NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / pengasuh
Popularitas:4.2M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

033. Bertubi-tubi

Setelah memindahkan Gita ke ranjang rumah sakit yang baru, tanpa mengatakan sepatah kata pun Harris mendorong ranjang itu keluar ruangan. Bingung dengan sikap Harris yang terlihat protektif, dua petugas ikut memegangi bagian lain ranjang dan membantunya. Seorang lainnya mengurus catatan kesehatan Gita untuk rumah sakit tujuan.

“Kamarnya sudah disiapkan?” tanya Harris saat menunggu ambulans yang mundur perlahan-lahan di teras UGD.

“Kamarnya sudah disiapkan seperti permintaan Pak Harris. Perjalanan ke rumah sakit, apa Bapak ikut mendampingi?” Petugas dibantu Harris kembali mendorong hospital bed mendekati bagian belakang ambulans.

Harris setengah melamun dengan tangan yang pelan-pelan ikut menekuk hospital bed untuk tiba di bagian dalam ambulans. “Saya bawa mobil seperti biasa. Sampai bertemu di rumah sakit,” kata Harris.

Sejak langkah kakinya keluar dari rumah Bu Gendis, sejak itu pula ia merasa sebuah beban diletakkan di pundaknya. Harris merasa sudah masuk terlalu dalam. Awalnya untuk membantu Mar agar babysitter anaknya itu bisa kembali bekerja seperti biasa. Tapi kemudahan menandatangani dokumen itu ternyata tidak semudah ketika menghadapi pasien itu sendiri.

Cerita yang terdengar aneh, terdengar semakin aneh setelah Harris merasa dekat dengan sosok Gita yang terbaring di ranjang rumah sakit. Harris merasa pelik dengan empatinya sendiri. Apalagi saat mendengar cerita singkat keluarga dari ibu kandung wanita itu.

“Semua sudah beres, Pak.”

“Tolong tekankan sekali lagi bahwa ruang ICU bukan ruangan yang bisa didatangi orang dengan bebas meskipun untuk keluarga pasien. Agar tidak ada lagi skenario orang asing nyasar ke ICU. Itu berbahaya bagi pasien mana pun. Jelas?”

“Untuk ruangan ini ada tiga perawat yang akan berjaga dalam tiga shift. Seperti permintaan Bapak, bahwa pasien tidak akan ditinggalkan sendiri. Masuk ke lorong ini menggunakan akses petugas. Kami semua permisi sekarang dan perawat yang berjaga akan menunggu di luar sementara Bapak di dalam.”

Harris mengangguk setelah mendengar penjelasan panjang Kepala Perawat. Setelah mendengar pintu tertutup, Harris mendekati Gita. Satu alisnya sedikit terangkat melihat rambut Gita yang ia nilai sedikit berantakan. Tangannya langsung terulur namun kemudian terhenti. Ia berdeham pelan sebelum mulai lanjut mengangkat rambut Gita pelan-pelan dari bagian atas dada wanita itu yang tertutup selimut.

“Maaf,” ucap Harris pelan. Memastikan hanya menyentuh rambut Gita. “Saya lebih suka kalau rambut kamu tetap berada di atas bantal. Minimal di bahu. Tapi jangan sampai menutupi bagian dada. Kamu tau kenapa? Saya harus melihat bagian dada pasien turun-naik karena bernapas. Jadi … kalau bagian dada ini tidak tertutup rambut, saya bisa melihat kamu bernapas meski dari jauh.”

Harris berhenti merapikan rambut Gita dan memandang wanita itu beberapa lama. Perasaan menjaga seorang wanita yang terbaring dengan kondisi koma membawa banyak kenangan dalam benaknya. “Harusnya kita bisa bertemu dengan kondisi lebih baik,” ucap Harris. “Gita … saya sudah memberikan perawatan terbaik untuk kamu. Jadi, kamu harus cepat bangun. Ingat Ibu kamu … Ingat saya yang sudah banyak menolong kamu. Setidaknya kamu harus bangun dan membalas budi pada saya. Kamu dengar?”

Harris memandang Gita yang meski pucat namun kulit wajahnya terlihat sehat. Harris tersenyum. “Saya sampai lupa mengabari Yunita bahwa staf salon harus mengubah tujuannya ke rumah sakit ini.”

Cerita soal Samsul yang mendekati ruangan Gita membuat Harris tiba di rumah pukul satu dini hari. Ia memastikan semua hal aman dan semua staf bisa ia percaya sebelum meninggalkan rumah sakit.

Pintu pagar dibukakan Agung yang terkantuk-kantuk dan pintu ruang depan dibuka oleh Mar yang matanya segar bugar seperti wanita itu belum ada tidur sama sekali.

“Belum tidur? Biasanya buka pintu rumah bagiannya Surti. Saya khawatir kamu terlambat bangun besok pagi dan Chika juga ikutan terlambat.” Harris memandang Mar yang malam itu masih terbungkus seragam babysitter.

Mar mengibaskan tangannya. “Santai aja, Pak. Saya udah biasa begadang tiap akhir bulan.” Mar menunggu Harris mendahului langkahnya.

“Ngapain begadang akhir bulan? Buat laporan penjualan?” Harris sengaja bertanya dengan diplomatis. Masih berharap kalau Mar yang berdiri di dekatnya mengaku kalau ia sebenarnya adalah jiwa Gita yang menyusup. Walau rasanya mustahil, Harris tetap akan selalu mencoba.

Mar diam beberapa detik menguasai pertanyaan Harris. “Begadang ngitung sisa uang buat belanja,” sahut Mar, mengikuti langkah Harris menuju ke ruang makan. Kepalanya terus menunduk memandang bagian belakang sepatu Harris yang mengetuk lantai di ruangan besar dan lengang.

Dari mana, sih jam segini baru pulang? Apa pergi makan malam dengan Karin? Tapi restoran paling lama tutup jam sepuluh. Makan malam di mana sampai jam satu? Atau jangan-jangan abis makan muter-muter keliling Jakarta sampe masuk angin? Atau cuma duduk dalem mobil berdua tatap-tatapan? Karin pasti bisa ngeraba-raba Harris. Ck! Kenapa aku jadi kesel sendiri?

Tak sadar Mar melangkah lebih cepat dan menginjak bagian belakang sepatu Harris. Pria itu tersandung dengan satu sepatu lepas dari kakinya. Mar yang tadi melamun tersentak karena Harris memandangnya dengan tatapan kesal dan tidak percaya.

“Kamu nggak liat ke mana langkah kamu?” tanya Harris, memandang sepatunya dan Mar bergantian. Sempat terpikir kalau Mar akan mengambil sepatu itu dan menyodorkan ke kakinya. Tapi Mar yang tadi berada di belakangnya malah berdiri dan memandang dengan raut tak bersalah. “Tidak mau meminta maaf?” Harris kembali memakai sepatunya.

“Maaf,” sahut Mar datar.

“Oke, kalau gitu siapin makan malam atau kalau kamu ngantuk, bangunkan Surti. Saya laper,” kata Harris, mengendurkan dasi dan menarik kursi yang biasa ia tempati. “Chika tidur jam berapa?”

Oh, jadi gitu ya? Ternyata kamu nggak beda dari laki-laki umumnya yang doyan sama perempuan centil dan agresif. Lagaknya kemarin kayak nggak suka. Tapi bisa pulang jam segini. Pasti di luar udah ‘pungpung’ makanya nyampe rumah laper. Hih!

“Mar … kamu dengar? Saya laper. Mau makan. Siapkan makan malam atau bangunkan Surti.”

“Surti udah tidur nyenyak, Pak. Udah ngorok kenceng. Getarannya sampai ke dapur. Boleh cek letakkan segelas air di depan pintu kamarnya.” Wajah Mar sangat serius.

“Kalau gitu kamu aja yang masakin saya sesuatu. Buruan, Mar. Saya belum makan malam dan saya mau makan apa aja yang kamu masakin. Apa aja.” Wajah Harris terlihat sangat letih.

Mar yang tadi kesal karena pikirannya sendiri kini langsung berdiri tegak. “Mau makan apa aja?” Mar merasa perlu memastikan. Menu makanan yang biasa ia makan setiap pulang kerja tengah malam bisa dikatakan bukan menu yang manusiawi.

“Apa aja, Mar. Cepat,” pinta Harris.

Mar pergi ke dapur bukan hanya sebagai Gita, tapi juga sebagai Mar yang melaksanakan perintah sang majikan. Meski di dalam kepalanya puluhan skenario Harris dan Karin bermesraan, Mar tetap memasak menu yang cukup sehat untuk dimakan Harris dini hari itu.

Ingat siang tadi Surti memasukkan udang sudah dibersihkan ke freezer, Mar mengeluarkannya dan menyiram udang itu dengan air panas. Sambil menunggu udang tersebut mencair dan siap masak, Mar menyiapkan bawang putih cincang, bawang merah dan bawang putih utuh, daun bawang, margarin, kecap ikan, saus tiram, saus sambal dan merica.

Mirip seorang koki handal Mar menumis semua bumbu di bawah gempuran deru kitchen hood. Aroma bawang yang ditumis dengan margarin tercium sampai ke hidung Harris. Pria itu mendatangi dapur dan berdiri menyilangkan tangan di ambang pintu.

“Mar … apa sudah kamu sampaikan pada Gita soal pesan-pesan saya?” Harris bicara dari ambang pintu karena tak ingin mengejutkan Mar yang sedang menumis bumbu.

Mar mengerling sedikit pada Harris, lalu kembali berkonsentrasi memasak. “Pesan yang mana, Pak?”

“Pesan jangan bangun terlalu lama. Kasihan ibunya,” kata Harris singkat.

Mar langsung berbalik menatap Harris. “Memangnya ibu Gita kenapa? Darah tinggi? Atau jantungnya? Vertigo?” Mar menyebut semua penyakit yang biasa dirasakan Bu Gendis.

Harris menggeleng. “Bu Gendis mungkin sudah sangat merindukan putrinya,” kata Harris.

“Tau dari—”

“Hanya menebak,” jawab Harris singkat. “Malam ini saya memindahkan Gita ke rumah sakit swasta yang sedikit jauh dari sini.”

“Kenapa dipindahkan?” Mar mengangkat semangkuk udang dan memasukkannya ke kuali saat ia rasa semua bawang utuh sudah lembut.

Harris diam tak menjawab. Sedang mempertimbangkan apakah ia sedang berhadapan dengan Mar yang bersuamikan Samsul atau Gita yang gagal dicelakai Samsul. Akhirnya Harris sama sekali tak menjawab soal itu. “Kalau sudah selesai memasak antarkan ke depan.” Harris kembali ke kursinya dan menunggu Mar dengan tak sabar.

“Berarti … Bapak pulang terlambat karena mengurus kepindahan Gita ke rumah sakit swasta?” Mar memindahkan sepiring nasi dan sepiring udang caramelized garlic butter ke hadapan Harris. Lengkap dengan segelas air putih hangat dan alat makan yang ia sodorkan.

“Terima kasih, Mar,” kata Harris, mengambil sendok dan mulai memindahkan udang ke nasinya yang masih mengepul. “Kamu benar. Saya pulang terlambat karena memindahkan Gita ke tempat yang lebih nyaman. Entahlah … semuanya sangat aneh dan mengganggu pikiran,” ucap Harris.

"Berarti nggak ketemu Karin ya?"

"Ha? Karin? Memangnya...."

Tiba-tiba Mar membungkuk. Harris berjengit karena terkejut dengan sikap Mar yang tiba-tiba itu. Dengan sebuah nampan dalam dekapan, Mar berdiri di hadapan Harris dengan sikap tegak yang formal. “Makasih karena udah bantu saya buat merawat Gita.”

Harris memakan makanannya dengan lahap. Tak menjawab Mar sampai ia menelan makanan di mulutnya. “Gita banyak hutang ke saya. Dia harus cepat bangun untuk bayar hutangnya.” Harris tidak memandang Mar saat bicara. Ia mulai merasa gila karena beberapa detik yang lalu ia menangkap sorot kesedihan berbeda di mata Mar.

“Gita pasti membayar semua hutang-hutangnya. Tabungannya enggak banyak tapi Gita wanita pekerja keras.” Mar berbinar-binar karena melihat Harris makan dengan lahap.

“Bagus kalau begitu,” sahut Harris, meneruskan makannya.

Waktu lima menit selanjutnya berjalan sangat lama. Mar menikmati pemandangan Harris makan masakannya dengan lahap. Ternyata resep cepat dan lezat sekejab yang selalu menjadi andalannya sangat diterima oleh lidah Harris. Suasana ruang makan hanya diisi oleh denting sendok-garpu Harris yang beradu ke piring. Sampai bunyi getaran ponsel Harris di meja ikut meramaikan dini hari yang sepi.

Mata Harris sudah membulat saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. “Halo? Ada apa, Yun?” Pukul dua dinihari dan Harris masih mendapat telepon dari asistennya.

“Pak, barusan Bu Gendis pingsan di kamarnya sewaktu keluar dari toilet. Lutut dan kepalanya sampai berdarah karena terbentur. Sekarang staf rumah sakit sedang dalam perjalanan menjemput Bu Gendis.”

Suasana ruang makan yang lengang membuat suara Yunita terdengar sangat jelas meski tanpa mode speaker. Wajah Mar berubah pucat pasi.

To be continued

1
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
wkwkwk kok lucu ucapan surti
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
pembantu nya keren kan
azkayramecca
terima kasih kak Njus🙏❤️
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
sungguh kalian berdua berbeda bagai langit dan bumi
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
pabalikbek, lieur dah wkwkwk
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
bingung ya pak Harris
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
kalau kangen orang yang telah tiada susah ketemu walaupun dalam mimpi
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
jawaban yang gak masuk di akal
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
apa hubungan nama panggilan dengan pusing, anneh pak Harris ini
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
bingung kan pak Harris
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
woww bahasa nya keren
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
ini gita banget, mar gak berani seperti itu
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
wkwkwk gak mempan ya
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
siap siap kena omel nih
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
wkwkwk mar pasti terpesona nih
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
bahasa mu mar, ketinggian buat jaya
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
sesekali di beri pelajaran tante mona, sama keponakan sendiri sadis
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
sirup rasa markisa, bukan markisah
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
manusia gak akhlak segitu nya ke anak kecil
ᴰᴱᵂᴵ 𝒔𝒂𝒓𝒂𝒔𝒘𝒂𝒕𝒊🌀🖌:
tauan saja, kalau orang kesepian banyak bicara wkwkwk
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!