Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Sebuah Harapan
Jordan langsung menoleh ke arah Noah. Dia menatap tajam lawan bicaranya itu. Tak lama kemudian Jordan mencengkeram kerah kemeja Noah.
"Tarik lagi ucapanmu! Atau kupotong lidahmu! Leon akan baik-baik saja." Jordan melotot dengan mata merah dan mulai berair.
Rahang Jordan mengeras dengan urat leher yang keluar. Noah tetap berusaha tenang. Lelaki tersebut menggenggam jemari Jordan dan perlahan melepaskan cengkeraman tangan sang atasan dari kerah kemejanya.
"Kamu boleh tanya ke pihak rumah sakit mengenai kondisi Leon, Jo. Orang awam seperti kita pasti juga sudah bisa menilai bagaimana buruknya kondisi Leon. Kita hanya menunggu keajaiban Tuhan."
Bibir Jordan berkedut. Dia menyadari kalau omongan Noah ada benarnya. Akan tetapi, Jordan menolak kenyataan itu.
Bagaimana bisa seorang ayah rela kehilangan anak yang baru saja bertemu dan bersama. Jordan mendorong dada Noah, lantas berteriak frustrasi. Dia mengacak rambut dan mengusap wajah kasar.
"Paling tidak jangan berkata seperti itu kepada seorang ayah yang sedang putus asa, No. Kamu nggak akan pernah mengerti rasanya kehilangan selamanya seseorang yang sangat berarti."
"Sebelum kamu, aku sudah pernah mengalami hal itu. Jadi, jangan pernah ajari aku untuk menjadi orang yang tegar." Noah tersenyum kecut.
Entah apa yang pernah menimpa Noah di masa lalu. Namun, Jordan yakin hal itu pasti membuat kehidupannya Noah berubah drastis. Terlihat dari raut wajah penuh kesedihan mendalam dan rasa frustrasi yang berusaha disembunyikan.
"Setiap orang memiliki masanya kehilangan orang yang berharga dan disayangi, Jo. Kita harus sadar dan bersiap untuk hal itu." Noah menepuk bahu Jordan kemudian berjalan masuk ke ruang ICU.
Jordan kembali mengusap wajahnya. Dia berjalan mendekati kaca ruang ICU. Di sana Noah menggenggam jemari Leon.
Putranya itu ternyata belum sepenuhnya tertidur. Ada sebuah senyum tipis yang terukir di bibir Leon ketika menatap Noah. Jordan menyadari dan tidak memungkiri kalau memang Noah lebih memahami Leon daripada dirinya yang baru saja bertemu dengan putranya itu.
Hampir dua minggu Leon dirawat di rumah sakit. Pagi ini Leon diperbolehkan pindah ke ruang rawat biasa. Laura bisa sedikit bernapas lega.
"Mama, Leon mau makan Gai Tod, boleh?" Leon mengedipkan matanya yang masih terlihat sedikit cekung.
Laura tersenyum lembut. Dia menggenggam jemari Leon, lantas mengecup punggung tangannya. Leon masih menunggu jawaban dari sang ibu dengan sabar.
"Nanti mama tanyakan kepada perawat boleh atau tidak, ya? Takutnya akan memperburuk dan bikin saluran napas Leon iritasi." Laura mencoba menjelaskan apa yang diketahui olehnya agar bisa diterima dan dimengerti oleh Leon.
"Memangnya iritasi itu apa, Ma?" tanya Leon dengan sorot mata polosnya.
Laura terdiam sejenak. Dia mencoba mencari cara yang paling tepat untuk menjelaskan kepada Leon. Usai menemukan ide brilian, Laura menggenggam tangan Leon.
"Jadi, begini Leon ... di dalam tubuh kita ada jalan khusus yang dipakai udara untuk bisa masuk ke paru-paru." Laura melepaskan genggaman tangannya dan menunjuk dada Leon agar putranya itu menjadi lebih paham.
"Nama jalan itu adalah saluran napas. Nah, kalau Leon makan gorengan seperti Gai Tod atau terkena debu, jalan napas itu akan kesal. Kalau jalan napas kesal, nanti bisa bengkak, merah, dan mengeluarkan banyak lendir." Laura mengamati perubahan ekspresi Leon yang berubah mengernyitkan dahi.
"Nah, kalau jalan napasnya kesal, tenggorokan akan semakin sakit, dada juga sesak, terus Leon semakin batuk-batuk nggak berhenti. Jadi ...." Laura kini merangkum wajah Leon yang masih setia mendengar penjelasannya.
"Kalau kita sedang nggak enak nadan, kita bisa makan makanan yang baik buat tubuh. Supaya jalan napasnya cepat sembuh dan nggak marah-marah lagi. Leon paham?" Sebuah senyuman merekah di bibir Laura
Leon masih terdiam seakan sedang mencoba mencerna informasi dan penjelasan yang diberikan oleh sang ibu. Bibir Leon sedikit maju dengan kepala yang mulai bergerak. Namun, sayangnya gerakan kepala Leon menggeleng.
Hal itu tentu membuat Laura tersenyum kecut. Dia berusaha menjelaskan semuanya sebaik mungkin agar mudah dimengerti. Namun, nyatanya Leon kesulitan memahaminya.
Tiba-tiba terdengar suara orang yang terkekeh dari atah pintu masuk. Tak disangka Noah kini ada di ambang pintu. Lelaki tersebut masuk dengan membawa bungkusan.
"Begini, Noah. Gai Tod bisa bikin kamu semakin batuk dan tenggorokanmu lebih sakit lagi. Pasti nggak nyaman kan kalau itu semakin parah? Jadi, sebaiknya kamu makan makanan yang baik buat tenggorokan dan nggak bikin batuk."
"Oh, jadi begitu. Kalau begitu, nanti saja makan Gai Tod-nya! Noah mau makan sup ayam jahe saja!" Mata Noah berkilat.
Tak lama berselang, Noah mengangkat bungkusan yang dia bawa. Laura mengerutkan dahi. Leon pun menautkan kedua alisnya.
"Berarti nggak sia-sia paman bawakan Khao Tom sama Tom Kha tanpa santan dan cabai. Leon mau makan sekarang?" Noah menggoyangkan bungkusan itu.
Laura dan Leon saling melemparkan tatapan. Laura mengangguk dan Noah tersenyum lebar. Leon akhirnya mengangguk.
Noah tersenyum bangga. Dia mulai mengeluarkan bubur dan sup ayam jahe dari dalam plastik. Setelah menyiapkan makanan itu, Noah menyerahkannya pada Laura.
Laura tidak langsung mengambil alih mangkuk tersebut. Dia menatap Noah sekilas, lantas mengalihkan tatapannya kepada Leon. Seakan tahu apa yang akan ditanyakan oleh sang ibu, Leon mengungkapkan sebuah kalimat yang membuat Laura dan Noah saling melemparkan tatapan.
"Sebenarnya Leon mau disuapi sama Papa Jo. Tapi, Papa nggak ada di sini." Leon tersenyum kecut dan sedikit menunduk.
"Noah, Papa Jo sedang ada pekerjaan. Jadi tidak bisa datang hari ini. Tapi, dia berhanji akan menemui Leon ketika keluar dari rumah sakit. Jadi, Leon harus segera sembuh supaya bisa ketemu sama papa. Oke?"
Leon kini mengangguk mantap. Laura akhirnya mengembuskan napas lega. Begitu juga dengan Noah.
"Jadi, sekarang Leon mau disuapi mama atau paman?" tanya Laura sambil terus tersenyum tipis.
"Paman saja. Mama bobok dulu aja. Leon tadi melihat mama menguap berulang kali." Leon terkekeh sambul menutup bibirnya.
"Baiklah, kalau begitu mama keluar dulu ya? Jangan lupa habiskan semua, lalu minum obat!" Laura mulai beranjak dari kursi.
Peremuan tersebut mengusap puncak kepala Leon. Tatapannya beradu dan Leon pun mengangguk. Leon mendaratkan sebuah kecupan pada dahi sang putra sebelum akhirnya keluar dari ruangan tersebut.
Kini dalam ruangan itu hanya menyisakan Noah dan Leon. Noah menyuapi Leon dengan sabar dan telaten. Sesekali dia bercerita tentang pengalaman masa kecilnya.
"Sudah, Paman. Leon mulai mual lagi." Leon mendorong pelan sendok yang sudah ada di depan mulutnya.
Noah tak bisa lagi memaksa. Dia akhirnya keluar dari ruangan. Dia menemui Laura yang sedang termenung di sudut ruangan.
"Bagaimana Leon?" tanya Laura.
"Kenapa kamu tanya aku? Bukankah kamu ibunya?"