Ia bebas. Ancaman yang menggantung di atas ibunya dan dirinya sendiri tiba-tiba hancur berkeping-keping.
Rara memandang Hadi, seolah baru menyadari bahwa pria ini, si teknisi TV, baru saja menjadi perisainya dalam insiden yang sangat berbahaya.
“Mas… terima kasih… terima kasih banyak…”
“Saya tidak melakukan apa-apa,” balas Hadi, merasa malu.
“Enggak, Mas. Mas melindungi aku. Mas ada di sini. Kalau Mas gak ada… aku gak tahu apa yang akan terjadi,” ujar Rara, kini lebih tenang.
Terdengar ketukan pelan di pintu.
“Rara, ini Jarot. Buka pintunya. Polisi mau bicara sama kamu,” terdengar suara Jarot dari luar.
Hadi membuka pintu. Jarot berdiri di sana, wajahnya serius, salah satu anak buahnya sedang dibalut perban oleh petugas medis.
“Loe gak apa-apa, Bro?” tanya Jarot pada Hadi, matanya menatap obeng yang masih dipegang Hadi.
“Gak apa-apa, Bang. Cuma kaget,” jawab Hadi.
Jarot menoleh pada Rara. “Rara, ayo keluar. Katakan semua yang kamu tahu tentang si brengsek itu. Ini kesempatan emas kamu untuk bebas dari sini”
Rara mengangguk, mengambil napas dalam-dalam. Tekadnya sudah bulat. Ketakutan yang selama ini membelenggunya telah digantikan oleh api harapan dan keberanian.
Sebelum keluar, Rara berbalik menghadap Hadi, menatapnya dengan pandangan yang penuh makna.
“Mas Hadi…”
“Ya?”
“Aku gak mau balik lagi ke kamar ini. Setelah ini, aku mau ketemu ibu. Aku mau hidup normal.” ucapnya
Hadi tersenyum. Senyum tulus pertama yang ia berikan sejak masuk ke kamar remang-remang ini.
“Saya doakan, Rara. Saya yakin kamu bisa.”
Rara membalas senyum itu. Senyum tulus dan bebas pertama yang ia tunjukkan pada Hadi. Ia melangkah keluar, menuju cahaya gang, didampingi Jarot, siap menghadapi polisi dan menceritakan siapa sebenarnya pamannya itu. Pintu kamar kecil itu tertutup, menutup babak gelap dalam hidupnya.
Hadi ditinggalkan sendirian di kamar. Ia menyimpan obengnya kembali, menyadari bahwa ia datang untuk memperbaiki TV yang rusak, tetapi justru membantu memperbaiki takdir seseorang. Ia memandang TV yang sudah menyala, yang masih menyiarkan acara dangdut sore.
Dia mengambil gelas kopi yang sudah dingin, meneguknya.
" Loe juga di panggil buat ngasih kesaksian " ucap Bang Jarot , mengagetkan Hadi yang baru saja duduk di depan tv.
Beberapa jam kemudian.
Hadi sudah selesai memberikan kesaksian singkat di kantor polisi. Ia menjelaskan bahwa ia hanyalah teknisi yang terjebak dalam baku tembak antara buronan dan polisi, serta membenarkan cerita Rara tentang pemerasan dan paksaan yang dilakukan Jaya.
Di luar kantor polisi, ia bertemu Jarot.
“Makasih, Bro,” kata Jarot, menyodorkan tangan untuk bersalaman. “Loe udah bantu Rara. Dia sekarang udah aman, sementara dibawa ke tempat aman untuk saksi.”
“Sama-sama, Bang. Saya cuma kasihan sama Rara. Kasihan sama ibunya,” jawab Hadi.
“Paman tirinya, si Jayawinata, dia buronan kelas kakap. Pengedar obat terlarang antarprovinsi. Polisi udah lama ngincer dia. Kebetulan aja dia panik pas sirine bunyi. Kami cuma mancing aja,” jelas Jarot. “Sekarang dia bakal meringkuk lama di penjara.”
Hadi menghela napas lega. “Syukurlah.”
“Tentang Rara, dia bilang dia mau pulang ke Jawa Barat. Dia mau ketemu ibunya. Polisi lagi bantu fasilitasi pemulangan Rara dan ibunya ke tempat yang aman,” tambah Jarot.
“Itu berita bagus,” kata Hadi tulus.
“Loe orang baik. Loe nggak cocok ada di tempat kayak tadi. Loe teknisi, bukan preman,” ujar Jarot, menepuk bahu Hadi.
“Saya cuma bekerja, Bang.”
“Ya. Tapi loe tahu kapan harus jadi manusia,” tutup Jarot, lalu mengajak Hadi ikut di motornya karena tas kerja nya masih berada di kamar Rara juga Motor Ferry
saat Hadi sampai di Pemandanga Malam sudah larut. dengan cepat ia mengambil tas kerjanya. Tugasnya selesai. TV Rara sudah normal. Dan hidup Rara, setidaknya, kini menuju normal.
Ia menstarter motornya, dan melaju pergi, meninggalkan lampu neon ungu, suara dangdut, dan aroma kopi dingin di belakang. Ia hanya teknisi TV biasa, tetapi ia baru saja menjadi bagian dari awal yang baru bagi kehidupan seseorang.
Saat Hadi keluar, beberapa perempuan kembali menggoda dengan candaan nakal. kejadian tadi siang di daerah itu seakan hanya lewat saja bagi mereka.
“Mas mampir dulu biar ilang kagetnya!” goda seorang kupu kupu malam yang berada di depan
“Masnya manis banget… kapan-kapan mampir kamar aku!” goda teman satunya
Hadi hanya menunduk sambil tersenyum kaku. Ia tidak ingin menyinggung mereka.
Di ujung blok, satpam tongkrongan mengangkat tangan memberi salam.
" mau pulang mas?" tanyanya sopan, ada sinar kagum pada tatapan matanya
“ iya , Bang mari” balas Hadi sopan
“ hati hati di jalan mas,” ucap berbasa basi, Hadi mengangguk dan tersenyum.
Begitu melewati gapura merah, Hadi merasa lega. Seolah keluar dari dunia lain yang penuh warna, misteri, dan cerita kelam
Saat tiba di bengkel, Ferry langsung menghampiri.
“Gimana? Lu diapain?” tanyanya sambil nyengir.
“Diapain apaan?! Gue benerin TV lah!”
Ferry tertawa terbahak-bahak. “Ya kali! Tapi bener aman?”
“Aman. Cuma TV-nya rusak flyback.”
Mu’i ikut muncul dari belakang bengkel. “Gimana tempatnya?”
“Ya gitu, Kak. Banyak perempuan duduk-duduk, pakaiannya sangat menggoda" sahut Hadi, ia lalu menceritakan tentang Rara , dan baku tembak yang terjadi saat dirinya berada di sana
" Ada kejadian seperti itu!?" seru Ferry kaget
" iya, gw juga ga nyangka kalau paman tirinya Rara seperti itu, dan pengedar obat terlarang antar propinsi lagi" tutur Hadi
" tau gitu gw ngikut tadi" gumam Ferry
" loe mau jadi umpan peluru?" ejek kak Mu'i
" he he he, kan bisa ngeliat baku tembak, seru" sahutnya
" Ah loe, malah mikir baku tembak, ga tau loe gw sport jantung " gerutu Hadi
" tapi gw ga nyangka ada cerita kelam di balik penghuni Pemandangan
Mu’i mengangguk pelan.
“. Kerja mereka mungkin kita nggak suka, tapi jangan pernah ngerendahin mereka, mereka juga tak mau berada di tempat seperti itu.” ucap kak Mui
Hadi mengangguk. “Iya, Kak.”
“Yang penting lu kerja bener, jaga sikap, aman lah.”
Hadi tersenyum letih. “Aman, Kak.”
Ferry menggoda lagi. “Lu balik dengan muka polos, berarti lu bener-bener cuma teknisi.”
“Apa sih loe, sialan" gerutu Hadi
Malam itu, Hadi duduk di loteng lagi sambil menatap atap seng tua. Pengalaman barusan membuatnya berpikir panjang. Dunia luas, hidup keras, dan setiap orang punya alasan kenapa mereka berada di tempat mereka sekarang.