"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Sentuhan yang Mengubah Segalanya
Malam perlahan turun di kota. Di luar, lampu-lampu memantul di jendela apartemen Briana seolah seluruh dunia terlalu jauh untuk menjadi nyata. Di dalam, udaranya terasa berat, sarat dengan sesuatu yang tak satu pun dari mereka tahu namanya, tetapi keduanya rasakan di dada, seperti denyutan mendesak, kekuatan hidup yang tak tertahankan.
Molly duduk di sofa, memeluk bantal, berusaha menyembunyikan kegugupan yang dirasakannya sejak Briana kembali dari perjalanan. Keduanya telah berbicara setiap hari, tetapi tidak ada yang sebanding dengan bertemu muka lagi. Ketidakhadiran itu telah meninggalkan kekosongan yang aneh — dan sekarang, pertemuan itu membuat setiap detak jantung terasa terlalu keras.
Briana mendekat perlahan, tumitnya bergema di lantai marmer. Tatapannya tenang, tetapi cukup intens untuk membuat Molly lupa bagaimana bernapas. Ada sesuatu yang berbahaya pada wanita itu — sesuatu yang mencampurkan kekuatan, kelembutan, dan dominasi yang tidak seorang pun berani menantang.
"Kamu terlihat berbeda..." kata Briana, meletakkan gelas anggurnya di atas meja. "Kamu semakin cantik."
Molly menunduk, tersipu. "Kurasa itu karena rindu. Itu mengubah kita, bukan?"
Briana tersenyum, duduk di sampingnya. Selama beberapa detik, keheningan berbicara lebih dari kata-kata apa pun. Suara hujan yang jauh mulai memenuhi ruangan, dan parfum Briana — campuran melati dan aroma kayu — memenuhi udara, membuat Molly benar-benar tenggelam.
"Aku merindukanmu," aku Briana, dengan nada rendah, hampir berbisik.
"Aku juga..." jawab Molly, suaranya bergetar. "Kupikir kamu tidak akan kembali."
"Aku selalu kembali untuk apa yang menjadi milikku," kata Briana, menatapnya dengan cara yang membuatnya tersipu sampai ke telinga.
Tatapan mereka bertemu dan waktu seolah berhenti. Seolah seluruh dunia telah menghilang, hanya menyisakan suara napas yang tidak teratur. Briana mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Molly dengan ujung jarinya, menyusuri kulitnya dengan lembut, seolah setiap garis wajah pantas untuk diingat.
"Apakah kamu masih takut padaku?" tanyanya, dengan setengah tersenyum.
Molly menggelengkan kepalanya, merasakan getaran merambat di tubuhnya. "Tidak... Aku takut pada apa yang kurasakan."
Briana mendekatkan wajahnya, hingga kehangatan napasnya menyentuh bibir gadis itu. "Kalau begitu, rasakan... dan berhenti melawan."
Sentuhan pertama itu lembut, seperti rahasia yang dibisikkan dalam kegelapan. Bibir Briana bertemu dengan bibir Molly dalam ciuman yang lama, dalam, penuh makna. Seolah semua kerinduan, ketegangan, dan keinginan yang terpendam akhirnya menemukan cara untuk eksis. Molly membalas ciuman itu dengan pasrah dan gemetar, seluruh tubuhnya bereaksi terhadap setiap gerakan.
Ketika mereka menjauh, keduanya terengah-engah. Molly menyandarkan dahinya di dahinya, mencoba menenangkan diri.
"Apa yang kita lakukan, Briana?" gumamnya.
"Sesuatu yang tidak bisa lagi dihindari," jawab pengusaha itu, dengan suara serak.
Tangan Briana turun ke bahu Molly, dan dia menariknya ke dalam pelukan. Pelukan yang menyembuhkan dan, pada saat yang sama, membakar dari dalam. Sentuhan keduanya adalah campuran ketakutan dan rasa ingin tahu, keinginan dan kasih sayang. Briana mengusap rambut gadis itu dengan jari-jarinya, merasakan betapa gemetarnya dia.
"Kamu begitu polos..." bisiknya. "Tapi kamu tidak tahu betapa kamu membuatku terprovokasi."
Molly memejamkan mata, menyerah pada suaranya. "Dan kamu... membuatku bingung."
Briana tertawa kecil, menyentuh dagu gadis itu agar dia melihatnya. "Bingung... atau hidup?"
"Keduanya," jawab Molly, jujur.
Jawaban itu sudah cukup bagi Briana untuk mencondongkan tubuh lagi, menciumnya lagi — sekarang dengan lebih mendesak, lebih jujur. Itu adalah ciuman yang berbicara tentang semua yang telah mereka simpan, tentang semua malam ketika mereka memikirkan satu sama lain dalam diam.
Beberapa menit berikutnya adalah jalinan napas dan sentuhan yang menjelajahi tanpa terburu-buru, menghormati ritme penemuan. Waktu seolah meleleh di antara tangan mereka. Tidak ada lagi atasan dan pekerja magang, tidak ada batasan yang jelas — hanya dua wanita yang bertemu di titik di mana cinta dan keinginan bercampur.
Ketika Briana menjauhkan bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Aku berjanji tidak akan pernah menyakitimu, Molly."
Dia tersenyum, masih gemetar, dan menjawab: "Aku percaya padamu."
Dan di sana, di tengah ruangan yang diterangi oleh cahaya lembut kota, takdir keduanya terikat dalam diam. Sentuhan, ciuman, tatapan — semuanya adalah perjanjian tak terlihat, awal dari sesuatu yang bahkan Briana, dengan semua kekuatannya, tidak akan bisa kendalikan.