NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mencari Laras

Sejak Rania dan Bani mengantar Mbak Laras serta Ameera pulang ke rumah kontrakan mereka, Rania mendadak banyak diam. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Bagaimana mungkin Laras bisa tinggal di tempat seperti itu—lingkungan yang bahkan tak layak huni. Padahal yang Rania tahu, Mbak Laras dulu hidup berkecukupan. Ia bekerja di perusahaan ternama dan menikah dengan laki-laki berada.

Lalu ke mana suaminya?

Mengapa kini Laras dan Ameera harus tinggal di kawasan kumuh seperti itu?

Bani menyadari perubahan sikap istrinya. Ia menepuk bahu Rania dengan lembut.

“Sayang… kamu kenapa? Kok melamun?”

Rania sedikit tersentak. “Mas… bikin aku kaget aja.”

“Maaf. Kamu kelihatan mikir terus. Ada apa? Cerita sama aku.”

“Mas, aku kepikiran kehidupan Mbak Laras dan Ameera. Kenapa mereka bisa tinggal di sana?”

Dahi Bani berkerut. “Memangnya kenapa? Kan itu pilihan mereka.”

“Mas ini gimana sih!”

“Loh, aku kenapa?”

“Mas, dulu kehidupan Mbak Laras yang aku tahu itu cukup berada. Kata bude, dia kerja di perusahaan besar. Terus menikah dengan laki-laki kaya. Sekarang kenapa hidupnya jadi seperti ini? Apa suaminya meninggalkan dia?”

Bani meraih tangan istrinya, mengelus punggungnya dengan ibu jari. “Sayang… kenapa kamu memikirkan urusan orang lain? Mbak Laras sendiri kan gak cerita apa-apa.”

“Aku tahu, Mas. Tapi naluri aku bilang mereka butuh bantuan. Kamu lihat Ameera tadi? Cara makannya… seperti anak yang jarang makan enak.”

“Sudah, jangan dipikirkan dulu. Kamu nggak boleh stres. Sekarang istirahat ya. Besok kita ke sana lagi, kita bicarakan baik-baik supaya kamu tenang.”

“Beneran, Mas?”

“Iya.”

“Terima kasih ya, Mas.”

Rania memeluk suaminya erat. “Sama-sama, sayang. Apa pun akan aku lakukan demi kebahagiaan kamu.”

***

Keesokan harinya, Rania dan Bani kembali ke rumah kontrakan Laras. Namun setibanya di sana, rumah itu kosong.

“Maaf, Bu,” sapa Rania pada seorang ibu yang melintas. “Perempuan yang tinggal di rumah ini ke mana ya?”

“Oh, Mbak Laras?”

“Iya, Bu.”

“Dia sudah diusir.”

Rania mengernyit. “Diusir? Tapi kemarin saya ke sini, dia masih ada.”

“Tadi habis subuh. Katanya gak bisa bayar kontrakan. Baru dua bulan di sini, sudah menggoda suami orang.”

“Menggoda?”

“Iya. Dia kan janda. Para istri di sini pada gak suka.”

"Janda." batin Rania.

“Baik, Bu. Terima kasih informasinya.”

Setelah ibu itu pergi, kekhawatiran Rania semakin menjadi—terutama memikirkan Ameera yang masih kecil, harus hidup terlunta-lunta.

“Mas, kita cari mereka yuk.”

Bani mengangguk. Ia sangat mengenal istrinya. Jiwa sosial Rania memang tinggi; ia tak bisa tinggal diam melihat orang kesusahan. Hal itulah yang selalu membuat Bani kagum—cantik luar dan dalam.

“Baiklah,” ujar Bani tersenyum. “Demi istriku yang satu ini.”

Menjelang siang, mereka belum juga menemukan Laras dan Ameera.

“Kita cari ke mana lagi ya, Mas?”

“Kita cari lagi nanti. Sekarang kita ke masjid dulu. Sebentar lagi Zuhur, kamu juga harus makan.”

“Tapi, Mas—”

“Sayang, aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenapa. Oke?”

“Iya.”

Tak lama, mereka menemukan masjid dan segera berwudu lalu salat Zuhur berjemaah.

“Hati-hati ya, sayang. Pelan-pelan.”

“Iya, Mas.”

Bani begitu protektif pada Rania dan bayi yang dikandungnya.

Selesai salat, Rania menuruni anak tangga sambil berpegangan pada tiang. Bani sudah menunggu di bawah dan langsung menggandeng tangannya.

“Yuk, kita cari makan.”

“Aku mau makan pizza. Boleh, Mas?”

“Boleh.”

Rania tersenyum cerah. “Terima kasih, suamiku.”

Saat mereka tiba di parkiran, suara kecil memanggil,

“Tante Raniaaa!”

Rania menoleh. Ameera berlari ke arahnya.

“Ameera?” gumamnya bingung

Dengan napas terengah, Ameera berkata, “Tante, tolongin bunda. Bunda pingsan.”

“Pingsan? Di mana, sayang?”

“Di sana.”

Mereka mengikuti Ameera dan mendapati Laras tergeletak lemah.

“Ya Allah, Mbak… kenapa bisa begini?”

“Mas, kita bawa ke rumah sakit,” ujar Rania panik.

Bani terdiam. “Gimana caranya, sayang?”

“Aku tahu apa yang ada di pikiran Mas. Tapi ini darurat.”

Bani menoleh dan melihat dua pemuda tak jauh dari sana. “Maaf, boleh minta tolong? Bisa bantu angkat Mbak ini ke mobil saya?”

Keduanya saling pandang lalu mengangguk. “Lumayan buat rokok,” gumam salah satunya.

Setelah Laras dimasukkan ke mobil, Bani memberikan beberapa lembar uang pada mereka.

***

Di perjalanan menuju rumah sakit, Rania tersenyum kecil. Ia tahu betul suaminya—tetap menjaga batas, bahkan dalam kondisi genting.

Setibanya di rumah sakit, Laras segera ditangani. Bani memesankan makanan online untuk Rania dan Ameera.

“Mas, sudah pesen makanan?”

“Iya.”

“Makanan apa?”

“Pizza. Bukannya itu yang kamu mau?”

Bani lalu menuju bagian administrasi, meninggalkan Rania dan Ameera di depan ruang rawat. Ia masih sedikit kesal pada Rania, yang memintanya tadi untuk menggendong Laras.

Beberapa menit kemudian, dokter keluar. “Pasien hanya lemas. Maagnya kambuh dan dehidrasi. Kemungkinan sejak malam tidak makan dan minum.”

“Apa?!” Rania terkejut.

“Saya boleh menemuinya, Dok?”

“Silakan.”

Di dalam ruang rawat, Rania menggenggam tangan Laras.

“Mbak, gimana sekarang?”

“Alhamdulillah sudah lebih baik. Terima kasih, Ran.”

Rania lalu menceritakan apa yang ia dengar pagi tadi.

Laras terdiam, lalu menitikkan air mata. “Aku sudah bayar kontrakan itu semalam. Itu uang terakhirku. Tapi pagi-pagi, suami pemilik kontrakan datang dan… mencoba hal yang tidak pantas.”

“Ya Allah…”

“Aku ini janda, Ran. Apa pun selalu dilihat buruk.”

Rania menggenggam tangan Laras lebih erat. “Mbak sekarang gak sendirian. Istirahat dulu di sini. Aku pulang dulu, besok aku datang lagi.”

“Tapi, Ran—”

“Tidak ada tapi. Aku sudah belikan kalian makan. Sekarang istirahat ya.”

***

Sesampainya di rumah, Rania sebenarnya ingin langsung membicarakan sesuatu dengan suaminya.

“Mas…”

Bani menoleh sebentar, lalu menghela napas pelan. “Aku tahu apa yang ingin kamu bicarakan. Tapi tolong, jangan sekarang. Kita istirahat dulu, ya.”

“Iya, Mas.”

Bukan berarti Bani bersikap cuek. Ia hanya ingin Rania berhenti sejenak memikirkan kesulitan orang lain. Bani paham betul betapa besar kepedulian istrinya, namun demi kesehatan Rania dan anak yang dikandungnya, ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi hanya karena Rania terlalu memaksakan diri.

***

Di dalam kamar, Rania duduk bersandar di kepala ranjang. Tangannya sesekali mengusap perutnya yang mulai membuncit.

“Sayang…” Bani duduk di sampingnya, ikut mengelus perut Rania dengan penuh kasih. “Gemes banget perut kamu.”

Beberapa detik kemudian, gerakan kecil terasa jelas.

“Mas!” Rania terkejut sekaligus tersenyum lebar. “Mas ngerasain kan? Dia nendang.”

“Iya, Mas ngerasain.” Bani tersenyum haru. “Ya Allah, Nak… lagi ngapain di dalam, hm?”

Ia mendekatkan telinganya ke perut istrinya. “Nak, sehat-sehat ya di dalam. Papa nggak sabar nunggu kamu lahir.”

“Iya, Pa. Aku juga gak sabar ketemu Papa,” ucap Rania menirukan suara anak kecil.

Bani terkekeh kecil. “Terima kasih ya, sayang… kamu sudah mau mengandung anak Mas.”

“Mas, aku yang seharusnya bilang terima kasih. Kamu selalu jaga aku, sabar sama aku, walau kadang aku—”

“—lebih mikirin orang lain daripada kesehatan kamu sendiri,” potong Bani lembut.

“Mas, ih!” Rania manyun. “Kamu nggak suka aku begitu?”

“Bukan nggak suka. Justru aku suka sifat kamu itu. Tapi kalau sampai kamu mengabaikan diri kamu sendiri, itu yang nggak aku suka. Buat aku, kesehatan kamu itu yang paling penting.”

“Maaf ya, Mas.”

“Gak apa-apa. Asal kamu mau nurut sama aku.”

Rania terdiam sejenak, lalu bertanya pelan, “Terus… bagaimana dengan Mbak Laras, Mas?”

Bani berpikir sebentar. “Kamu kan punya butik. Minta saja dia kerja di sana. Kita juga masih punya rumah kontrakan, kan? Dia bisa tinggal di situ sama Ameera.”

Mata Rania berbinar. “Iya ya, Mas. Kok aku gak kepikiran.”

“Sudah beres, kan?” Bani tersenyum. “Sekarang, boleh nggak aku jenguk putri aku?”

“Boleh dong, Mas.”

Bani mendekatkan diri, memperlakukan Rania dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.

***

“Assalamu’alaikum.”

Rania dan Bani memasuki ruang rawat Laras.

“Wa’alaikumussalam.”

Ameera langsung berlari kecil menghampiri mereka, lalu mencium tangan Rania dan Bani bergantian.

“Ameera sudah makan, sayang?” tanya Rania lembut.

“Sudah, Tante,” jawab Ameera.

“Baik. Tapi Tante bawa kue. Kamu cemilin, ya.”

“Terima kasih, Tante.”

“Sama-sama, sayang.”

Ameera menerima kue itu lalu duduk memakannya perlahan. Ia sebenarnya belum makan apa pun sejak pagi, tapi ia tak ingin membuat siapa pun khawatir.

“Mbak, gimana keadaannya?” tanya Rania pada Laras.

“Sudah jauh lebih baik, Ran. Kata dokter, siang ini Mbak sudah boleh pulang.”

“Alhamdulillah. Kalau begitu… Mbak bisa ikut kami.”

“Ke mana, Ran?” Laras menatap bingung.

“Aku punya butik. Mbak bisa kerja di sana. Terus, dekat rumah aku dan Mas Bani ada kontrakan kosong. Mbak bisa tinggal di situ sama Ameera.”

Air mata Laras jatuh tanpa bisa ditahan. “Kamu percaya sama Mbak, Ran?”

“Aku percaya, Mbak. Aku nggak tega lihat Ameera tumbuh di lingkungan yang nggak aman. Bagaimanapun, kita masih saudara.”

“Terima kasih, Ran. Kamu baik banget.”

Rania tersenyum lembut.

“Sama-sama, Mbak.”

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!