Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Suara hujan di luar terdengar pelan, mengetuk jendela apartemen Moira dengan ritme tenang namun menegangkan. Gentha masih di sofa, memandangi langit malam lewat kaca besar, sementara Moira duduk di kursi dekat meja, memutar gelas kopi yang mulai dingin.
“Ada sesuatu yang mau gue omongin,” kata Moira akhirnya, suaranya rendah tapi tajam.
Gentha menoleh, ekspresinya serius. “Tentang apa?”
Moira menatap lurus ke arahnya, mata gelapnya berkilat di bawah lampu redup.
“Tha, mulai sekarang lo harus lebih hati-hati. Gue ngerasa ada yang aneh… ada pengkhianat di antara kita.”
Kening Gentha berkerut. “Pengkhianat? Maksud lo siapa?”
Moira menghela napas panjang, lalu menjawab perlahan, setiap kata seperti ditimbang.
“Jangan percaya sama siapa pun. Termasuk Reno, Bima, Kiko, Rio, Danu, atau bahkan Jiyo.”
“Lo curiga sama mereka semua?”
“Bukan curiga…” Moira menatap kosong sesaat, lalu suaranya menjadi dingin. “Tapi naluri gue bilang — dari salah satu mereka, ada yang bukan orang kita lagi. Dan orang itu bukan sembarang pengkhianat… dia pasti punya hubungan langsung sama keluarga Gavintara.”
Gentha terdiam, ekspresinya menegang. “Lo punya bukti?”
Moira menggeleng pelan. “Belum. Tapi markas Nitro gak mungkin bisa diserang seakurat itu tanpa orang dalam. Dan pesan ‘menyerah, jangan semakin mencari’? Itu bukan gaya musuh lama kita. Itu gaya orang yang tahu pergerakan Nitro dari dalam.”
Ia berdiri, berjalan pelan ke jendela, menatap ke luar. Hujan masih turun deras, memantulkan pantulan lampu kota di matanya.
“Gue gak mau buru-buru nuduh siapa pun. Tapi satu hal pasti—gue bakal ikut permainan mereka. Gue akan berpura-pura gak tahu apa-apa sampai dia nunjukin diri.”
Gentha berdiri juga, menatap punggung Moira. “Jadi lo mau main api, Ra?”
Moira menoleh perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Bukan main api, Tha. Gue cuma nyalain korek dulu biar tahu siapa yang kebakar lebih dulu.”
Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Hanya suara hujan yang jadi saksi dua jiwa itu sedang bersiap menghadapi permainan berbahaya — permainan yang bisa menelan salah satu dari mereka kapan saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jam menunjukkan pukul 02.43. Hujan sudah reda, tapi udara masih dingin menusuk tulang. Moira duduk di depan meja kaca, memandangi layar laptop yang menampilkan denah markas Nitro dan daftar nama orang-orang terdekatnya. Gentha berdiri di belakangnya, bersandar pada dinding, kedua tangannya bersilang di dada.
“Jadi rencana lo apa?” tanya Gentha, suaranya dalam tapi tenang.
Moira mengetik sesuatu cepat, lalu menutup laptopnya. Ia menatap Gentha, tatapannya penuh perhitungan.
“Kita buat misi palsu. Rencana seolah-olah Nitro mau nyerang gudang penyimpanan senjata milik Gavintara. Tapi nyatanya, itu cuma umpan buat ngelihat siapa yang bocorin info.”
“Dan lo yakin si pengkhianat bakal gigit umpan itu?”
“Kalau dia benar-benar kerja buat Gavintara, dia pasti bakal kasih tahu mereka. Gue pengen tahu seberapa jauh dia bisa berkhianat.”
Gentha mengangguk pelan. “Terus, siapa yang bakal lo kasih tahu soal misi ini?”
Moira mengambil selembar kertas, menuliskan sesuatu, lalu menyodorkannya ke Gentha. Ada enam nama di situ — Reno, Bima, Kiko, Rio, Danu dan Jiyo.
“Kita kasih info yang berbeda ke masing-masing dari mereka. Satu lokasi palsu buat tiap orang. Begitu Gavintara nyerang salah satu titik, kita bakal tahu siapa yang buka mulut.”
Gentha tersenyum miring. “Pintar juga lo, Ra. Lo bukan cuma nyalain korek… lo bakar seluruh kotak apinya.”
Moira tersenyum tipis, tapi dingin.
“Biarin. Gue pengen lihat siapa yang kebakar duluan.”
Ia berdiri, menatap Gentha tajam.
“Tapi ingat, Tha. Jangan terlalu percaya sama siapa pun. Termasuk sama gue.”
Gentha mengerutkan alis. “Maksud lo?”
Moira berjalan ke arah pintu, mengambil jaket kulitnya. “Orang yang bisa berkhianat cuma butuh satu alasan kecil. Dan gue pengen lihat siapa yang paling cepat tergoda.”
Sebelum keluar, ia menatap Gentha sekali lagi.
“Mulai malam ini, permainan udah dimulai.”
......................
Lampu gantung tua bergoyang pelan diterpa angin dari ventilasi sempit. Di tengah ruangan batu yang lembap, dua sosok duduk saling berhadapan — Tuan Gavintara dan seorang pria tua berjas abu-abu gelap, wajahnya nyaris tertelan bayangan.
Suara percikan hujan di luar hanya mempertegas kesunyian mencekam di dalam ruangan itu.
Tuan Gavintara berbicara lebih dulu, suaranya rendah dan dingin.
“Jackson sudah mati, Tuan. Tepat seperti perintah Anda. Mayatnya dikirim ke depan mansion…”
Pria tua itu menatapnya tanpa ekspresi, hanya menggerakkan jemarinya di atas tongkat logam berukir naga.
“Bagus.” katanya pelan. “Jackson memang terlalu banyak tahu. Lebih baik dia mati sebelum lidahnya membuat masalah.”
Ia berhenti sejenak, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Lalu bagaimana dengan Gentha? Apa dia sudah tahu siapa kita sebenarnya?”
Tuan Gavintara menarik napas, lalu menggeleng.
“Belum, Tuan. Anak itu masih percaya kalau semua ini hanya permainan dendam antara Nitro dan keluarga kami. Dia bahkan belum curiga kalau benang di balik semua ini dipegang oleh Anda.”
Pria tua itu tersenyum tipis, tapi senyumnya bukan senyum manusia biasa — lebih seperti bayangan dingin yang menyebar dari matanya.
“Bagus. Biarkan dia terus beranggapan seperti itu. Anak itu kuat, tapi terlalu mudah terbakar emosi… sempurna untuk jadi alat yang bisa kita kendalikan.”
Suara tongkatnya mengetuk lantai batu tiga kali, lambat dan berirama.
“Dan mata-mata yang kamu kirimkan ke Nitro? Apa mereka mulai dicurigai?”
Tuan Gavintara menatap ke bawah sejenak sebelum menjawab.
“Belum, Tuan. Moira sudah mulai waspada, tapi dia belum tahu siapa di antara mereka yang berkhianat. Pengkhianat itu masih memainkan perannya dengan sempurna.”
Pria tua itu mengangguk perlahan, matanya menatap jauh ke kegelapan di ujung ruangan.
“Bagus. Terus jaga keseimbangan ini. Jangan biarkan satu pun dari mereka tahu siapa kita sampai waktunya tiba.”
Ia berbalik perlahan, berjalan ke arah tangga batu sambil berbicara tanpa menoleh.
“Kalau mereka mulai curiga… bunuh langsung mata-mata yang kamu kirimkan.”
Langkahnya bergema perlahan ke atas, meninggalkan Gavintara sendirian di bawah, dengan tatapan tajam yang menyimpan sesuatu antara kekaguman dan ketakutan pada pria tua itu.
apa alter ego nya atau gimana neh... tapi kaya nya mulai keluar ya thor alter ego nya.. asikkkk ada yg suka darah 🤭🤭
ya kasih 1 lah Thor alter ego nya utk hanabi / moira😍😍😍
, neng red dan neng winter😂😂😂
lanjutkan lagi thor... 😍😍
ini msh kisahnya hanabi alias moira kan?
koq makin kesini, gentha yg jd tokoh utama nya?
moira kliatan lemah disini