Apa yang kita lihat, belum tentu itulah yang sebenarnya terjadi. Semua keceriaan Aurora hanya untuk menutupi lukanya. Dia dipaksa tumbuh menjadi gadis kuat. Bahkan ketika ayahnya menjual dirinya pada seorang pria untuk melunasi hutang-hutang keluarga pun, Aurora hanya bisa tersenyum.
Dia tersenyum untuk menutupi luka yang semakin menganga. Memangnya, apa yang bisa Aurora lakukan selain menerima semuanya?
"Jika kamu terluka, maka akulah yang akan menjadi obat untuk lukamu." —Skala Bramasta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Lelah menangis, Aurora ketiduran di pelukan Lythia. Skala langsung membawa Aurora ke kamar yang dimaksud oleh Benjamin.
Selama Aurora tidur, Lythia menemaninya sambil mengelus rambutnya dengan lembut. Tatapan mata wanita itu memancarkan kerinduan yang mendalam.
Sedangkan Skala dan Benjamin sibuk mengobrol berdua. Meski agak kaku, mereka tetap berbincang-bincang santai.
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aurora terbangun dari tidurnya, ia melenguh pelan lalu menggeliat kecil. Matanya menatap sayu pada langit-langit ruangan. Ruangan ini hanya disinari lampu tidur yang menempel di dinding.
Aurora terdiam sejenak untuk mencerna keadaan. Setelah sadar, ia langsung duduk dan menatap kosong ke depan.
"Jadi, semuanya hanya mimpi?" bisiknya. "Pelukan hangat ibu, semuanya mimpi?" lanjutnya.
Aurora mengusap wajahnya agar tetap sadar. Dia menghembuskan nafasnya perlahan. "Kamu berharap apa Rora? Hidup kamu tidak ada yang sepesial."
Perlahan, dia turun dari ranjang. Kaki mungil tanpa alas itu melangkah pelan menuju pintu. Bahkan Aurora belum sadar kamar siapa yang dia tempati.
Ceklek
Seketika Aurora menyipitkan matanya saat cahaya lampu muncul ketika dia membuka pintu kamar.
Deg
Aurora terdiam, dia menatap sekelilingnya dengan mata bergetar. Para pelayan yang melihat sang nona sudah bangun pun segera menghampiri.
"Selamat malam, Nona muda. Apakah Anda membutuhkan sesuatu?"
Aurora menelan ludahnya dengan susah payah. Jadi, dia tidak bermimpi?
"Aku ..." Ia terdiam sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. "Di mana suamiku?"
"Mari saya antar, Nona muda." Salah satu pelayan maju lalu membungkuk hormat.
Aurora mengangguk. Ketika hendak melangkah, pelayan lain tiba-tiba berjongkok di hadapannya hingga membuat Aurora terkejut bukan main.
"Apa yang kamu lakukan?!" kagetnya.
"Maaf, Nona muda. Silakan kenakan alas kaki Anda terlebih dahulu."
Ah, Aurora paham sekarang. Dia meminta pelayan itu agar segera berdiri, lalu ia memakai sendalnya bulu yang begitu nyaman dan hangat.
"Terimakasih, dan tolong, jangan berjongkok ataupun berlutut di hadapanku lagi, Bibi. Aku merasa berdosa jika kalian seperti ini," ujar Aurora. Dia menatap sendu para pelayan di hadapannya.
Pelayan sempat tertegun, tapi mereka kembali menguasai diri. Semuanya kompak membungkuk hormat.
"Baik, Nona muda."
Aurora mengangguk kecil. Dia pun kembali melangkah dan mengikuti arahan salah satu pelayan yang mengantarnya.
Terlihat ada beberapa orang yang duduk di sofa ruang keluarga. Lythia, dia satu-satunya perempuan yang ada sana.
Aurora bingung, tapi ketika melihat Skala, dia jadi lega. Tanpa ragu gadis itu berjalan mendekati Skala.
"Princess kita sudah bangun? Bagaimana tidurmu, Sayang? Nyenyak?" tanya Lythia.
Skala memandang Aurora yang bergelayut di lengannya. "Sapa yang lain, Aurora, jangan langsung duduk," tegurnya.
Seketika Aurora sadar. Dia berdiri lalu sedikit membungkuk untuk hormat. "Maaf, aku lupa. Selamat malam, semuanya. Maafkan aku, aku masih sedikit mengantuk dan belum bisa mencerna semuanya," jelasnya.
Entahlah, saat melihat Skala, fokusnya seakan hanya tertuju pada suaminya. Yang lain seakan hilang begitu saja.
"Tidak apa-apa, Sayang. Duduklah," ujar Lythia sambil tersenyum.
Aurora tersenyum tipis. Dia duduk kembali di samping Skala. Namun, matanya tak sengaja menatap ketiga pria lainnya yang duduk berseberangan dengannya.
Siapa lagi mereka? Apakah aku memiliki empat daddy? Batinnya kebingungan. Ketiganya sangat mirip dengan Benjamin. Oh, atau jangan-jangan —
"Mereka adalah kakakmu, Sayang. Mereka yang akan menjagamu," jelas Lythia dan Benjamin mengangguk mengiyakan.
"Kalian, jangan menatap putriku seperti itu," desis Benjamin pada ketiga putranya.
Tatapan mata mereka benar-benar menurun dari Benjamin. Gelap dan tajam. Aurora sedikit takut karena agak seram, tapi tidak jadi karena mereka tampan.
"Salam kenal, K-kakak?" sapa Aurora sedikit ragu.
Skala tersenyum melihat sikap Aurora. Dia mengusap pinggang istrinya seolah memberikan sebuah apresiasi.
"Ya," sahut ketiganya bersamaan.
Benjamin langsung berdecak mendengarnya. "Jawab dengan benar! Atau kalian akan mendapatkan hadiah dari Daddy!"
Salah satu dari mereka menghela nafas kasar. "Ya, Aurora. Aku Charlie."
Charlie Alessandro. Kakak ketiga Aurora yang berumur 32 tahun. Dia adalah si paling aktif dari yang lain. Namun, sifatnya terlalu kurang ajar. Seperti sekarang, bahkan dia tidak terharu ketika melihat adiknya kembali. Mungkin, dia masih tidak percaya?
"Charlie!" tegur Lythia. Kesal sekali dengan anak-anaknya yang tidak pernah berubah.
Namun, Charlie seolah tuli, dia asik memakan kacang goreng.
Mata Aurora beralih menatap ke arah si paling mencolok. Mata tajam, rambut tertata rapi, memakai kemeja hitam dan celana hitam juga. Auranya benar-benar seperti Benjamin. Jika Charlie terlihat sedikit ramah, namun yang ini, Aurora sedikit ragu.
"Call me, Thomas." Dia bersuara dengan lembut namun tegas, ditambah suaranya yang berat dan rendah, membuat Aurora tanpa sadar mengangguk kaku.
Thomas Alessandro adalah si sulung keluarga ini, umurnya baru 35 tahun. Wajar saja jika auranya seperti Benjamin. Tegas, berwibawa dan kejam. Dia memang anak Benjamin, tapi kekejamannya pada lawan, tidak seperti ayahnya. Thomas lebih mengerikan dari Benjamin.
"Kak Thomas, Kakak terlihat seperti monster...," ucap Aurora, reflek. Sedetik kemudian dia menutup mulutnya dengan wajah terkejut.
"Maaf! Aku tidak bermaksud seperti itu. Maafkan aku..." Dia menunduk dalam.
Aura Thomas benar-benar membuatnya merasa diintimidasi.
"Hahaha ... dia memang monster, Baby. Yang kamu lihat ini adalah Thomas palsu. Kalau yang asli, dia itu—"
"Shut the fuck of, Charlie," desis Thomas, matanya menatap tajam sang adik.
"Ups, maaf," ujar Charlie tanpa dosa.
Thomas beralih pada Aurora yang terlihat was-was. "No problem. Aku bisa menjadi monster sekaligus hero untukmu, Aurora," ujarnya. Nada bicaranya selalu tenang dan suaranya rendah.
Aurora mengangguk kaku. Iyakan saja dulu. Kini tatapannya beralih ke arah seorang pria yang sibuk dengan tablet nya. Kacamata minus bertengger manis di hidung mancung pria itu. Dia terlihat tenang dan berbeda dari dua lainnya.
"Dia kembaranku. Si paling rajin dan pintar. Kalau kamu ingin belajar tentang sesuatu, belajar saja dengan Archie!" Charlie merangkul pundak kembarannya dengan tampang sombong. Seolah memamerkan barang bagus.
Archie Alessandro, seperti apa yang dibilang oleh Charlie, dia adalah yang paling tenang di antara ketiganya. Dia sabar dan selalu santai dalam hal apapun. Jika Charlie dan Thomas ada aura gelapnya, Archie sama sekali tidak menampakkan nya. Di mata Aurora, Archie seperti seorang guru, pintar, tenang dan baik.
"Sapa adik kita, Ar!" desak Charlie.
Archie menutup tabletnya lalu menatap Aurora dengan tampang datarnya. "Jika butuh sesuatu, katakan padaku."
Charlie mendengus keras. "Ya ya ya!" Dia memutar bola matanya malas.
Aurora mengangguk patuh. "Terimakasih."
Archie mengangguk pelan. Dia kembali menyalakan tabletnya dan kembali bekerja.
"Aurora, untuk sementara waktu, bisakah kamu tinggal bersama kami?" Benjamin menatap putrinya dengan tatapan penuh harap. Lythia mengangguk setuju.
Tak langsung menjawab, Aurora menoleh pada Skala untuk meminta saran.
"Aku tidak keberatan jika kamu ingin tinggal di sini." Tangan Skala terulur untuk mengelus puncak kepala istrinya.
"Maksudku, kalian berdua. Jika kalian tidak keberatan, tinggal lah di sini bersama kami," ralat Benjamin.
Skala memgangguk. "Aku tidak keberatan jika Aurora nyaman," ujarnya.
Kini, semuanya menatap Aurora untuk mendengar jawaban gadis itu.
Hingga tiga detik kemudian, Aurora mengangguk. "Aku mau."
****
Makan malam pertama kali di istana sebesar ini. Aurora menyebutnya istana alih-alih mansion. Benar-benar mewah meski hanya makan malam. Pelayan bolak-balik menyajikan makanan ke atas meja makan. Aurora hanya melihat tanpa membantu karena keluarganya melarang Aurora untuk membantu apapun.
Plotwist terkonyol. Rumah seperti istana ini adalah milik kedua orang tuaku? Apakah ini mimpi? Jika iya, aku tidak ingin bangun sampai kapanpun. Batinnya.
Setelah semuanya selesai disajikan, mereka pun segera menuju ruang makan.
Aurora baru menyadari jika semua makanan yang ada di sana tidak ada olahan sea food. Apakah keluarganya juga tau tentang alerginya?
"Kamu dan Thomas sama-sama memiliki alergi terhadap sea food. Jadi, kami tidak pernah mengolah sea food, Sayang," jelas Lythia seolah tau apa yang ada di benak Aurora.
Fakta baru. Tak perlu dites lagi, mereka benar-benar saudara.
Aurora mengangguk paham. Matanya menatap Thomas yang sedang meminum kopi panasnya.
Monster sepertinya juga memiliki kelemahan, ya? Batinnya.
bersambung...
lanjuuuut