Alya adalah gadis muda yang tumbuh dalam hidup penuh luka. Sejak kecil ia terbiasa dibully di sekolah dan hidup di bawah bayang-bayang ayah yang terlilit utang. Puncaknya, Alya hampir dijual untuk bekerja di sebuah bar demi melunasi utang sang ayah. Di tempat itulah hidupnya mulai berubah ketika ia tanpa sengaja bertemu Zavian—seorang mafia berusia 29 tahun, pemimpin perusahaan besar, sosok dingin dan berwibawa yang menyimpan dendam mendalam akibat kehilangan adik tercintanya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Batas yang Dipelajari dengan Serius"
Malam itu, ketika Alya sudah tertidur dengan napas yang teratur, Zavian tetap terjaga.
Ia berbaring menatap langit-langit, satu lengan terlipat rapi di samping tubuhnya, menjaga jarak yang telah mereka sepakati. Di dunia yang ia kuasai, keputusan biasanya datang cepat—berdasarkan risiko, keuntungan, dan jalur terpendek menuju hasil. Namun sejak Alya hadir dengan cara yang tidak pernah ia rencanakan, setiap keputusan terasa harus melalui satu lapisan tambahan: hati nurani.
Pertanyaan Alya pagi tadi berputar-putar di kepalanya.
Bukan karena dorongan sesaat. Bukan karena keinginan yang tidak terkendali. Melainkan karena satu tanggung jawab besar yang baru ia sadari sepenuhnya: **mengetahui kapan harus menunggu** sama pentingnya dengan mengetahui kapan harus melangkah.
Zavian bangkit perlahan agar tidak membangunkan Alya. Ia mengambil ponsel, keluar kamar, dan menutup pintu dengan hati-hati. Ruang kerja kecil di rumahnya masih rapi, lampunya redup. Ia duduk, menyalakan layar, dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia menggunakan kebiasaan lamanya untuk sesuatu yang sangat personal: **mencari informasi**.
Ia tidak mengetik kata-kata sembarangan. Ia memilih dengan hati-hati, seperti menyusun negosiasi.
“Usia dewasa dan kesiapan hubungan.”
“Kesehatan dan kesiapan perempuan usia 19 tahun.”
“Persetujuan dan kesiapan emosional dalam pernikahan.”
Ia membaca perlahan, tidak terburu. Sumber-sumber yang ia pilih bukan gosip, bukan opini kosong—melainkan artikel kesehatan umum, panduan psikologis, dan penjelasan hukum yang netral. Ia mencari garis besar, bukan detail yang melampaui batas.
Yang ia temukan tidak mengejutkan—namun menguatkan.
Secara hukum, usia dua puluh adalah dewasa. Secara fisik, banyak perempuan di usia itu telah matang. Namun hampir semua sumber menekankan hal yang sama: **usia bukan satu-satunya penentu kesiapan**. Ada faktor emosi, rasa aman, pengetahuan, dan—yang paling ditekankan—**persetujuan yang sadar tanpa tekanan**.
Zavian meletakkan ponsel.
Ia menghela napas panjang.
“Benar,” gumamnya pada diri sendiri. “Menunggu bukan berarti menahan. Menunggu berarti menghormati.”
Keesokan harinya, di kantor, Zavian memanggil Ilham.
Bukan untuk urusan wilayah. Bukan untuk laporan musuh. Melainkan untuk sebuah percakapan yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lakukan dengan orang kepercayaannya.
Ilham masuk dengan sikap profesional. “Pak?”
“Duduk,” kata Zavian. Ia menatap berkas di mejanya tanpa benar-benar membacanya. “Aku mau tanya… hal umum.”
Ilham mengangkat alis—tanda terkejut yang sangat halus. “Tentu, Pak.”
Zavian menimbang kata-katanya. “Menurutmu… apa yang membuat seseorang benar-benar siap untuk melangkah lebih jauh dalam pernikahan?”
Ilham terdiam sejenak. Ia tidak tersenyum, tidak bercanda. Ia memahami nada itu bukan main-main.
“Bukan umur, Pak,” jawabnya jujur. “Tapi rasa aman. Dan pilihan.”
Zavian menoleh. “Jelaskan.”
“Kalau seseorang merasa aman untuk berkata ‘tidak’, berarti ia juga aman untuk berkata ‘iya’,” lanjut Ilham. “Dan kalau ia memilih, bukan karena takut mengecewakan—itu kesiapan.”
Zavian mengangguk perlahan.
“Dan perempuan,” tambah Ilham hati-hati, “seringkali membutuhkan waktu untuk percaya. Terutama kalau ia pernah berada di posisi tidak punya kendali.”
Kalimat itu tepat sasaran.
Zavian menutup pembicaraan dengan anggukan singkat. “Terima kasih.”
Siang itu, ia juga membuat satu janji lain—diam-diam, tanpa banyak orang tahu. Janji konsultasi singkat dengan seorang profesional kesehatan keluarga yang selama ini menjadi rujukan terpercaya untuk stafnya. Bukan untuk bertanya detail yang melanggar privasi—melainkan untuk memastikan pemahamannya **benar dan bertanggung jawab**.
Jawaban yang ia dapatkan konsisten: komunikasi, kesiapan mental, dan tidak ada paksaan adalah kunci. Menunggu sampai pasangan benar-benar siap bukan kelemahan—itu perlindungan.
Malamnya, Zavian pulang lebih awal.
Alya sedang duduk di ruang tengah dengan secangkir teh hangat. Ia menoleh dan tersenyum kecil. “Pulang cepat.”
“Iya,” jawab Zavian. Ia duduk berhadapan, memperhatikan wajah Alya yang tampak lebih cerah akhir-akhir ini. “Aku mau bicara sebentar.”
Alya mengangguk. “Tentang apa?”
Zavian memilih duduk lebih dekat—tidak menekan, tidak mendominasi. “Tentang pertanyaanmu kemarin.”
Alya sedikit menegang, lalu mengangguk pelan. “Oh.”
“Aku cari tahu,” kata Zavian jujur. “Aku tanya. Aku baca. Bukan karena ragu padamu—tapi karena aku ingin yakin bahwa aku melakukan hal yang benar.”
Alya terdiam, lalu bertanya lirih, “Dan?”
“Dan jawabannya sama seperti yang aku rasakan,” lanjut Zavian. “Aman itu bukan soal usia. Aman itu soal kesiapan dan pilihan.”
Alya memeluk cangkirnya. “Jadi… aku tidak aneh?”
“Tidak,” Zavian tersenyum kecil. “Kamu justru jujur. Dan itu berani.”
Alya menatapnya lama. “Kalau suatu hari aku bilang belum siap… Bapak benar-benar tidak akan marah?”
“Tidak,” jawab Zavian tanpa ragu. “Dan kalau suatu hari kamu bilang siap, aku akan memastikan kamu tetap merasa aman.”
Alya menghela napas, seperti melepaskan beban kecil yang selama ini ia simpan. “Aku senang Bapak mikir sejauh itu.”
Zavian menunduk sebentar. “Aku belajar. Dari kamu.”
Malam itu, mereka kembali ke kamar dengan perasaan yang lebih tenang. Tidak ada perubahan aturan. Tidak ada tuntutan baru. Hanya satu kesepakatan yang semakin jelas: **setiap langkah akan diambil bersama, dengan sadar**.
Zavian berbaring, disamping Alya memeluknya seperti biasa. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa kuat bukan karena mengendalikan segalanya—melainkan karena memilih untuk menjaga dengan benar.
Dan Alya, di sisinya meringkuk dengan keyakinan sederhana namun penting: bahwa cintanya tidak sedang dikejar—melainkan dihormati.
Alya menatap Zavian. "Pak, emangnya kalau melakukan itu...sakit ya?. tanya Alya polos.
Zavian mengecup kening Alya lembut. "tergantung sayang".
Alya tampak bingung. "Tergantung apa?. Zavian tertawa kecil. "Kalau masih pertama kali mungkin akan sedikit sakit dan tidak nyaman. Aku tidak akan memaksa mu jika belum siap'.
Dan itu—bagi Zavian—adalah keputusan paling dewasa yang pernah ia ambil.