Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MALAM PERTAMA
Begitu masuk, kamar Adit terasa luas dan nyaman, dengan pencahayaan alami yang lembut masuk melalui jendela besar. Lantai kayu halus menambah kesan hangat, sementara dinding bernuansa netral memberi ruang untuk bernapas dan bergerak leluasa. Di salah satu sisi kamar, terdapat sebuah wardrobe besar berwarna cokelat tua dengan pintu geser, rapi menyimpan pakaian dan aksesori Adit. Di sudut lain, sebuah meja kerja minimalis tersusun rapi dengan lampu meja yang hangat, menambah fungsionalitas sekaligus kenyamanan kamar. Suasana keseluruhan memancarkan kesederhanaan yang elegan dan rasa tenang yang menenangkan.
Asha keluar dari kamar mandi dengan langkah pelan, rambutnya yang biasa di gelung, kini dibiarkan tergerai dan masih sedikit lembap, meneteskan sisa-sisa air yang membuat kilau alami pada gelapnya. Ia mengenakan pakaian malam yang lembut—terbuat dari bahan satin tipis dan lembut berwarna pastel yang menempel dengan anggun pada lekuk tubuhnya, memberikan kesan anggun sekaligus sensual tanpa berlebihan. Sedangkan, lengan baju yang longgar menambah kesan feminin, sementara kerahnya yang halus menonjolkan garis lehernya secara elegan.
Mata Asha menatap cermin sejenak, memeriksa diri, lalu ia menunduk pelan, terlihat gugup namun juga memancarkan kecantikan yang menenangkan. Suasana kamar yang hangat membuat siluetnya tampak lembut, seolah cahaya lampu menari-nari di kulitnya, menambah kesan intim pada malam ini.
Tak lama kemudian, Adit membuka pintu kamar, sorot matanya langsung tertuju pada sosok Asha yang berdiri di tengah kamar. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia melangkah pelan, hati-hati, seakan ingin menghampiri namun takut membuat Asha tersadar akan ketegangannya.
Namun saat pandangannya tertumbuk ke cermin, Asha tersentak. Pantulan di kaca memperlihatkan sosok yang baru saja memasuki kamar. "Mas Adit," Lirihnya terkejut.
"Kamu Cantik." Gumam Adit perlahan mendekat.
Asha menunduk sejenak, tangannya gemetar menatap ujung jari sendiri, berusaha menahan rasa malu yang mendadak membuncah. Panasnya menyebar ke pipinya, dan napasnya terasa lebih cepat dari biasanya. Ia bisa merasakan tatapan Adit yang hangat dan penuh kekaguman.
Semakin dekat, Adit perlahan meraih pipi Asha. "Aku beruntung bisa mendapatkan kamu."
Asha tersenyum dengan sebuah anggukkan di kepala. "Tapi..." Suaranya lirih, nyaris berbisik, menggantung di udara, seakan kebahagiannya sebelum sepenuhnya ia dapat sempurna. Matanya menatap Adit, menunggu, ragu tapi juga penuh harap. "Tapi, bagaimana dengan Ibu dan Kakak kamu? Mereka sepertinya memang benar-benar tidak suka padaku, Mas."
Adit menarik napas pelan, perlahan melepaskan sentuhannya dari pipi Asha. Matanya menatap lurus ke lantai sejenak, seakan menenangkan diri sebelum kembali menatapnya. Dengan langkah tenang, ia duduk di tepi ranjang, bahunya sedikit menunduk. Kemudian, Asha perlahan melangkah mendekat. Ia menurunkan diri lalu duduk di tepi ranjang, di sampingnya.
"Mas," Lanjut Asha pelan, "Apakah sebaiknya kita membeli rumah saja untuk kita berdua?"
Adit menatapnya lama, seolah ingin menangkap setiap getar hati yang tersirat di balik kata-katanya.
Asha menarik napas pelan, menundukkan kepala sejenak sebelum melanjutkan dengan suara bergetar tipis, "Ma—maksudku… bukankah setelah menikah alangkah baiknya kita hidup mandiri, punya rumah sendiri…?"
Asha menelan saliva. "Mungkin, Mbak Maya... dan Mas Faris bercerai... itu karena Ibu kamu juga yang gak suka dengan Mas Faris?" Ucapnya, menebak.
Adit tersenyum tipis lalu meraih tangan Asha perlahan. "Mereka bercerai karena Mbak Maya tidak bisa menjadi figur seorang Ibu yang baik." Jelasnya tenang. Pandangannya berpaling menatap lantai kosong, seakan semua kata tersusun rapi disana. "Apalagi semenjak melahirkan Lilia, setiap hari selalu ada pertengkaran. Tidak hanya dari Mbak Maya, tapi juga Mas Faris. Sampai Lilia tumbuh besar, mereka tidak pernah sekalinya akur. Dan orang ketiga itu bukan hanya Mama."
Adit mengangguk pelan dan menatap Asha lagi. "Yah, begitulah... setiap rumah tangga pasangan pasti dan selalu akan ada masalah yang berbeda-beda. Aku tahu, Ibu dan Kakakku tidak pernah bisa menerima kehadiran kamu, mungkin juga membencimu. Tapi... satu hal yang harus kamu pahami, sayang. Cukup aku yang kamu anggap sebagai keluargamu sekarang. Aku, suami kamu. Jangan bebani dirimu dengan pandangan mereka. Selama aku ada, kamu nggak akan sendirian.”
Mendengar kata-kata Adit, mata Asha perlahan memanas, dan sebentuk haru menyelinap ke dalam senyumnya. Bibirnya bergetar tipis sebelum akhirnya membentuk senyum hangat yang tulus. “Mas…” Suaranya serak tapi lembut, penuh emosi yang sulit ia bendung. Matanya berbinar, memantulkan rasa lega dan bahagia yang mendalam.
"Sayang, kamu tahu gak... Mas Faris sempat bilang pondasi rumah tangga itu apa?"
"Apa, Mas?"
"Aku gak tahu betul apa yang akan Mas Dari katakan, tapi bagiku..." Adit meraih kedua jemari Asha dan menangkupnya lembut. "Pondasi rumah tangga itu bukan hanya sekedar cinta, tapi juga kesetiaan dan kejujuran."
Asha tersenyum, lalu mengangguk penuh kelegaan. "Aku percaya, Mas. Aku percaya kamu bisa menjaga apa yang kamu ucapkan."
Tanpa sadar, Asha merapat ke arah Adit, menempelkan kepalanya di bahunya sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa aman yang baru ia rasakan. “Aku… aku bersyukur punya kamu,” Bisiknya pelan, nyaris hanyut dalam getaran hatinya sendiri.
Adit memindahkan posisi duduknya, menyesuaikan agar lebih dekat dengan Asha. Dengan lembut, ia kemudian meraih kedua bahu Asha, menahannya dengan hangat di antara genggaman tangannya sendiri.
Matanya menatap mata Asha tanpa berkedip, pandangannya begitu intens seolah ingin menembus setiap rasa yang tersimpan di hatinya. “Sayang…” Ucapnya pelan, suaranya hangat dan tegas, “Jangan pikirkan apapun untuk malam ini. Kecuali..."
"Kecuali apa, Mas?" Tanya Asha membalas tatapannya, dadanya berdebar kencang, bibirnya tergigit tipis karena campuran haru dan rasa aman.
"Pikirkan bagaimana kita buat anak lucu seperti Lilia untuk malam ini." Celetuk Adit.
Asha terkekeh pelan mendengar pernyataan Adit, pipinya memerah padam. “Mas…"
Adit hanya tersenyum, matanya tetap menatap Asha dengan lembut. Perlahan, wajahnya mendekat, hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Napasnya terasa hangat di dekat wajah Asha, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Sementara Asha sendiri menahan napas, matanya membesar sambil menelan perasaan haru dan gemetar bercampur dengan rasa manis yang sulit ia ungkapkan. Sekejap, dunia di sekitar mereka seolah berhenti, hanya ada tatapan dan kehangatan yang saling mengikat hati mereka.
Adit kemudian mencondong sedikit lagi, senyumnya tetap hangat tapi matanya serius, seolah ingin menyampaikan lebih dari kata-kata. “Asha…” Bisiknya pelan, hampir terdengar seperti doa.
Asha terpejam. Ia merasakan napas Adit yang hangat lalu bibir tipisnya yang mulai menyapu bibirnya lembut. Sebuah gerakan mendorongnya. Tidak memaksa, namun menuntun.
Asha terbaring. Ketika Adit berada di atasnya, tubuhnya yang hangat dan kekar menaunginya, ia tidak merasa tertekan, melainkan dilindungi. Tangan Adit kemudian bergerak, membelai punggung Asha di bawah lapisan satin, dan setiap sentuhan memicu reaksi berantai yang membuat Asha berdesir.
Lepas dari ciuman itu, Adit mengecup kening Asha dengan lembut. Kehangatan napasnya menerpa kulit Asha, mengirimkan getaran halus yang berbeda dari gairah ciuman sebelumnya. Itu adalah sentuhan penuh syukur, penuh janji.
Ciuman Adit kemudian berpindah dengan lembut, meluncur perlahan menuruni garis rahang Asha yang halus. Setiap tarikan napas Adit terasa hangat dan sedikit bergetar, menambah getaran kecil yang menjalar di kulit Asha.
Ia mencapai lekukan sensitif di bawah telinga Asha, tempat denyutan nadinya terasa lembut dan cepat. Di sana, Adit berhenti, hanya memberi kecupan-kecupan ringan yang lebih menyerupai isyarat, mengeksplorasi kulit Asha yang terasa sangat hangat di bawah sentuhannya tanpa ada yang tertinggal.
"Mas..." Lirih Asha kemudian, tanpa sadar.
Perlahan, dengan penuh kehati-hatian, Adit melepaskan tali gaun Asha hingga kain tipis dan transparan itu melorot hingga memperlihatkan tubuh istrinya yang mulus tanpa cela.
Seketika, pipi Asha memerah. Ia menunduk dengan canggung, kedua tangannya refleks menutupi dada, tubuhnya bergetar halus. Ini adalah kali pertama dirinya berada sedekat dan seterbuka itu di hadapan Adit sebagai suaminya.
Adit menghentikan gerakannya saat melihat ekspresi Asha. Bukannya terburu-buru, ia justru mengangkat dagu Asha lembut dengan ujung jarinya, memaksa mata mereka bertemu.
“Hey…” Bisik Adit, suaranya serak namun penuh kelembutan, “Nggak perlu malu. Kamu aman bersamaku.”
Ia merapikan helaian rambut Asha yang jatuh ke wajahnya, memberikan waktu bagi Asha untuk bernapas, untuk merasa nyaman. Tatapannya bukan nafsu yang mendesak, melainkan penghargaan, kekaguman… dan cinta yang menenangkan.
Asha mengangguk kecil, meski wajahnya masih bersemu merah. “Mas… aku hanya…"
Adit kemudian melumat bibir Asha lagi tiba-tiba, seolah tak memberinya kesempatan untuk bicara. Ciuman itu kembali menelusuri setiap kulit Asha yang lembut. Sementara, sebelah lengannya menangkis semua kain yang membalutinya hingga kini keduanya saling memeluk dalam hangat.
Asha kembali memejamkan bola matanya, refleks, tangannya mencengkram erat baju kokoh Adit, ia mulai tegang tapi juga sedikit limbung.
Sungguh, malam ini Adit larut dalam pesona kehalusan kulit Asha, dia masih menyusurinya tanpa melewatkan sesenti pun. Perlahan, Asha juga menikmati sensasi tubuh besar Adit yang hangat dan semakin erat merengkuhnya, hingga di bawah tubuh kokoh itu, punggungnya melengkung dan tanpa sadar mengeluarkan desahan nikmat hingga membuat Bayu sulit mengendalikan diri. Perlahan, desahan Asha berganti dengan erangan sakit oleh tekanan di pangkal pahanya. Bibir Asha terjatuh rapat menahan nyeri.
Sementara, Adit menatap wajahnya yang kesakitan dengan hati menyesal. "Maafkan aku" Bisiknya pelan sambil menempelkan dahinya ke dahi Asha. "Aku bersumpah ini adalah terakhir kali aku menyakitimu." Jelasnya.
Ia mengerti Asha kesakitan, namun hal ini tak mampu menghentikan dorongan hasrat untuk menyatukan tubuh mereka.
Asha tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya meringis menahan kesakitan, hingga air matanya merembes tanpa bisa ditahan. "Mas... " isaknya, mencengkram erat bahu Adit. Namun ia tak mengeluh, karena telah merelakan miliknya yang paling berharga untuk ia serahkan pada Adit malam ini, sepenuhnya. Kepada pria yang ia cintai...
"Sudah selesai, sayang." Bisik Adit. Di saat yang bersamaan, perlahan, ia bergerak lagi. Rintihan sakit Asha kali ini segera berubah menjadi erangan nikmat. Adit seakan membawanya terbang ke tempat tinggi yang belum pernah ia datangi. Tubuhnya bergetar hebat hingga menjalar ke ujung-ujung sarafnya.
Dan di saat getaran itu mulai mereda, kini giliran Asha menyaksikan tubuh Adit juga bergetar dengan geram yang puas seiring kehangatan mengalir memasuki bagian bawah perutnya.
Adit kemudian terkulai lemas, ia berguling ke sisi Asha dan meraih wanita itu ke dalam pelukannya lagi. "Kamu baik-baik saja, sayang?" Tanyanya sambil mengecup kening Asha yang basah oleh peluh yang menetes hingga ke pelipisnya.
"Aku gak apa-apa, Mas."
"Bagaimana rasanya?"
"Rasa... rasa apa?" Tanya Asha dengan mata setengah menggoda, padahal ia tahu maksud Adit dan berusaha ia sembunyikan.
"Tubuhku," Celetuk Adit. "Kalau aku…” Ia mendekat sedikit, suaranya merendah, hampir seperti bisikan yang hanya ditujukan untuk telinga Asha, “Sepertinya malam ini bisa jadi awal dari candu yang… bikin aku susah berhenti untuk ingin memilikimu. lagi... dan lagi.”
Asha terdiam. Bukan karena malu, tapi karena dada dan tenggorokannya terasa menghangat sekaligus meleleh. Pandangannya menurun sesaat, sebelum kembali memandang Adit dengan tatapan yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.
“Mas…” Bisiknya, bibirnya melengkung kecil, “kalau kamu bicara seperti itu… aku juga bisa jadi ikut candu.”
Adit tersenyum dan mengecup kening istrinya, lagi. "I love you, sayang."
"I love you, more."
****