Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lemparan Shanmu
Pendakian sejati pun dimulai. Lanxi segera mengedarkan Qi-nya, memancarkan aura dingin berwarna biru pucat yang menyelimuti tubuhnya, menciptakan zona nyaman kecil di tengah lautan panas. Aura itu juga sedikit melindungi Shanmu yang berjalan di belakangnya. "Gunakan prinsip Langkah Angin Puyuh, Shanmu!" teriaknya menembus desisan uap. "Medan ini tidak stabil! Lava yang mendingin bisa rapuh! Pijakkan kakimu dengan cepat, gunakan setiap batu hanya sebagai titik tolak, jangan berdiam! Anggap setiap langkah seperti menari di atas mata pisau!"
Shanmu mengangguk, menyerap instruksi itu. Ia mulai bergerak. Kaki-kakinya yang perkasa, dengan otot-otot yang telah ditempa oleh mengangkat batu gunung dan berlari melintasi hutan belantara, sekarang digunakan dengan presisi yang dipelajari. Ia tidak melompat sembarangan. Ia mengamati medan, memilih batu yang tampak paling kokoh, lalu mendorong tubuhnya dengan ledakan kekuatan terkendali. Prinsip memutar dan memantul yang diajarkan Lanxi ia terapkan dengan intuitif. Tubuhnya melesat dari satu batu ke batu lainnya, kadang berputar di udara untuk menghindari retakan menganga, kadang memantulkan kakinya dari tebing kecil untuk mengubah arah dengan tajam. Ia bergerak seperti bayangan yang ditiup angin panas, cepat, tak terduga, dan hampir tanpa suara. Keringatnya mengucur deras sekarang, bukan hanya karena panas, tetapi karena konsentrasi mendalam yang ia keluarkan.
Lanxi, yang harus mengeluarkan Qi secara konstan untuk melindungi diri dan sedikit membantu Shanmu, justru mulai kelelahan. Napasnya menjadi lebih berat, dan ia harus berhenti sesekali untuk mengatur kembali sirkulasi Qi-nya. Ia memandang Shanmu dengan kekaguman yang semakin dalam. Dia belajar begitu cepat, pikirnya. Dan kekuatan fisiknya... bahkan di medan seperti ini, tampak seperti bermain-main.
Setelah mendaki hampir setengah jam, mereka mencapai ketinggian di mana udara terasa begitu tipis dan panas sehingga setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pasir panas. Batu-batu di sekitar mulai memancarkan gelombang panas yang terlihat, membuat udara bergetar. Bau belerang begitu kuat hingga mata perih.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, Lanxi menghentikan langkahnya dengan tajam. Tangannya terangkat, memberi isyarat berhenti. Seluruh tubuhnya menegang, aura Qi-nya yang biru pucat berkobar lebih terang, berubah menjadi perisai defensif. Matanya yang indah menyipit, menatap tajam ke arah celah sempit di antara dua formasi batu vulkanik raksasa yang menyerupai gerbang neraka yang terbuka.
"Tunggu," bisiknya, suaranya rendah, berisi, dan penuh ketegangan yang mematikan. "Ada Qi. Tiga kultivator. Tingkat Pejuang Perak. Aura mereka... kasar, rakus, penuh niat jahat."
Shanmu seketika membeku. Semua indranya yang telah diasah di hutan langsung siaga tinggi. Ia tidak bisa merasakan Qi, tetapi ia bisa merasakan bahaya. Sebuah insting purba berteriak di kepalanya. Otot-ototnya menegang seperti pegas yang akan dilepaskan, tangannya dengan reflek meraih sebuah bongkahan batu vulkanik sebesar kepalanya yang longgar di tanah. Senjata improvisasi. Ia berdiri sedikit membungkuk, siap.
Dari celah sempit itu, seperti laba-laba keluar dari sarangnya, tiga sosok muncul. Mereka mengenakan jubah kultivator dari bahan kasar berwarna abu-abu jelaga, warna yang sengaja dipilih untuk menyamarkan diri di lingkungan berbatu. Pedang-pedang panjang dengan sarung sederhana terikat di punggung mereka. Wajah mereka dihiasi oleh bekas luka, tatapan mata yang dingin dan menghitung, serta senyuman sinis yang mengumbar kesombongan dan kekejaman. Dan yang paling mencolok, di dada kiri setiap jubah, disulam dengan benang perak kusam, adalah simbol sebuah naga yang sedang mencengkeram gunung berapi. Lambang Klan Feng. Sebuah klan terkenal dari kota satelit di selatan, Kota Burung, yang reputasinya dibangun di atas perdagangan gelap, pemerasan, dan kekerasan tanpa ampun.
Pemimpin mereka, seorang pria bertubuh kekar seperti banteng dengan kumis tebal yang hampir menutupi mulutnya, menyeringai lebar begitu matanya jatuh pada Lanxi. Sorot matanya berbinar dengan kilatan keserakahan dan sesuatu yang lebih gelap.
"Lihatlah siapa yang kita temui di tengah padang gurun api ini, Saudara-saudara!" serunya, suaranya parau dan menggema dengan keras, dipenuhi kesombongan. "Bukan lain, murid bunga Sekte Langit Biru, Nona Lanxi! Apa yang dilakukan seekor burung kenari di sarang elang? Jangan-jangan... kau juga mendengar desas-desus tentang bunga api kecil yang tumbuh di sini?"
Lanxi melangkah maju, menempatkan dirinya sedikit di depan Shanmu. Aura dinginnya yang biru pucat kini berputar lebih cepat, membentuk pelindung kecil di sekelilingnya. "Feng Ho," ucapnya, suaranya datar, dingin bagai es di tengah neraka ini. "Aku tidak menyangka sampah Klan Feng sudah berani menjamah wilayah dekat Sekte Langit Biru. Urusanmu apa di sini? Minggir. Aku tidak punya waktu atau kesabaran untuk berurusan dengan kecoak seperti kalian."
Feng Ho, pria berkumis tebal itu, tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya kasar dan menusuk, memenuhi lembah panas. "Oh, Lanxi. Selalu angkuh, selalu dingin. Kami di sini tentu saja untuk alasan yang sama denganmu. Sayangnya, bunga yang kita incar hanya satu. Dan kami, Klan Feng, tidak suka berbagi, apalagi dengan sekte-sekte sok suci seperti Langit Biru." Matanya beralih ke Shanmu yang berdiri di belakang Lanxi, dan sinisme di wajahnya semakin menjadi. "Dan kau membawa apa ini? Seorang budak? Atau mungkin umpan? Dia bahkan tidak memancarkan setitik pun aura Qi. Kau membawa sampah untuk membersihkan jalan?"
Lanxi tidak menjawab provokasi itu. Wajahnya semakin dingin, bagai topeng giok. "Aku tidak akan mengulang. Pergi."
Feng Ho mengangkat bahunya, senyumnya berubah menjadi geram. "Tidak mungkin, Sayang. Kami sudah sampai sejauh ini. Kami tidak akan pergi dengan tangan kosong. Dan melihatmu membawa sampah ini... pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan. Kenapa seorang murid berbakat seperti dirimu repot-repot membawa manusia biasa ke tempat mematikan seperti ini? Kecuali..." Matanya menyipit, penuh kecurigaan. "Kecuali dia bukan manusia biasa. Atau kau punya rencana lain untuknya."
Ia tidak menunggu jawaban. "Tidak masalah. Serahkan apa yang kau cari, atau kami akan mengambilnya sendiri. Dan kali ini, aku benar-benar penasaran ingin merasakan bagaimana rasanya membuat bunga es Sekte Langit Biru layu."
Wajah Lanxi tetap tenang, tetapi Shanmu bisa melihat ketegangan di pundaknya. Ia tahu situasi ini buruk. Dari aura yang dipancarkan, Feng Ho adalah Pejuang Perak tahap menengah, mungkin mendekati tahap akhir. Dua pengikutnya, meski masih tahap awal, adalah Pejuang Perak sejati. Tiga lawan satu. Dan dirinya sendiri... tanpa Qi, hanya bisa menjadi beban jika pertarungan melibatkan serangan jarak jauh dan teknik energi.
"Kau tidak akan mendapatkannya dengan mudah, Feng Ho," balas Lanxi, suaranya berisi ancaman yang jelas. Tangannya sudah meraih gagang Pedang Bunga Salju di pinggangnya.
Feng Ho hanya mendecakkan lidah, seolah-olah menyesali pilihan Lanxi. "Baiklah. Kalau begitu, kita akan sedikit bermain. Bunuh si sampah itu dulu. Itu akan menghibur dan sekaligus membuat Nona Lanxi kehilangan konsentrasi."
Begitu kata-kata itu keluar, Feng Ho mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat. Bilah pedang hitam itu segera diselubungi oleh aura Qi berwarna oranye gelap, memancarkan panas yang bahkan lebih menyengat dari lingkungan. Dua pengikutnya, dengan koordinasi yang terlatih, langsung melesat. Bukan menuju Lanxi, tetapi menuju Shanmu. Strategi mereka jelas: singkirkan yang lemah terlebih dahulu, ganggu konsentrasi yang kuat.
Dua pedang bertenaga Qi, satu dari kiri, satu dari kanan, meluncur seperti dua ular api yang mengincar mangsanya. Kecepatannya luar biasa bagi mata biasa, meninggalkan jejak cahaya oranye samar di udara.
"Shanmu! Jangan hadapi mereka! LARI! Aku akan mengalihkan perhatian mereka!" teriak Lanxi, tetapi tubuhnya sudah bergerak untuk menghadang Feng Ho yang maju dengan pedang menyala.
Tapi Shanmu tidak lari. Melarikan diri dan meninggalkan Lanxi sendirian menghadapi tiga lawan? Itu bukan hanya tidak mungkin, itu bertentangan dengan segala prinsip di hatinya. Tekadnya membara. Ia tidak akan menjadi beban. Ia akan menjadi penolong.
Dua pedang itu hampir mengenai tubuhnya. Dalam sepersekian detik, naluri bertahan hidup yang telah disempurnakan oleh pelajaran Lanxi mengambil alih. Ia tidak mundur lurus. Kaki kanannya, dengan kekuatan yang membuat batu vulkanik di bawahnya retak berderak, mendorong tubuhnya ke samping. Bukan sekadar melompat, tetapi sebuah putaran. Tubuhnya berputar di udara seperti gasing raksasa, sebuah penerapan murni dari prinsip Langkah Angin Puyuh tanpa embel-embel Qi. Pedang pertama hanya menyentuh ujung kain bajunya, membakarnya. Sebelum pria penyerang pertama bisa menyesuaikan keseimbangan, Shanmu sudah berada di posisi baru. Tinjunya, dengan kekuatan yang sengaja ia tahan hingga hanya tersisa sekitar sepersepuluh dari potensi penuhnya, melesat. Bukan ke tubuh, tetapi ke pergelangan tangan yang memegang pedang.
Tinjunya tidak mengandung Qi, tetapi mengandung kekuatan murni yang terkonsentrasi, dipandu oleh pemahaman dasar tentang titik tekanan yang diajarkan Lanxi.
Klang!
Suara logam beradu dengan tulang. Pedang itu terlempar dari genggaman pria pertama, berputar-putar di udara sebelum menghunjam ke tanah vulkanik. Pria itu menjerit pendek, lebih karena keterkejutan dan nyeri tumpul yang menyebar dari pergelangan tangannya yang nyaris patah daripada karena luka serius.
Pedang kedua sudah datang, mengincar punggung Shanmu yang sedang dalam posisi memukul. Waktu tidak cukup untuk menghindar. Shanmu ingat pelajaran tentang menangkis dan menyerap kekuatan. Ia menyilangkan kedua lengannya di depan dada, mengeraskan otot-ototnya hingga bagai batu granit.
Denting!
Bilah pedang bertenaga Qi menghantam lengan Shanmu. Kejutan energi panas dan tajam menerobos masuk, menyengat sarafnya. Kulitnya, yang tangguh, tidak terluka, tetapi rasa sakit seperti sengatan listrik menyebar. Namun, tubuh Shanmu hanya terguncang, tidak terlempar. Dan dalam guncangan itu, ia menggunakan momentum dari serangan lawan. Seolah-olah pedang itu mendorongnya, ia berputar lagi, kali ini mendekati pria penyerang kedua. Sebelum pria itu bisa menarik kembali pedangnya, bahu Shanmu yang keras seperti baja telah menghantam dadanya.
Bugh!
Dorongan murni, tanpa embel-embel teknik, tetapi dengan massa dan kecepatan yang mengerikan. Pria kedua itu terlempar ke belakang seolah-olah ditabrak kereta kuda yang melaju kencang. Ia terhuyung, kehilangan keseimbangan, dan jatuh telentang di atas bebatuan panas dengan suara gedebuk dan desahan napas yang tercekat.
Dalam rentang waktu kurang dari tiga tarikan napas, dua Pejuang Perak tahap awal telah dilumpuhkan. Bukan karena keahlian teknik yang tinggi, bukan karena keunggulan Qi, tetapi karena serangan fisik mentah yang begitu cepat, begitu kuat, dan begitu tak terduga sehingga melampaui semua pola pertarungan kultivasi normal.
Di sisi lain, pertempuran antara Lanxi dan Feng Ho baru saja memasuki fase intens. Lanxi telah mengeluarkan Pedang Bunga Salju. Bilah pedang biru pucat itu memancarkan aura dingin yang menciptakan kabut tipis di sekelilingnya, sebuah oasis dingin di neraka panas. Dengan gerakan anggun namun mematikan, ia melancarkan "Tarian Salju Pertama", mengirimkan gelombang demi gelombang Qi berbentuk kristal es yang tajam menuju Feng Ho.
Feng Ho, bagaimanapun, bukan lawan sembarangan. Pedang apinya menyala dengan aura oranye gelap. Jurus "Amukan Naga Api"-nya meluluhlantakkan serangan es Lanxi dengan mudah, mengubah kristal-kristal itu menjadi uap yang mendesis. "Kau masih terlalu hijau, Lanxi!" raungnya, melompat tinggi, pedangnya membentuk lingkaran api besar sebelum menghunjam ke bawah seperti meteor. "Coba hadapi ini, 'Jurusan Matahari Terbenam'!"
Lanxi mengerahkan seluruh Qi-nya, mengangkat pedangnya untuk menangkis. Pertemuan dua kekuatan yang bertolak belakang itu menghasilkan ledakan kecil. Es dan api bertabrakan, menciptakan awan uap putih yang menyembur. Lanxi terdorong ke belakang beberapa langkah, kakinya meninggalkan jejak dalam di tanah vulkanik. Wajahnya sedikit pucat. Perbedaan tingkat Qi dan pengalaman benar-benar terasa.
Saat itulah, dari sudut matanya, ia melihat Shanmu. Ia melihat bagaimana dua anak buah Feng Ho terkapar, satu meraih pergelangan tangannya yang bengkak, yang satunya berusaha bangun dengan napas tersengal. Dan ia melihat Shanmu, dengan batu di tangan, menatap Feng Ho yang sedang melayang di udara dengan tatapan fokus yang mengerikan.
Sebuah rencana liar muncul di benak Lanxi. Ia tahu kekuatan lemparan Shanmu. Itu adalah senjata rahasia mereka, sesuatu yang berada di luar perhitungan semua kultivator.
"Shanmu!" teriaknya, dengan sengaja mengalihkan perhatian Feng Ho. "Batu! Yang terbesar yang kau bisa temukan! LEMPAR KE DIA!"
Feng Ho, yang sedang bersiap untuk serangan berikutnya, mendengar teriakan itu dan mencibir. Hidungnya yang besar mengernyitkan tanda jijik. "Melempar batu? Kau jadi semakin putus asa, Lanxi! Apa ini pertarungan antar anak jalanan?!"
Namun, cibirannya membeku di bibir. Karena Shanmu tidak ragu-ragu. Matanya sudah menemukan target: sebuah monolit batu vulkanik, sisa dari letusan purba, setinggi dua kali tingginya dan selebar gerobak pedati. Batu itu tertanam longgar di tebing di belakangnya. Dengan langkah cepat, ia mendekat, kedua tangannya yang besar mencengkeram sisi-sisinya.
Kontrol, bisiknya lagi. Jangan semua tenaga. Hanya cukup untuk mengganggu.
Dengan raungan fisik yang dalam dari dasar paru-parunya, sebuah suara yang tidak mengandung sedikit pun getaran Qi, Shanmu memutar seluruh tubuhnya. Pinggang, punggung, bahu, lengan, semua bergerak dalam kesatuan yang sempurna, seperti mesin yang dirakit dengan presisi tertinggi. Batu monolit hitam itu terlepas dari cengkeraman tebing.
Ia tidak mengangkatnya. Ia meluncurkannya.
Batu itu melesat di udara. Bukan dengan kecepatan biasa. Ini adalah proyektil seberat beberapa ribu kilogram yang bergerak dengan kecepatan yang menyaingi panah yang ditembakkan dari busur raksasa. Udara berdesir dengan suara mengerikan, seolah-olah sedang tercabik-cabik. Batu itu meninggalkan jejak turbulensi di belakangnya, membawa serta kerikil dan debu vulkanik. Sasaran: Feng Ho yang sedang melayang, dengan senyum sinis masih melekat di wajahnya.
Feng Ho, seorang Pejuang Perak tahap menengah dengan pengalaman bertarung puluhan tahun, terkejut. Ini di luar semua perkiraan, semua teori pertarungan yang ia ketahui. Siapa yang melempar batu sebesar itu? Dan dengan kecepatan seperti itu? Itu bukan teknik Qi! Itu adalah kekuatan fisik murni pada tingkat yang mustahil!
Naluri bertahan hidupnya berteriak. Ia membatalkan serangannya ke Lanxi, mengalihkan semua Qi-nya ke depan, membentuk perisai api padat berwarna oranye menyala, tebal dan berlapis.
BOOOOM!!!!
Serangan itu seperti guntur di langit cerah. Batu vulkanik raksasa itu menghantam perisai api Feng Ho. Perisai itu, yang bisa menahan serangan pedang spiritual tingkat menengah, berderak, retak, lalu pecah berkeping-keping seperti kaca yang dihantam palu godam. Energi Qi yang terkandung di dalamnya meledak, menyemburkan panas dan cahaya ke segala arah. Batu itu sendiri hancur menjadi ribuan pecahan, berhamburan seperti hujan meteor kecil.
Feng Ho tidak terluka parah secara fisik oleh pecahan batu, tetapi keseimbangan Qi-nya, konsentrasinya, dan mungkin juga harga dirinya, hancur lebur. Ledakan energi dari perisai yang pecah mendorongnya ke belakang dengan kasar. Ia terhuyung-huyung di udara, kehilangan kendali, dan akhirnya menghantam tebing batu di belakangnya dengan kekuatan yang membuat tebing itu bergetar dan runtuh sebagian.
Gedebruk!
Feng Ho jatuh ke tanah, berguling-guling di atas batu panas. Ia batuk, darah segar menyembur dari mulutnya, menodai jubah abu-abunya yang sudah kotor. Matanya, penuh dengan rasa sakit, terkejut, dan ketakutan yang mendalam, menatap Shanmu yang berdiri di kejauhan dengan batu lain yang lebih kecil sudah di tangan.
"L-Lari..." ia mendesah, suaranya parau dan penuh ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. "Anak setan itu... pasti bukan manusia biasa... pasti Pejuang Emas... atau monster... yang menyamar!"
Dua pengikutnya, yang sudah ciut nyalinya, mendengar teriakan pemimpin mereka. Mereka tidak perlu diperintah dua kali. Dengan langkah terhuyung-huyung dan wajah pucat ketakutan, mereka bergegas membantu Feng Ho yang berusaha bangun, lalu bertiga mereka melarikan diri, masuk kembali ke celah sempit, menghilang dengan cepat, meninggalkan jejak darah dan ketakutan.
Lanxi berdiri di tempatnya, napasnya masih tersengal-sengal, pedangnya masih di tangan. Tubuhnya sedikit gemetar karena kelelahan dan ketegangan yang tiba-tiba mereda. Ia memandang Shanmu, yang kini dengan hati-hati meletakkan batu di tangannya. Di mata kultivator cantik itu, ada cahaya yang sangat kompleks: kelegaan yang sangat besar, kekaguman yang hampir tak terhingga, kebanggaan yang mendalam, dan juga... sebuah pemahaman yang semakin jelas tentang betapa istimewanya pemuda di hadapannya.
"Shanmu," bisiknya, suaranya serak karena kelelahan dan emosi. "Kau... kau benar-benar sesuatu yang lain. Dua Pejuang Perak dilumpuhkan, dan seorang Pejuang Perak menengah dipukul mundur... hanya dengan kekuatan fisik dan... sebuah batu."
Shanmu hanya tersenyum lebar, ekspresi polosnya kembali, seolah-olah ia baru saja memenangkan permainan lempar batu biasa. "Aku hanya melakukan apa yang Lanxi katakan. Dan aku bersyukur tidak membunuh siapa pun."
Lanxi menggeleng-gelengkan kepalanya, sebuah senyum lembut dan lelah akhirnya merekah di bibirnya. Rasa bangganya tak terbendung. "Ayo. Kita tidak punya banyak waktu