Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.
Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.
Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:
Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.
Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.
Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.
Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB.35 Gerbang Terlarang Bintang Langit
Langit Benua Barat berwarna kelabu, seolah menyimpan rahasia yang tak ingin dibuka siapa pun. Angin berhembus membawa aroma logam dan debu spiritual.
Di atas punggung seekor binatang terbang berwarna hitam legam, Xio Lun duduk bersila, kedua matanya terpejam, pedang kegelapan terikat di punggungnya. Aura dari tubuhnya menekan udara di sekitarnya; setiap kali ia bernapas, gelombang energi halus bergetar di udara.
Sudah tiga hari sejak pertempurannya dengan Bai Yuan. Luka-lukanya telah pulih, tapi jejak energi kegelapan di dalam dantian masih berputar liar — hasil benturan energi antara Tangisan Kegelapan dan kekuatan bintang Bai Yuan.
Di kejauhan, pegunungan menjulang tinggi, menembus awan. Di antara kabut itulah Gerbang Terlarang Klan Bintang Langit berada — tempat di mana tak ada manusia biasa berani melangkah.
“Xin Shi… aku tahu kau ada di sana,” gumam Xio Lun pelan, matanya perlahan terbuka menatap garis cakrawala. “Dan juga… rahasia ibuku.”
Mutiara Teratai Ilahi yang tergantung di lehernya bergetar pelan, memancarkan cahaya biru lembut seperti menuntun arah.
Setelah setengah hari perjalanan, Xio Lun tiba di lembah luas yang dikelilingi tebing runcing. Di tengah lembah itu berdiri gerbang batu raksasa — Gerbang Bintang, gerbang masuk menuju wilayah terlarang klan tersebut.
Gerbang itu menjulang tinggi, dihiasi ukiran kuno berbentuk naga dan bintang. Namun yang paling mencolok adalah mata naga di ukiran itu… berwarna merah menyala seperti hidup.
Ketika Xio Lun melangkah mendekat, udara di sekitarnya bergetar.
Tiba-tiba, mata naga itu terbuka penuh, dan dua pancaran cahaya merah menyambar ke arah Xio Lun seperti kilat.
BZZZZTTT!!!
Refleks, Xio Lun menebas ke udara.
“Jurus Pertama — Gelap Ngampar!”
Pedang hitamnya memekarkan gelombang kegelapan yang menelan dua sinar merah itu. Namun pada saat bersamaan, tanah di bawahnya retak, dan dari dalam tanah, puluhan rantai energi muncul melingkari tubuhnya.
“Ritual Penjaga Gerbang,” desis Xio Lun lirih. “Seperti yang kakek ceritakan dulu.”
Suara berat bergema dari balik gerbang batu.
“Siapa yang berani menapakkan kaki di Gerbang Bintang tanpa izin Patriak?”
Kabut berputar, membentuk dua sosok manusia mengenakan baju perang kuno dengan wajah ditutupi topeng perak. Mata mereka bersinar biru pucat — mereka bukan manusia biasa.
“Penjaga Gerbang… roh leluhur Klan Bintang,” ucap Xio Lun sambil menghunus pedang kegelapan. “Kalian bukan lawanku, tapi aku harus lewat.”
Salah satu penjaga menatapnya dingin.
“Tak seorang pun boleh melewati gerbang ini tanpa darah keturunan murni klan Bintang Langit.”
“Darah murni?” Xio Lun menatapnya tajam. “Kalau begitu, lihatlah… darah yang lebih tua dari klan bintang langit itu sendiri.”
Ia menggigit ujung jarinya dan mengibaskan darah itu ke udara. Setetes darah jatuh ke batu gerbang — seketika cahaya merah menyala, lalu… retak. Gerbang itu bergetar keras, sementara kedua penjaga menatap kaget.
“Tidak mungkin! Darah ini… darah purba!?”
Xio Lun tidak menjawab. Dalam sekejap, ia melesat ke depan — pedang hitamnya bergetar, memancarkan aura pekat yang seolah menelan cahaya di sekitar.
Penjaga pertama mengangkat tombaknya, menebas ke bawah.
CLAAANGGG!!!
Benturan pertama membuat udara meledak. Ombak energi menyebar seperti badai. Tubuh Xio Lun terhempas tiga langkah ke belakang, tapi ia menahan diri dengan satu tangan.
Penjaga kedua melompat, membentuk dua bilah sabit cahaya. “Formasi Penjaga Langit — Kunci Bintang Kembar!”
Dua sabit biru melesat memotong udara, berputar mengelilingi Xio Lun dari dua arah berbeda.
Tubuh Xio Lun melesat ke belakang, tapi sabit itu mengikuti, seperti dua bulan yang menelan bayangan.
Xio Lun mengangkat pedangnya.
“Jurus Kedua — Seribu Pedang Kegelapan!”
Udara di sekelilingnya meledak oleh ribuan pedang hitam kecil yang melayang, menghadang dua sabit cahaya itu. Benturan energi terjadi ribuan kali dalam sekejap, menciptakan badai petir hitam-biru.
Namun para penjaga tidak berhenti.
Penjaga pertama menancapkan tombaknya ke tanah.
“Segel Bintang Kelima — Langit Menutup!”
Langit di atas mereka bergetar, lalu tujuh lingkaran energi turun menekan tubuh Xio Lun seperti gunung.
“Tekanan ini… kuat,” gumam Xio Lun, urat di lehernya menegang. “Kalau begitu, aku harus naikkan satu tingkat lagi.”
Aura hitam di tubuhnya membubung, membentuk naga hitam besar yang melilit di sekeliling tubuhnya.
“Jurus Keempat — Tangisan Kegelapan!”
Suara tangisan kembali menggema. Kali ini lebih kuat, mengguncang seluruh lembah. Batu-batu di sekitar gerbang terangkat dan hancur berantakan.
Para penjaga berteriak — suara itu menyerang langsung jiwa mereka. Aura biru di mata mereka mulai pudar.
“Tidak mungkin… teknik ini…”
Xio Lun menebas sekali.
Satu pedang.
Gelombang hitam menyapu ke depan, menembus pertahanan kedua penjaga itu.
Tubuh penjaga pertama terbelah menjadi abu. Penjaga kedua terdorong ke belakang, setengah tubuhnya menghilang, namun ia masih bertahan — menahan diri dengan sisa energi spiritual.
“Kau tidak boleh melewati gerbang ini…” katanya dengan suara serak. “Di dalamnya… bukan dunia yang kau kenal.”
Xio Lun menatapnya. “Justru karena itu, aku harus masuk.”
Satu langkah lagi ia maju — pedang hitam menembus dada penjaga itu. Tubuh roh itu memudar perlahan menjadi kabut biru, lalu menghilang.
Gerbang Bintang bergetar keras, retakan bercahaya muncul di sepanjang permukaannya. Lalu, dengan suara berat —
GRRRRRRRAAAAAKKK!!!
Gerbang itu terbuka.
Begitu Xio Lun melangkah ke dalam, dunia berubah. Langit berganti warna menjadi ungu tua, tanah terbuat dari batu kristal, dan di kejauhan berdiri istana kuno menjulang tinggi. Namun aura yang keluar dari tempat itu begitu pekat dan mencekik — bukan aura spiritual biasa, melainkan… kegelapan murni bercampur cahaya bintang.
“Tempat ini… bukan dunia fana,” gumamnya lirih. “Ini ruang terpisah. Dunia di mana Dewa Perang dan Klan Bintang pernah bertarung.”
Suara lirih tiba-tiba bergema di udara, seperti suara perempuan muda yang bergetar lemah.
“Xio… Lun…”
Xio Lun membeku. Itu… suara yang sangat dikenalnya.
“Xin Shi!?”
Namun ketika ia berlari ke arah suara itu, bayangan hitam muncul di depan — sosok berpakaian jubah bintang dengan wajah tertutup topeng perak.
“Tidak semudah itu, pewaris pedang hitam,” kata sosok itu dingin. “Untuk melangkah satu langkah lagi, kau harus melewati Penjaga Gerbang Dalam — Ranah Jiwa Surgawi Ketiga.”
Xio Lun menatapnya, matanya berubah tajam.
“Kalau begitu, mari kita lihat seberapa tinggi langit yang kau jaga.”