Cinta Rahasia Sang CEO
“Aku bukan orang baik, Laura. Kamu tahu itu. Tapi bersamamu ... aku bisa lupa siapa diriku," bisik Jordan dengan suara parau.
Jordan membungkuk, jarak mereka menghilang. Bibir Jordan menyentuh milik Laura. Hangat, lembut, tetapi menyimpan desakan yang mendalam.
Laura tidak melawan. Dia bahkan menutup mata. Ciuman panas itu membuat hasrat kelaki-lakian Jordan bangkit. Napasnya tersengal sampai akhirnya Laura mendorong dada Jordan untuk sekadar menghirup udara. Keduanya menempelkan dahi dan tatapan mereka beradu.
"Aku menginap saja di sini. Aku tidak mungkin pulang setelah tadi meminum wine."
Otak Laura tidak bisa berpikir jernih malam itu. Laura hanya mengangguk dan membiarkan Jordan masuk ke kamar yang sudah disewanya. Setelah memasuki kamar, Jordan langsung membaringkan tubuh Laura ke atas ranjang.
Ciuman didaratkan oleh lelaki tersebut hampir di sekujur tubuh Laura. Hampir di setiap jengkal kulitnya, ditandai oleh Jordan. Lelaki itu seolah sedang memberitahukan kepada si pemilik badan bahwa hanya dia yang berhak menyentuhnya.
"Akan kubuat kamu nyaman dan senang malam ini," bisik Jordan sambil tersenyum miring.
Jemari Jordan mulai bermain di setiap sisi sensitif Laura. Dia mulai menggeliat layaknya cacing kepanasan. Ketika sudah dirasa cukup siap, akhirnya mereka bersatu dalam sebuah penyatuan yang sempat membuat Laura meringis menahan perih.
Laura yang awalnya meringis menahan sakit dan merengek agar Jordan menghentikan aksinya, mulai memegang kendali dengan bermain di atas tubuh sang kekasih. Semakin lama gerakannya semakin liar dan tak terkendali.
Peluh keduanya bercampur sehingga membasahi seprai. Sebuah lenguh panjang menandakan berakhirnya permainan keduanya. Laura terkulai lemas dalam dekapan Jordan.
"Aku akan pastikan pernikahan kita segera digelar. Aku tidak bisa berlama-lama lagi. Aku ingin terus mendekapmu dalam tidurku, Laura."
Sebuah kecupan lembut mendarat pada kening Laura. Keduanya pun terlelap usai kegiatan panas itu. Kehangatan cinta menyelimuti mereka di tengah dinginnya mesin pendingin ruangan.
Keesokan paginya, Laura terbangun di ranjang kamar hotel tempat keduanya mengadakan acara pertunangan. Selimut menutupi tubuhnya. Sinar matahari masuk lewat jendela besar. Di sebelahnya, tempat tidur kosong.
Perempuan tersebut bangkit, mengenakan kemeja Jordan yang tergantung di kursi. Di meja, ada secangkir kopi yang masih hangat. Namun, Jordan sudah tidak ada di sana.
"Dia pergi ke mana?" gumam Laura sambil meneliti sekelilingnya.
Tak lama kemudian, ponsel Laura berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Jordan. Lelaki tersebut mengatakan bahwa ada rapat mendadak dan mengucapkan maaf dan terima kasih atas apa yang sudah terjadi malam sebelumnya.
"Astaga! Apa yang aku lakukan semalam? Aku benar-benar liar dan tak tahu malu!" ujar Laura dengan pipi yang merona.
Laura tersenyum dengan pipi merona. Mungkin, ini awal baru bagi mereka. Mungkin Jordan benar-benar mencintainya. Dia menyentuh perutnya, entah kenapa firasatnya mengatakan bahwa malam itu akan mengubah segalanya.
Namun, sejak hari itu Jordan sulit dihubungi. Dia selalu sibuk ketika diajak bertemu. Hubungan mereka seakan renggang dan mulai berjarak. Hal itu membuat Laura begitu khawatir dan curiga.
Perempuan tersebut selalu bertanya-tanya apakah melakukan kesalahan di malam itu. Di tengah lamunannya, mendadak perut perempuan tersebut bergejolak. Sontak Laura berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya.
"Astaga! Aku kenapa?" Laura mengusap keringat yang kini membasahi dahi.
Tak lama kemudian Laura terbelalak. Dia bergegas keluar dari kamar mandi dan berjalan cepat menuju meja kecil di samping ranjang. Perempuan tersebut menutup bibirnya yang kini terbuka lebar menggunakan telapak tangan.
"Aku terlambat datang bulan! Jangan-jangan ...." Jemari Laura yang sedang menggenggam kalender gemetar.
Laura terduduk lesu di atas lantai dengan punggung yang disandarkan pada badan ranjang. Dia mengusap wajah kasar. Sedetik kemudian Laura bangkit dan bergegas pergi ke apotek.
Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Laura melakukan tes urine. Pada akhirnya perempuan tersebut tertegun. Semua tespek yang dia beli menunjukkan garis dua.
“Aku ... hamil?” Tangan Laura gemetar ketika meraih salah satu alat tes kehamilan tersebut.
Perempuan tersebut memasukkan semua tespek ke dalam tas dan keluar dari kamar mandi. Laura bergegas menghubungi Jordan. Namun, panggilannya kembali diabaikan.
Laura akhirnya menghembuskan napas dan mengetik pesan kepada tunangannya itu. Setelah pesan terkirim, Laura langsung mengendarai mobil menuju apartemen Jordan. Dia berniat untuk menagih janji Jordan yang ingin segera menikahinya.
"Jordan, kamu ke mana?" ujar Laura sambil menempelkan ponsel pada telinga.
Laura terus menggigit kukunya ketika berada di dalam elevator. Perempuan tersebut hendak menekan bel, tetapi pintu apartemen tidak sepenuhnya tertutup. Perasaannya mulai gusar.
Tangan Laura gemetar ketika hendak membuka lebar pintu di hadapannya. Dia berpikir kalau ada perampok dan Jordan sedang ada dalam bahaya. Namun begitu pintu terbuka, langkahnya terhenti.
Di ruang tamu apartemen, Jordan berdiri dengan seseorang. Bibir mereka menyatu dalam ciuman. Laura membeku. Orang itu adalah Leysha, kakaknya.
“Tidak ....”
Leysha menoleh lebih dulu. Terlihat kaget, lalu tersenyum sinis. Jordan ikut menoleh dan ekspresinya membeku.
“Laura ... tunggu, ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” Jordan hendak mendekati Laura, tetapi lengannya ditahan oleh Leysha.
"Jadi, ini alasannya kamu mengabaikanku? Jika memang tidak mencintaiku, kenapa kamu mau bertunangan denganku, Jordan!" teriak Laura dengan suara bergetar.
"Laura, kamu salah paham. Aku tidak menghubungimu karena ...." Jordan mendekati Laura berusaha memegang lengannya, tetapi langsung dihempaskan oleh Laura.
"Jangan katakan omong kosong apa pun, Jordan! Aku tidak mau mendengarnya! Seharusnya kamu bertunangan dan menikah dengan Kak Leysha! Kamu lebih menyukai wanita cantik dan berbadan bagus sepertinya, kan?" teriak Laura sambil menutup kedua telinga.
"Kamu salah sangka, Laura. Aku tidak memiliki perasaan apa pun sama Leysha!" Jordan terus berusaha meyakinkan Laura.
“Benarkah? Kamu mencium kakakku, di apartemenmu, dan kamu ingin aku percaya ini bukan apa-apa?” ucap Laura dengan mata berair.
Jordan melangkah maju, tetapi Laura terus mundur. Tubuh Laura bergetar hebat. Tangisnya pecah sehingga membuat Jordan membuka mulut, tetapi tak ada kata yang keluar.
“Aku menyerahkan segalanya malam itu karena kupikir kamu mencintaiku. Tapi ternyata, aku hanya satu malam di antara ribuan malam liarmu, Jordan.”
Laura pun pergi meninggalkan Jordan yang tidak berkutik. Langkahnya tegas, meski air mata jatuh di sepanjang lorong. Jordan telah melukai hati Laura terlalu dalam sampai perempuan itu tidak dapat lagi mendeskripsikan rasa sakit yang diderita.
Malam itu Laura memutuskan untuk menghilang dari hadapan Jordan. Sama seperti yang dilakukan oleh lelaki tersebut akhir-akhir ini. Tekadnya sudah bulat.
"Sejak awal seharusnya aku tidak pernah menaruh hati kepada lelaki sepertimu, Jordan! Nyatanya kamu tidak pernah berubah! Kamu tetaplah Jordan sang Casanova!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Esther Lestari
baru baca karyamu thor....sepertinya awal yang seru
2025-07-06
1
mom's Abyan
mampir, kayaknya seru
2025-06-30
2
Ddek Aish
mampir
2025-06-30
1