Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Diajak nikah?
Tenggorokan Rinjani masih terasa panas, matanya masih berair, ia menatap Langit yang tidak merasa bersalah atas ucapan sebelumnya.
“Kamu diajak nikah, bukannya jawab iya malah batuk,” ucap Langit setelah mengusap tengkuknya.
Rinjani menggeleng saat sendok di tangan Langit mendekat ke mulutnya.
“Udah, Mas … aku kenyang,” tolak Rinjani.
Langit tidak memaksa, ia menyimpan bekas di nampan. Menatap Rinjani yang masih menegak sisa air putih di gelas. Rinjani salah tingkah, wajahnya tertunduk.
Canggung …
Beberapa detik setelahnya keduanya kompak diam. Mereka berdua seolah bingung memulai obrolan kembali.
“Rin …” panggil Langit.
Rinjani menoleh.
Mulut Langit terbuka, hendak berbicara, namun urung saat pintu didorong, menampilkan sosok Sulis yang baru kembali dari kantin.
“Mas Langit nggak ngantor. Biar Teteh yang jagain Non Arin,” ucap Sulis.
Langit melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah bergerak dan menunjukkan pukul 7 pagi. Sudah saatnya ia ke kantor. Jika tidak ada meeting, mungkin ia akan tetap di sini untuk menemani Rinjani.
Setelah izin pergi dan berjanji kembali lagi nanti, Langit segera menuju perusahaan keluarganya. Meski sempat terjebak macet. Ia sampai di ruangan meeting tepat 4 menit sebelum meeting dimulai.
Sekarang semua fokus pada pimpinan mereka, Evan Mahendra Alexander – papa Langit, yang sejak kedatangannya tidak pernah melirik Langit sama sekali.
Langit akan tetap profesional, ikut dalam meeting sampai layar proyektor mati dan lampu ruangan kembali menyala, semua orang meninggalkan meja dan menyisakan Langit dan Evan yang tetap diam.
“Pa.”
Tatapan Evan tajam saat menoleh. Langit tertunduk. Merasa bersalah untuk semua yang terjadi di luar kendalinya.
“Kamu melewatkan sarapan bersama demi Rinjani. Sepenting itu?” tanya Evan sinis.
“Pa aku …” Langit menggigit bibir, ia menatap Evan yang sudah mengangkat satu alisnya. Kemudian Langit menggeleng, ragu.
“Seharusnya saat kamu lihat kondisi Mama tadi malam. Kamu nggak pergi lebih awal pagi ini. Kamu memperburuk keadaan,” ujar Evan.
Langit menunduk lagi, merasa bersalah.
“Makan siang di rumah!” Evan bangkit, itu adalah ucapan terakhir sebelum ia keluar dari ruangan meninggalkan Langit.
Langit menghela napas berat, meninggalkan ruang meeting dan berpindah ke ruangannya.
“Anda memanggil saya, Bos?” tanya Taufan saat masuk.
“Gimana sama Desi dan Darren?” tanya Langit.
“Desi masuk dalam DPO.”
“Dia kabur?” tanya Langit, “Kenapa kamu bisa lalai, Fan? Dia wanita gila! Gimana kalau dia ke rumah sakit buat celakain Rinjani lagi?”
Langit mengumpat, “Sial!” ia membuang napas berat, “Suruh orang buat cari dia!”
“Sudah, Bos.”
“Darren gimana?” tanya Langit.
“Darren masih dirawat di rumah sakit. Polisi sudah mendatanginya, dan dia koperatif.”
“Ya udah, kamu boleh ke luar,” ujar Langit.
Taufan menunduk sopan sebelum meninggalkan ruangan.
******
Nafa memakai snelli yang ia perjuangkan selama duduk di bangku kuliah. Sekarang adalah magang terakhir di salah satu rumah sakit sebelum ia benar-benar wisuda beberapa bulan ke depan.
“Pasien di ruangan rawat VIP belum di periksa, Dok,” ucap seorang suster.
Nafa mengangguk, langkahnya cepat melewati lorong bercat putih dan aroma antiseptik yang menusuk penciuman. Suster yang mengikutinya menyerahkan catatan dan ia meraihnya.
Langkah Nafa terhenti saat ia membaca nama pasien yang akan mereka periksa.
Darren Bumantara.
“Kenapa, Dok?” tanya Suster saat Nafa membolak-balik catatan pada pemeriksa oleh dokter sebelumnya.
Nafa menggeleng, ia kembali melangkah, saat sampai di depan pintu sudah ada seorang polisi yang menjaga di depan. Nafa bingung. Namun kebingungannya dijawab cepat oleh Suster.
“Polisi meminta waktu untuk melakukan penyelidikan terhadap pasien, Dok. Dan rumah sakit mengizinkan.”
Nafa membuang napas berat, mengangguk sekali. Kemudian masuk saat polisi mengizinkannya. Polisi di dalam hanya memberi ruang pemeriksaan pada Nafa.
“Pagi, Mas …” sapa Nafa mengecek selang infus.
Darren hanya tersenyum kecut, “Apa laporan ini juga akan kamu beritahukan pada Langit?” tanya Darren.
Nafa diam, ia memilih fokus pada pekerjaannya.
“Dengar Nafa … fokuslah pada pernikahan kalian. Dan katakan pada Langit, saya tidak akan mundur. Saya tidak akan melepaskan Rinjani.”
Nafa menyerahkan catatan pada suster, “Suster kondisinya sudah membaik … dua atau tiga hari lagi pasien sudah boleh pulang,” ucap Nafa.
Nafa hendak berlalu, memilih mengabaikan semua ucapan Darren.
“Nafa!” tahan Darren saat Nafa sudah diambang pintu.
Nafa berhenti, setengah menoleh.
“Minta calon suami kamu cabut laporannya. Dia tidak akan pernah bisa memenjarakan saya.”
Nafa kembali melangkah, menghiraukan Darren yang sudah berteriak penuh amarah.
Lanjut" Thor🔥